Fitofarmaka Makin Populer, Kemenkes Dorong Penelitian dan Pengembangan Obat Herbal
Selasa, 06 September 2022 - 15:14 WIB
Selain itu, kurangnya kemauan politik dan kapasitas untuk memantau keamanan produk obat herbal, sistem informasi dan analisis yang belum cukup memadai, serta integrasi obat herbal di dalam sistem kesehatan nasional.
Kendati demikian, masalah tersebut coba diatasi Kemenkes dengan terus mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan obat herbal sehingga fitofarmaka dipastikan sesuai dengan standar kualitas produksi. Kemudian, Kemenkes juga mendukung UKM mengembangkan bisnis dan pasar dari fitofarmaka ini.
"Bahkan, Kemenkes telah menyediakan Formularium Fitofarmaka yang diluncurkan pada semester pertama tahun ini. Kemudian, pemerintah juga sudah menyediakan dana alokasi khusus bagi Pemda untuk menggunakan produk lokal," ungkap Lucia.
"Dengan begitu, kami berharap bahwa obat herbal atau fitofarmaka akan semakin banyak diresepkan dokter di rumah sakit, seperti yang dilakukan negara-negara yang sudah lebih dulu melakukannya," katanya lagi.
Pada kesempatan yang sama, Director of Research & Business Development Dexa Group, Raymond Tjandrawinata menganggap pemanfaatan obat herbal untuk sistem kesehatan nasional dianggap perlu dilakukan, terlebih produksi obat kimia terbukti membawa dampak yang kurang baik bagi lingkungan. Sekalipun obat kimia itu sendiri memberikan manfaat yang baik bagi kesehatan manusia.
"Ini yang perlu kita perhatikan bahwa farmasi memang sangat bermanfaat, tapi ada risiko cemaran lingkungan karena produksi dan konsumsinya," tambah Raymond.
Sementara itu, Lead Co-Chair T20 indonesia, Prof. Bambang Brodjonegoro mendorong sekali Indonesia untuk menjadi panutan dalam pengembangan fitofarmaka sebagai gerakan Green Pharmacy.
"Ini merupakan masa depan yang menjanjikan bagi kemandirian serta ketahanan kesehatan Indonesia khususnya, pun bagi negara-negara yang memiliki kapabilitas produksi produk kesehatan yang terbatas dan angka impor yang tinggi," tutur Prof. Bambang.
Kendati demikian, masalah tersebut coba diatasi Kemenkes dengan terus mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan obat herbal sehingga fitofarmaka dipastikan sesuai dengan standar kualitas produksi. Kemudian, Kemenkes juga mendukung UKM mengembangkan bisnis dan pasar dari fitofarmaka ini.
"Bahkan, Kemenkes telah menyediakan Formularium Fitofarmaka yang diluncurkan pada semester pertama tahun ini. Kemudian, pemerintah juga sudah menyediakan dana alokasi khusus bagi Pemda untuk menggunakan produk lokal," ungkap Lucia.
"Dengan begitu, kami berharap bahwa obat herbal atau fitofarmaka akan semakin banyak diresepkan dokter di rumah sakit, seperti yang dilakukan negara-negara yang sudah lebih dulu melakukannya," katanya lagi.
Pada kesempatan yang sama, Director of Research & Business Development Dexa Group, Raymond Tjandrawinata menganggap pemanfaatan obat herbal untuk sistem kesehatan nasional dianggap perlu dilakukan, terlebih produksi obat kimia terbukti membawa dampak yang kurang baik bagi lingkungan. Sekalipun obat kimia itu sendiri memberikan manfaat yang baik bagi kesehatan manusia.
"Ini yang perlu kita perhatikan bahwa farmasi memang sangat bermanfaat, tapi ada risiko cemaran lingkungan karena produksi dan konsumsinya," tambah Raymond.
Sementara itu, Lead Co-Chair T20 indonesia, Prof. Bambang Brodjonegoro mendorong sekali Indonesia untuk menjadi panutan dalam pengembangan fitofarmaka sebagai gerakan Green Pharmacy.
"Ini merupakan masa depan yang menjanjikan bagi kemandirian serta ketahanan kesehatan Indonesia khususnya, pun bagi negara-negara yang memiliki kapabilitas produksi produk kesehatan yang terbatas dan angka impor yang tinggi," tutur Prof. Bambang.
(nug)
tulis komentar anda