Mengapa Makanan Khas Jawa Tengah Identik dengan Manis? Begini Sejarahnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Makanan khas Jawa Tengah identik dengan manis. Pasalnya, orang Jawa memang menyukai makanan bercita rasa manis. Mengapa bisa demikian?
Kuliner khas Jawa, khususnya Jawa Tengah, memang dominan memiliki cita rasa manis. Sampai ada anggapan, rasa sambal di wilayah itu pun manis. Olahan seperti selat solo dan gudeg, menjadi contoh masakan yang mengusung rasa khas gula tersebut.
Perkara orang Jawa suka rasa manis, hal itu tak lepas dari kondisi yang terjadi di masa lampau, tepatnya pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Sejumlah literatur mengungkap bahwa pada tahun 1830-an, di Pulau Jawa pernah diterapkan sistem tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda.
Merunut sejarah ke belakang, pada 1825-1830 diketahui telah terjadi perang besar yang dikenal nama Perang Diponegoro. Perang ini rupanya menelan banyak kerugian dari pihak Belanda. Alhasil, ketika perang usai, pemerintah Hindia Belanda terlilit krisis keuangan.
Akhirnya pada 1831, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van der Bosch mulai menerapkan sistem tanam paksa di Pulau Jawa. Wilayah Jawa Barat diwajibkan untuk menanam kopi. Sementara Jawa Tengah harus menanam pohon tebu. Cerita ini salah satunya terungkap di dalam buku berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto, di mana disebutkan bahwa akibat sistem tanam paksa ini, di Pulau Jawa pernah terjadi surplus gula.
Pada saat itu, 70 persen wilayah pertanian di Jawa Tengah dan Yogyakarta diubah menjadi ladang tebu. Kondisi ini berlangsung selama kurang lebih sembilan tahun.
Di sisi lain, krisis pangan mulai terjadi di wilayah Jawa Tengah pada kurun waktu 1830-1870 akibat minimnya bahan baku makanan lain yang bisa diolah. Berhubung komoditas yang tersedia di sana kebanyakan adalah tebu, akhirnya masyarakat harus terus mengonsumsi pangan berbahan tebu atau gula demi bisa bertahan hidup. Gula ini diolah menjadi makanan, sehingga lama kelamaan masyarakat Jawa Tengah menjadi terbiasa dengan rasa manis dan banyak memasukannya ke dalam masakan.
Kuliner khas Jawa, khususnya Jawa Tengah, memang dominan memiliki cita rasa manis. Sampai ada anggapan, rasa sambal di wilayah itu pun manis. Olahan seperti selat solo dan gudeg, menjadi contoh masakan yang mengusung rasa khas gula tersebut.
Perkara orang Jawa suka rasa manis, hal itu tak lepas dari kondisi yang terjadi di masa lampau, tepatnya pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Sejumlah literatur mengungkap bahwa pada tahun 1830-an, di Pulau Jawa pernah diterapkan sistem tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baca Juga
Merunut sejarah ke belakang, pada 1825-1830 diketahui telah terjadi perang besar yang dikenal nama Perang Diponegoro. Perang ini rupanya menelan banyak kerugian dari pihak Belanda. Alhasil, ketika perang usai, pemerintah Hindia Belanda terlilit krisis keuangan.
Akhirnya pada 1831, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van der Bosch mulai menerapkan sistem tanam paksa di Pulau Jawa. Wilayah Jawa Barat diwajibkan untuk menanam kopi. Sementara Jawa Tengah harus menanam pohon tebu. Cerita ini salah satunya terungkap di dalam buku berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto, di mana disebutkan bahwa akibat sistem tanam paksa ini, di Pulau Jawa pernah terjadi surplus gula.
Pada saat itu, 70 persen wilayah pertanian di Jawa Tengah dan Yogyakarta diubah menjadi ladang tebu. Kondisi ini berlangsung selama kurang lebih sembilan tahun.
Di sisi lain, krisis pangan mulai terjadi di wilayah Jawa Tengah pada kurun waktu 1830-1870 akibat minimnya bahan baku makanan lain yang bisa diolah. Berhubung komoditas yang tersedia di sana kebanyakan adalah tebu, akhirnya masyarakat harus terus mengonsumsi pangan berbahan tebu atau gula demi bisa bertahan hidup. Gula ini diolah menjadi makanan, sehingga lama kelamaan masyarakat Jawa Tengah menjadi terbiasa dengan rasa manis dan banyak memasukannya ke dalam masakan.
(tsa)