Penanganan Hemofilia di Indonesia Mesti Merata dan Sesuai Standar Medis
Selasa, 19 April 2022 - 17:04 WIB
"Rekomendasi pengobatan yang dianjurkan berdasarkan PNPK perlu diimplementasikan, dengan pemberian terapi profilaksis untuk mencegah terjadinya perdarahan sebagai upaya preventif, dan pemberian terapi on-demand saat terjadinya perdarahan sebagai upaya kuratif," papar okter spesialis anak dari RSCM, dr. Fitri Primacakti.
"Dengan pemberian profilaksis, diharapkan dapat mencegah terjadinya perdarahan dan mencegah kerusakan sendi, sehingga pasien hemofilia dapat memiliki kualitas hidup seperti anak sehat," lanjutnya.
Terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa faktor VIII dosis rendah atau bypassing agent untuk pasien-pasien dengan antibodi faktor VIII, maupun non-factor replacement therapy, yaitu emicizumab.
Upaya yang masih perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien hemofilia saat ini adalah menjamin pelayanan yang bermutu dan merata di seluruh Indonesia.
"Tantangan terberat adalah saat keadaan darurat karena obatnya tidak ada di Cilacap. Saya harus ke Purwokerto dulu untuk dapat obat. Obatnya juga tidak bisa dibawa pulang, jadi saya makin bingung kalau kondisinya darurat," keluh Santi yang mengalami kesulitan mengakses pengobatan hemofilia untuk buah hatinya.
Implementasi standar pelayanan pasien hemofilia memang belum merata. Masih terdapat kesenjangan dalam ketersediaan sumber daya manusia dan obat-obatan, sehingga pengobatan pasien bergantung dari kebijakan dan kondisi dari masing-masing rumah sakit.
"Dalam praktis klinisnya, PNPK diturunkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK) yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing rumah sakit, sesuai dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang ada," ujar dr. Fitri.
Selain itu, biaya juga sering kali menjadi kendala. Terapi profilaksis untuk hemofilia, misalnya, sudah digunakan di semua negara di dunia, namun di Indonesia aksesnya masih terbatas karena belum dijamin dalam BPJS Kesehatan, meskipun sudah tercantum dalam PNPK.
Sementara, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dr. Yuli Farianti menyebutkan bahwa saat ini sedang dilakukan peninjauan manfaat berbasis kebutuhan dasar kesehatan, sebagai upaya Kementerian Kesehatan untuk memastikan pelayanan dilaksanakan sesuai standar.
"Dari sisi pembiayaan, dalam JKN mengikuti dengan standar medis yang telah ada. Namun, tidak menutup diri terhadap pengobatan baru sepanjang efektif dan efisien dan telah dinilai oleh tim Penilaian Teknologi Kesehatan," jelas dr. Yuli.
"Dengan pemberian profilaksis, diharapkan dapat mencegah terjadinya perdarahan dan mencegah kerusakan sendi, sehingga pasien hemofilia dapat memiliki kualitas hidup seperti anak sehat," lanjutnya.
Terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa faktor VIII dosis rendah atau bypassing agent untuk pasien-pasien dengan antibodi faktor VIII, maupun non-factor replacement therapy, yaitu emicizumab.
Upaya yang masih perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien hemofilia saat ini adalah menjamin pelayanan yang bermutu dan merata di seluruh Indonesia.
"Tantangan terberat adalah saat keadaan darurat karena obatnya tidak ada di Cilacap. Saya harus ke Purwokerto dulu untuk dapat obat. Obatnya juga tidak bisa dibawa pulang, jadi saya makin bingung kalau kondisinya darurat," keluh Santi yang mengalami kesulitan mengakses pengobatan hemofilia untuk buah hatinya.
Implementasi standar pelayanan pasien hemofilia memang belum merata. Masih terdapat kesenjangan dalam ketersediaan sumber daya manusia dan obat-obatan, sehingga pengobatan pasien bergantung dari kebijakan dan kondisi dari masing-masing rumah sakit.
"Dalam praktis klinisnya, PNPK diturunkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK) yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing rumah sakit, sesuai dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang ada," ujar dr. Fitri.
Selain itu, biaya juga sering kali menjadi kendala. Terapi profilaksis untuk hemofilia, misalnya, sudah digunakan di semua negara di dunia, namun di Indonesia aksesnya masih terbatas karena belum dijamin dalam BPJS Kesehatan, meskipun sudah tercantum dalam PNPK.
Sementara, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dr. Yuli Farianti menyebutkan bahwa saat ini sedang dilakukan peninjauan manfaat berbasis kebutuhan dasar kesehatan, sebagai upaya Kementerian Kesehatan untuk memastikan pelayanan dilaksanakan sesuai standar.
"Dari sisi pembiayaan, dalam JKN mengikuti dengan standar medis yang telah ada. Namun, tidak menutup diri terhadap pengobatan baru sepanjang efektif dan efisien dan telah dinilai oleh tim Penilaian Teknologi Kesehatan," jelas dr. Yuli.
tulis komentar anda