Jangan Asal Pakai Air Purifier! Ini 3 Tips Cara Mengoptimalkan Udara Berkualitas di Rumah & Kantor
Sabtu, 03 Juli 2021 - 20:30 WIB
JAKARTA - Di masa pandemi Covid-19 ini masyarakat menjadi lebih peduli pada udara bersih. Sebagai langkah mendapatkan udara bersih, masyarakat Indonesia banyak membeli mesin pembersih udara.
Namun, ternyata banyak teknologi yang ditawarkan mesin tersebut tidak direkomendasikan oleh para ahli. Bukan hanya karena tidak efektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi juga memiliki potensi untuk membuat udara lebih kotor dan berdampak pada kesehatan, karena justru bisa memicu penyakit kanker .
"Sekitar 70 persen hingga 80 persen atau mayoritas mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia menggunakan teknologi yang tidak direkomendasikan para ahli lingkungan," ujar Ivan S, Jayawan, Pakar Teknik Lingkungan Lulusan University of Michigan, AS, Rabu (30/6/2021).
Ia mengutip laporan salah satu jurnal kedokteran bergengsi, The Lancet Covid-19 Commission Task Force for Safe School, Safe Work, and Safe Travel yang menyatakan teknologi yang tidak direkomendasikan antara lain adalah ionisasi bipolar, sistem plasma, air purifier dengan ionizers atau sinar ultraviolet (UV), dry hydrogen peroxide, dan photocatalytic oxidation.
Teknologi tersebut, lanjutnya, ditemukan di banyak mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia.
Dia memaparkan sinar UV di dalam mesin air purifier memang sekilas sangat menjanjikan.
Pada kenyataannya, kata pemegang gelar PhD ini, sinar UV membutuhkan waktu paparan yang cukup panjang untuk membunuh virus dan bakteri di udara, sekitar 12 sampai 60 detik tergantung berbagai macam faktor, sedangkan di dalam air purifier, udara hanya terekpose sinar UV dalam hitungan kurang 1 detik, sehingga sinar UV di air purifier tidak efektif.
"Pemasangan sinar UV di air purifier malah berpotensi berbahaya karena bila tidak hati-hati, paparan langsung sinar UV dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata dan bahkan kanker," paparnya.
Namun, ternyata banyak teknologi yang ditawarkan mesin tersebut tidak direkomendasikan oleh para ahli. Bukan hanya karena tidak efektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi juga memiliki potensi untuk membuat udara lebih kotor dan berdampak pada kesehatan, karena justru bisa memicu penyakit kanker .
"Sekitar 70 persen hingga 80 persen atau mayoritas mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia menggunakan teknologi yang tidak direkomendasikan para ahli lingkungan," ujar Ivan S, Jayawan, Pakar Teknik Lingkungan Lulusan University of Michigan, AS, Rabu (30/6/2021).
Ia mengutip laporan salah satu jurnal kedokteran bergengsi, The Lancet Covid-19 Commission Task Force for Safe School, Safe Work, and Safe Travel yang menyatakan teknologi yang tidak direkomendasikan antara lain adalah ionisasi bipolar, sistem plasma, air purifier dengan ionizers atau sinar ultraviolet (UV), dry hydrogen peroxide, dan photocatalytic oxidation.
Teknologi tersebut, lanjutnya, ditemukan di banyak mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia.
Dia memaparkan sinar UV di dalam mesin air purifier memang sekilas sangat menjanjikan.
Pada kenyataannya, kata pemegang gelar PhD ini, sinar UV membutuhkan waktu paparan yang cukup panjang untuk membunuh virus dan bakteri di udara, sekitar 12 sampai 60 detik tergantung berbagai macam faktor, sedangkan di dalam air purifier, udara hanya terekpose sinar UV dalam hitungan kurang 1 detik, sehingga sinar UV di air purifier tidak efektif.
"Pemasangan sinar UV di air purifier malah berpotensi berbahaya karena bila tidak hati-hati, paparan langsung sinar UV dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata dan bahkan kanker," paparnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda