Sejarah Perlombaan Burung di Indonesia, Berawal Merangsang Penggemar Baru hingga Tingkatkan Penjualan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Memelihara burung merupakan salah satu hobi yang banyak ditekuni oleh masyarakat Indonesia. Berangkat dari banyaknya masyarakat yang memelihara burung, muncullah perlombaan burung di Indonesia. Lalu bagaimana sejarah perlombaan burung di Indonesia?
Melansir laporan bertajuk “Orange-headed thrush Zoothera citrine and the Avian X-Factor” oleh Paul Jepson, ilmuwan dari Pusat Lingkungan Universitas Oxford Inggris, penggemar burung di Indonesia berbeda dengan di barat.
Di belahan barat, orang lebih fokus pada pencarian dan identifikasi burung untuk menentukan apakah jenis burung atau tidak, kemudian menghitung populasi burung tersebut.
Sementara di Indonesia, penggemar burung yang dikenal dengan sebutan kicau mania lebih memperhatikan estetika suara yang dikeluarkan burung, serta bentuk atau postur tubuh burung.
Kebiasaan masyarakat Indonesia memelihara burung sudah ada sejak lama. Saat itu, burung kicau hanya dijadikan sebagai klangenan, di mana burung dipelihara untuk kebutuhan hiasan rumah saja.
Burung yang menjadi klangenan ini ada pula yang dipercaya sebagai simbol pembawa keberuntungan. Misalnya saja, burung perkutut. Banyak masyarakat memelihara burung perkutut karena adanya anggapan bahwa burung tersebut mampu mendatangkan rezeki atau keberuntungan bagi pemiliknya. Selain itu, burung perkutut juga menjadi penanda status sosial sang empunya.
Pada 1973, terbentuk PBI (Pelestarian Burung Indonesia). PBI merupakan cikal bakal terselenggaranya lomba, hingga organisasi perburungan. Tiga tahun kemudian, kontes burung berkicau pertama kali diadakan, yaitu pada 1976.
Saat itu, tujuan dilakukannya kontes adalah untuk meramaikan pasar burung, merangsang penggemar baru, hingga meningkatkan penjualan burung yang dipasarkan. Penggagasnya merupakan pedagang burung Pasar Pramuka Jakarta, dimotori oleh Bapak Sharbo sebagai salah seorang yang juga ikut terlibat terbentuknya PBI.
Jenis burung yang dilombakan pada kontes tersebut merupakan burung dari China, hanya sedikit burung lokal yang dapat diikutsertakan dalam ajang perlombaan. Seiring berkembangnya perlombaan, jenis burung lokal semakin banyak diikutsertakan dalam lomba. Hal ini dipengaruhi pula dengan munculnya wabah flu burung di China, yang membuat pemerintah Indonesia menghentikan impor burung asal China.
Burung asal China yang diperlombakan saat itu adalah hwamei (garrulax canorus), poksay (garrulax chinesis), dan pekin robin (leiothrix lutea). Sementara, burung lokal perlahan mampu menggeser kehadiran burung dari China dan berhasil menjadi primadona. Burung lokal tersebut adalah anis kembang yang populer hingga awal tahun 2000-an.
Bahkan, harganya dapat dibanderol hingga Rp4.000.000 per ekor. Namun sering berjalannya waktu, popularitas anis kembang mulai menurun. Para penggemar burung kicau pun beralih ke burung anis merah. Anis merah kemudian merajai ajang perlombaan, hingga akhirnya pamornya menurun.
Murai batu hadir menggantikan posisi anis merah sebagai buruan kicauan terpopuler. Terdapat subspesies burung murai batu, di antaranya adalah murai batu ras tricolor yang mempunyai keunggulan pada volume serta variasi kicauannya. Populasi murai yang tersebar di Sumatera, Bangka, Belitung serta Natuna ini pintar memainkan intonasi yang indah.
Lalu hadir lovebird, burung yang banyak menyita perhatian penggemar burung. Terlebih lagi, burung ini dapat dijadikan burung lomba maupun burung hias, dengan segmen pasar yang terbilang luas. Warna serta motif yang bermacam-macam yang dimiliki oleh lovebird menjadi keunggulannya.
Semakin langka warna serta motif yang dimiliki lovebird, maka semakin tinggi pula harga jualnya. Tak hanya warna dan motif, burung ini mempunyai daya tarik lainnya, yaitu suara. Suara lovebird yang keras serta durasi yang cukup lama menjadi nilai tambah bagi burung tersebut untuk memenangi perlombaan.
Seiring banyaknya perlombaan burung, membuat minat memelihara burung semakin digandrungi. Selain hadiah yang tinggi, prestise yang didapat pun menjadi kunci untuk para pemilik burung yang mengikuti lomba.
Sebagaimana perlombaan lainnya, dalam lomba burung ini terdapat juri yang akan memberi penilaian. Karena itu, peran juri sangat penting dalam perlombaan. Adapun kriteria penilaian lomba burung adalah irama, volume suara, hingga fisik.
Bagi pemilik burung yang memenangi pertandingan akan mendapatkan hadiah. Pada awalnya, hadiah lomba burung hanya dengan sejumlah uang saja. Kemudian, pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an, pemberian hadiah dilakukan dengan selebrasi. Seiring berkembangnya zaman, para pemenang lomba akan menerima hadiah uang, trofi, serta sertifikat kemenangan.
Menurut Jepson, hobi burung kicauan dapat menyatukan masyarakat Indonesia dengan kelas sosial serta etnis yang berbeda. Meski memiliki banyak perbedaan, mereka datang bersama dalam kepentingan yang satu yaitu untuk mengikuti perlombaan burung.
Melansir laporan bertajuk “Orange-headed thrush Zoothera citrine and the Avian X-Factor” oleh Paul Jepson, ilmuwan dari Pusat Lingkungan Universitas Oxford Inggris, penggemar burung di Indonesia berbeda dengan di barat.
Di belahan barat, orang lebih fokus pada pencarian dan identifikasi burung untuk menentukan apakah jenis burung atau tidak, kemudian menghitung populasi burung tersebut.
Sementara di Indonesia, penggemar burung yang dikenal dengan sebutan kicau mania lebih memperhatikan estetika suara yang dikeluarkan burung, serta bentuk atau postur tubuh burung.
Kebiasaan masyarakat Indonesia memelihara burung sudah ada sejak lama. Saat itu, burung kicau hanya dijadikan sebagai klangenan, di mana burung dipelihara untuk kebutuhan hiasan rumah saja.
Burung yang menjadi klangenan ini ada pula yang dipercaya sebagai simbol pembawa keberuntungan. Misalnya saja, burung perkutut. Banyak masyarakat memelihara burung perkutut karena adanya anggapan bahwa burung tersebut mampu mendatangkan rezeki atau keberuntungan bagi pemiliknya. Selain itu, burung perkutut juga menjadi penanda status sosial sang empunya.
Pada 1973, terbentuk PBI (Pelestarian Burung Indonesia). PBI merupakan cikal bakal terselenggaranya lomba, hingga organisasi perburungan. Tiga tahun kemudian, kontes burung berkicau pertama kali diadakan, yaitu pada 1976.
Saat itu, tujuan dilakukannya kontes adalah untuk meramaikan pasar burung, merangsang penggemar baru, hingga meningkatkan penjualan burung yang dipasarkan. Penggagasnya merupakan pedagang burung Pasar Pramuka Jakarta, dimotori oleh Bapak Sharbo sebagai salah seorang yang juga ikut terlibat terbentuknya PBI.
Jenis burung yang dilombakan pada kontes tersebut merupakan burung dari China, hanya sedikit burung lokal yang dapat diikutsertakan dalam ajang perlombaan. Seiring berkembangnya perlombaan, jenis burung lokal semakin banyak diikutsertakan dalam lomba. Hal ini dipengaruhi pula dengan munculnya wabah flu burung di China, yang membuat pemerintah Indonesia menghentikan impor burung asal China.
Burung asal China yang diperlombakan saat itu adalah hwamei (garrulax canorus), poksay (garrulax chinesis), dan pekin robin (leiothrix lutea). Sementara, burung lokal perlahan mampu menggeser kehadiran burung dari China dan berhasil menjadi primadona. Burung lokal tersebut adalah anis kembang yang populer hingga awal tahun 2000-an.
Bahkan, harganya dapat dibanderol hingga Rp4.000.000 per ekor. Namun sering berjalannya waktu, popularitas anis kembang mulai menurun. Para penggemar burung kicau pun beralih ke burung anis merah. Anis merah kemudian merajai ajang perlombaan, hingga akhirnya pamornya menurun.
Murai batu hadir menggantikan posisi anis merah sebagai buruan kicauan terpopuler. Terdapat subspesies burung murai batu, di antaranya adalah murai batu ras tricolor yang mempunyai keunggulan pada volume serta variasi kicauannya. Populasi murai yang tersebar di Sumatera, Bangka, Belitung serta Natuna ini pintar memainkan intonasi yang indah.
Lalu hadir lovebird, burung yang banyak menyita perhatian penggemar burung. Terlebih lagi, burung ini dapat dijadikan burung lomba maupun burung hias, dengan segmen pasar yang terbilang luas. Warna serta motif yang bermacam-macam yang dimiliki oleh lovebird menjadi keunggulannya.
Semakin langka warna serta motif yang dimiliki lovebird, maka semakin tinggi pula harga jualnya. Tak hanya warna dan motif, burung ini mempunyai daya tarik lainnya, yaitu suara. Suara lovebird yang keras serta durasi yang cukup lama menjadi nilai tambah bagi burung tersebut untuk memenangi perlombaan.
Seiring banyaknya perlombaan burung, membuat minat memelihara burung semakin digandrungi. Selain hadiah yang tinggi, prestise yang didapat pun menjadi kunci untuk para pemilik burung yang mengikuti lomba.
Sebagaimana perlombaan lainnya, dalam lomba burung ini terdapat juri yang akan memberi penilaian. Karena itu, peran juri sangat penting dalam perlombaan. Adapun kriteria penilaian lomba burung adalah irama, volume suara, hingga fisik.
Bagi pemilik burung yang memenangi pertandingan akan mendapatkan hadiah. Pada awalnya, hadiah lomba burung hanya dengan sejumlah uang saja. Kemudian, pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an, pemberian hadiah dilakukan dengan selebrasi. Seiring berkembangnya zaman, para pemenang lomba akan menerima hadiah uang, trofi, serta sertifikat kemenangan.
Menurut Jepson, hobi burung kicauan dapat menyatukan masyarakat Indonesia dengan kelas sosial serta etnis yang berbeda. Meski memiliki banyak perbedaan, mereka datang bersama dalam kepentingan yang satu yaitu untuk mengikuti perlombaan burung.
(hri)