Studi: Kurang Tidur Sebabkan Tidak Bahagia dan Cemas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kurang tidur tidak hanya menyebabkan kelelahan tetapi juga berdampak pada kesejahteraan emosional, menurunkan suasana hati positif dan meningkatkan gejala kecemasan. Temuan ini berdasarkan studi yang menekankan perlunya mengatasi dampak kurang tidur terhadap emosi masyarakat yang kurang tidur.
Dilansir dari Times Now News, Sabtu (13/1/2024) analisis komprehensif ini mencakup penelitian selama 50 tahun, yang menekankan pentingnya memprioritaskan tidur di berbagai sektor untuk menjaga kesejahteraan.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Bulletin ini menyatukan lebih dari 50 tahun penelitian tentang kurang tidur dan suasana hati. Penulis utama Cara Palmer, PhD, dari Montana State University mengatakan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen orang dewasa dan hingga 90 persen remaja tidak mendapatkan cukup tidur.
“Dalam masyarakat kita yang sebagian besar kurang tidur, mengukur dampak kurang tidur terhadap emosi sangat penting untuk meningkatkan kesehatan psikologis,” kata Palmer.
Foto/Infografis SINDOnews
“Studi ini mewakili sintesis paling komprehensif dari penelitian eksperimental tentang tidur dan emosi hingga saat ini, dan memberikan bukti kuat bahwa periode terjaga yang diperpanjang, durasi tidur yang lebih pendek, dan terbangun di malam hari berdampak buruk pada fungsi emosional manusia,” tambahnya.
Tim menganalisis data dari 154 penelitian selama lima dekade, dengan total peserta 5.715. Dalam semua penelitian tersebut, peneliti mengganggu tidur partisipan selama satu malam atau lebih. Dalam beberapa percobaan, peserta tetap terjaga untuk waktu yang lama.
Di negara lain, mereka diperbolehkan tidur lebih pendek dari biasanya, dan di negara lain mereka dibangunkan secara berkala sepanjang malam. Setiap penelitian juga mengukur setidaknya satu variabel yang berhubungan dengan emosi setelah manipulasi tidur, seperti suasana hati peserta yang dilaporkan sendiri, respons mereka terhadap rangsangan emosional, dan ukuran gejala depresi dan kecemasan.
Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa ketiga jenis kurang tidur mengakibatkan lebih sedikit emosi positif. Seperti kegembiraan, kebahagiaan dan kepuasan di antara peserta, serta peningkatan gejala kecemasan seperti detak jantung yang cepat dan peningkatan rasa khawatir.
“Hal ini terjadi bahkan setelah kurang tidur dalam waktu singkat, seperti begadang satu atau dua jam lebih lambat dari biasanya atau setelah kurang tidur beberapa jam saja,” jelas Palmer.
“Kami juga menemukan bahwa kurang tidur meningkatkan gejala kecemasan dan menumpulkan gairah sebagai respons terhadap rangsangan emosional,” lanjutnya.
Temuan untuk gejala depresi lebih kecil dan kurang konsisten, begitu pula dengan emosi negatif seperti kesedihan, kekhawatiran, dan stres. Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah mayoritas pesertanya adalah orang dewasa muda dengan usia rata-rata adalah 23 tahun.
Penelitian di masa depan harus mencakup sampel usia yang lebih beragam untuk lebih memahami bagaimana kurang tidur mempengaruhi orang-orang pada usia yang berbeda, menurut para peneliti.
Dilansir dari Times Now News, Sabtu (13/1/2024) analisis komprehensif ini mencakup penelitian selama 50 tahun, yang menekankan pentingnya memprioritaskan tidur di berbagai sektor untuk menjaga kesejahteraan.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Bulletin ini menyatukan lebih dari 50 tahun penelitian tentang kurang tidur dan suasana hati. Penulis utama Cara Palmer, PhD, dari Montana State University mengatakan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen orang dewasa dan hingga 90 persen remaja tidak mendapatkan cukup tidur.
“Dalam masyarakat kita yang sebagian besar kurang tidur, mengukur dampak kurang tidur terhadap emosi sangat penting untuk meningkatkan kesehatan psikologis,” kata Palmer.
Foto/Infografis SINDOnews
“Studi ini mewakili sintesis paling komprehensif dari penelitian eksperimental tentang tidur dan emosi hingga saat ini, dan memberikan bukti kuat bahwa periode terjaga yang diperpanjang, durasi tidur yang lebih pendek, dan terbangun di malam hari berdampak buruk pada fungsi emosional manusia,” tambahnya.
Tim menganalisis data dari 154 penelitian selama lima dekade, dengan total peserta 5.715. Dalam semua penelitian tersebut, peneliti mengganggu tidur partisipan selama satu malam atau lebih. Dalam beberapa percobaan, peserta tetap terjaga untuk waktu yang lama.
Di negara lain, mereka diperbolehkan tidur lebih pendek dari biasanya, dan di negara lain mereka dibangunkan secara berkala sepanjang malam. Setiap penelitian juga mengukur setidaknya satu variabel yang berhubungan dengan emosi setelah manipulasi tidur, seperti suasana hati peserta yang dilaporkan sendiri, respons mereka terhadap rangsangan emosional, dan ukuran gejala depresi dan kecemasan.
Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa ketiga jenis kurang tidur mengakibatkan lebih sedikit emosi positif. Seperti kegembiraan, kebahagiaan dan kepuasan di antara peserta, serta peningkatan gejala kecemasan seperti detak jantung yang cepat dan peningkatan rasa khawatir.
“Hal ini terjadi bahkan setelah kurang tidur dalam waktu singkat, seperti begadang satu atau dua jam lebih lambat dari biasanya atau setelah kurang tidur beberapa jam saja,” jelas Palmer.
“Kami juga menemukan bahwa kurang tidur meningkatkan gejala kecemasan dan menumpulkan gairah sebagai respons terhadap rangsangan emosional,” lanjutnya.
Temuan untuk gejala depresi lebih kecil dan kurang konsisten, begitu pula dengan emosi negatif seperti kesedihan, kekhawatiran, dan stres. Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah mayoritas pesertanya adalah orang dewasa muda dengan usia rata-rata adalah 23 tahun.
Penelitian di masa depan harus mencakup sampel usia yang lebih beragam untuk lebih memahami bagaimana kurang tidur mempengaruhi orang-orang pada usia yang berbeda, menurut para peneliti.
(dra)