Fakta Ilmiah Mengapa Kita Mudah Marah Saat Lapar, Ini Penjelasan Pakar
Kamis, 24 Maret 2022 - 11:33 WIB
JAKARTA - Pernah mendengar kalimat dalam iklan makanan, “Lo rese kalau lagi lapar”? Seseorang yang tengah dilanda kelaparan bisa bersikap tidak menyenangkan. Disenggol sedikit, marah. Diajak bicara, ketus. Padahal sebentar lagi kita akan menghadapi Ramadhan 1443 H. Ada apa di balik rasa lapar sehingga menyebabkan orang bereaksi seperti itu?
Kondisi tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah. Istilah untuk menyebutkan rasa bete, terganggu, dan mudah marah akibat perut keroncongan disebut sebagai “hangry”, gabungan dari hungry dan angry. Marah saat lapar atau hangry sebetulnya adalah reaksi alamiah tubuh memberikan sinyal pada manusia untuk segera makan.
Dalam rentang waktu dari terakhir kali makan hingga tiba waktunya seseorang merasa lapar, nutrisi dan glukosa dalam tubuh mengalami penurunan. Kondisi berkurangnya nutrisi ini mengirim sinyal ke otak seolah sedang memasuki fase “bahaya” yang dapat mengancam jiwa. Seakan-akan berkata, “kalau kamu enggak makan sekarang, kamu bisa mati!”. Sinyal tersebut merupakan pemikiran primitif yang tidak hanya berlaku pada manusia, namun juga pada hewan.
Seorang pakar perilaku nafsu makan sekaligus profesor psikologi di Reed College, Paul Currie, menemukan bahwa rasa lapar bisa membuat seseorang jadi emosional. Makanan merupakan sumber alami otak. Otak butuh bahan bakar berupa glukosa yang didapatkan dari makanan untuk mengontrol emosi. Otak hanya terdiri dari 2 persen berat badan manusia namun menjadi organ yang paling banyak mengonsumsi energi yang dimiliki setiap hari. Rasa lapar kemudian melepas hormon kortisol dan membuat sulit untuk mengendalikan amarah.
Beberapa nutrisi yang terserap tubuh dari makanan di antaranya, karbohidrat, protein, dan lemak, yang kemudian bertransformasi menjadi glukosa, asam amino, dan asam lemak. Lalu, nutrisi yang sudah bertransformasi ini masuk ke dalam aliran darah yang menyebar ke seluruh tubuh sebagai pasokan energi.
Sebuah studi di Amerika Serikat juga menyebutkan bahwa rendahnya kadar gula dalam darah membuat seseorang menjadi mudah marah. Otak yang mengalami defisit kalori membuat produktivitasnya melambat. Makanya, saat sedang lapar, seseorang jadi susah konsentrasi, linglung, dan cenderung cepat lelah dalam beraktivitas. Selain itu, timbul rasa kantuk, bahkan bertindak ceroboh.
Tapi, tidak semua orang yang kelaparan bisa berubah jadi “buas”. Ketika seseorang lapar, ada dua hal yang membuat emosi negatif itu bisa memengaruhi dirinya atau tidak, yakni situasi dan kesadaran diri. Kelaparan di tengah situasi dan kondisi yang kondusif, maka itu tidak akan terlalu memengaruhi emosi, malah bisa menahan lapar lebih lama lagi. Sebaliknya, jika situasi sedang hectic atau stres, maka bisa membuat orang lebih mudah marah. Dapat disimpulkan bahwa situasi yang dialami terkoneksi dengan suasana hati.
Melansir Time, sebuah eksperimen yang dilakukan pada pelajar juga menyebutkan bahwa mereka yang sadar dan meluangkan waktu untuk memahami perasaan dan emosi saat rasa lapar akan cenderung lebih mudah mengendalikan emosinya. Hasil itu ditunjukkan bukan saja oleh pelajar yang sebelumnya sudah makan, tapi juga oleh pelajar yang diminta berpuasa.
Kondisi tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah. Istilah untuk menyebutkan rasa bete, terganggu, dan mudah marah akibat perut keroncongan disebut sebagai “hangry”, gabungan dari hungry dan angry. Marah saat lapar atau hangry sebetulnya adalah reaksi alamiah tubuh memberikan sinyal pada manusia untuk segera makan.
Dalam rentang waktu dari terakhir kali makan hingga tiba waktunya seseorang merasa lapar, nutrisi dan glukosa dalam tubuh mengalami penurunan. Kondisi berkurangnya nutrisi ini mengirim sinyal ke otak seolah sedang memasuki fase “bahaya” yang dapat mengancam jiwa. Seakan-akan berkata, “kalau kamu enggak makan sekarang, kamu bisa mati!”. Sinyal tersebut merupakan pemikiran primitif yang tidak hanya berlaku pada manusia, namun juga pada hewan.
Seorang pakar perilaku nafsu makan sekaligus profesor psikologi di Reed College, Paul Currie, menemukan bahwa rasa lapar bisa membuat seseorang jadi emosional. Makanan merupakan sumber alami otak. Otak butuh bahan bakar berupa glukosa yang didapatkan dari makanan untuk mengontrol emosi. Otak hanya terdiri dari 2 persen berat badan manusia namun menjadi organ yang paling banyak mengonsumsi energi yang dimiliki setiap hari. Rasa lapar kemudian melepas hormon kortisol dan membuat sulit untuk mengendalikan amarah.
Beberapa nutrisi yang terserap tubuh dari makanan di antaranya, karbohidrat, protein, dan lemak, yang kemudian bertransformasi menjadi glukosa, asam amino, dan asam lemak. Lalu, nutrisi yang sudah bertransformasi ini masuk ke dalam aliran darah yang menyebar ke seluruh tubuh sebagai pasokan energi.
Sebuah studi di Amerika Serikat juga menyebutkan bahwa rendahnya kadar gula dalam darah membuat seseorang menjadi mudah marah. Otak yang mengalami defisit kalori membuat produktivitasnya melambat. Makanya, saat sedang lapar, seseorang jadi susah konsentrasi, linglung, dan cenderung cepat lelah dalam beraktivitas. Selain itu, timbul rasa kantuk, bahkan bertindak ceroboh.
Tapi, tidak semua orang yang kelaparan bisa berubah jadi “buas”. Ketika seseorang lapar, ada dua hal yang membuat emosi negatif itu bisa memengaruhi dirinya atau tidak, yakni situasi dan kesadaran diri. Kelaparan di tengah situasi dan kondisi yang kondusif, maka itu tidak akan terlalu memengaruhi emosi, malah bisa menahan lapar lebih lama lagi. Sebaliknya, jika situasi sedang hectic atau stres, maka bisa membuat orang lebih mudah marah. Dapat disimpulkan bahwa situasi yang dialami terkoneksi dengan suasana hati.
Melansir Time, sebuah eksperimen yang dilakukan pada pelajar juga menyebutkan bahwa mereka yang sadar dan meluangkan waktu untuk memahami perasaan dan emosi saat rasa lapar akan cenderung lebih mudah mengendalikan emosinya. Hasil itu ditunjukkan bukan saja oleh pelajar yang sebelumnya sudah makan, tapi juga oleh pelajar yang diminta berpuasa.
(hri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda