Sapardi Dikenang sebagai Ilmuwan dan Sastrawan Tanpa Jarak
loading...
A
A
A
DEPOK - Kehilangan sosok besar seperti Sapardi Djoko Damono juga dirasakan Direktur Kemahasiswaan Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati. Devie bahkan pernah memiliki kenangan ketika menjadi mahasiswanya.
“Salah satu momen yang paling membahagiakan ketika 10 tahun lalu menjadi mahasiswi di Fakultas Ilmu Budaya UI, ialah kebanggaan dapat belajar di dalam ekosistem yang melahirkan tokoh seperti Prof. Sapardi Djoko Damono,” kata Devie pada Minggu (19/7).
Di mata kerabat, Sapardi adalah sosok yang sangat ramah. Walaupun menyandang nama besar, namun Sapardi tak dikenal sebagai sosok yang jumawa. “Sebagai seorang ilmuwan sekaligus sastrawan, beliau tidak pernah membangun jarak dengan siapapun,” kenangnya. ( )
Devie menuturkan, karya-karya sastra Sapardi memiliki ciri bahasa yang lugas, cerdas, dan mewakili rasa. Tak heran jika karya almarhum mampu menembus batasan usia dan membuat banyak kalangan merasa dekat dengan sosok yang bersahaja ini.
“Pemikiran hingga kelakar beliau selalu beriringan dengan situasi kekinian. Tak heran, ketika tahun 2017 mengundang beliau membahas tentang cinta, para milenial bersuka cita berteriak “Aku Ingin”, menikmati diskusi bersamanya,” cerita Devie.
Mengutip salah satu karya Sapardi yang terkenal yaitu "Hujan di Bulan Juni", bahwa yang fana adalah waktu, Devie meyakini semua orang yang ditinggalkan mungkin tidak akan “setabah” hujan di bulan Juni.
“Mengingat “yang fana adalah waktu”, maka karya-karya beliau akan terus abadi, tidak akan pernah terhapus oleh "hujan yang meniadakan awan”. Selamat jalan Guru Bangsa Sastra Indonesia, kami mencintaimu…. Itulah sebabnya kami tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu di akhirat,” doanya untuk Sapardi. ( )
Begitu besar kehilangan yang dirasakan, sehingga banyak untaian kata yang dapat mewakili rasa kehilangan mendalam. “Beliau memang bagaikan “Jakarta yang tak hapus oleh hujan, tak lekang oleh panas.... Beliau ialah kasih sayang Tuhan untuk peradaban Indonesia,” tutupnya. R ratna purnamA
“Salah satu momen yang paling membahagiakan ketika 10 tahun lalu menjadi mahasiswi di Fakultas Ilmu Budaya UI, ialah kebanggaan dapat belajar di dalam ekosistem yang melahirkan tokoh seperti Prof. Sapardi Djoko Damono,” kata Devie pada Minggu (19/7).
Di mata kerabat, Sapardi adalah sosok yang sangat ramah. Walaupun menyandang nama besar, namun Sapardi tak dikenal sebagai sosok yang jumawa. “Sebagai seorang ilmuwan sekaligus sastrawan, beliau tidak pernah membangun jarak dengan siapapun,” kenangnya. ( )
Devie menuturkan, karya-karya sastra Sapardi memiliki ciri bahasa yang lugas, cerdas, dan mewakili rasa. Tak heran jika karya almarhum mampu menembus batasan usia dan membuat banyak kalangan merasa dekat dengan sosok yang bersahaja ini.
“Pemikiran hingga kelakar beliau selalu beriringan dengan situasi kekinian. Tak heran, ketika tahun 2017 mengundang beliau membahas tentang cinta, para milenial bersuka cita berteriak “Aku Ingin”, menikmati diskusi bersamanya,” cerita Devie.
Mengutip salah satu karya Sapardi yang terkenal yaitu "Hujan di Bulan Juni", bahwa yang fana adalah waktu, Devie meyakini semua orang yang ditinggalkan mungkin tidak akan “setabah” hujan di bulan Juni.
“Mengingat “yang fana adalah waktu”, maka karya-karya beliau akan terus abadi, tidak akan pernah terhapus oleh "hujan yang meniadakan awan”. Selamat jalan Guru Bangsa Sastra Indonesia, kami mencintaimu…. Itulah sebabnya kami tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu di akhirat,” doanya untuk Sapardi. ( )
Begitu besar kehilangan yang dirasakan, sehingga banyak untaian kata yang dapat mewakili rasa kehilangan mendalam. “Beliau memang bagaikan “Jakarta yang tak hapus oleh hujan, tak lekang oleh panas.... Beliau ialah kasih sayang Tuhan untuk peradaban Indonesia,” tutupnya. R ratna purnamA
(tsa)