Kenali Gejala Kelainan Refraksi pada Mata Anak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di era adaptasi normal ini, anak-anak masih harus menjalani pembelajaran di rumah (school from home). Mau tidak mau anak harus berlama-lama menatap layar gawai selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Lalu, bagaimana menyiasati agar mata anak tetap terjaga kesehatannya selama belajar online ?
Dikatakan dr. Anissa Nindhyatriayu Witjaksono, BMedSc (Hons), Sp.M yang merupakan spesialis mata RSUI, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk orangtua ketika anak harus menggunakan gadget terlalu lama di saat pandemi seperti ini, yaitu dengan metode 20-20-20.
“Metode 20-20-20 yaitu 20 menit melihat gadget (hp atau laptop) dan 20 detik istirahat melihat atap langit-langit atau benda jauh sekitar 6 meter (20 kaki),” katanya dalam seminar bertema kesehatan mata anak yang diadakan RSUI. ( )
Dr. Anissa merekomendasikan penggunaan gadget pada anak di masa new normal hanya difokuskan untuk keperluaan sekolah , sementara aktivitas hiburan harus dialihkan dengan kegiatan lain.
Menurut dr. Anissa, sebenarnya penggunaan gawai pada anak tidak menjadi masalah, karena gadget (HP/laptop) tidak berdampak secara langsung pada mata anak (menjadi minus). Namun, jarak penggunaannya yang harus diperhatikan, karena near-work activity yang memengaruhi perkembangan miopia, di mana anak-anak memiliki kecenderungan untuk melihat benda, termasuk gadget, dalam jarak terlalu dekat.
“Penggunaan gadget tidak menjadi masalah sepanjang penggunaan tersebut tidak berlangsung lama. Namun, jika terlalu lama akibatnya dapat membuat mata cenderung menjadi lelah. Hal ini dikarenakan biasanya anak-anak menatap gadget, membuat frekuensi berkedip berkurang,” terangnya.
Pada keadaan normal, mata manusia berkedip 15 kali per menit. Dengan cahaya gadget ini, menyebabkan orang hanya berkedip 5-7 kali per menit. Jadi hal inilah yang membuat mata menjadi lelah.
Pada kesempatan itu, dr. Anissa juga menyinggung soal kelainan refraksi. Menurutnya, kelainan refraksi adalah kondisi di mana gambaran benda yang masuk ke dalam mata tidak dapat difokuskan dengan tepat di retina. Hal ini membuat bayangan benda terlihat buram atau tidak tajam.
Kelainan refraksi dibagi menjadi tiga yaitu rabun jauh (miopi), rabun dekat (hiperopia), dan astigmatisma (mata silinder). Kelainan refraksi merupakan kelainan mata terbanyak di masyarakat, tak terkecuali pada anak-anak.
Ada beberapa gejala kelainan refraksi pada anak yang dapat menjadi acuan orangtua yaitu pandangan buram, mengernyitkan dahi saat melihat, mendekatkan mata saat membaca, dan prestasi di sekolah menurun. ( )
“Jika anak-anak mengalami salah satu gejala tersebut tentu orangtua harus segera mewaspadai,” ujar dr. Anissa.
Lebih lanjut dr. Anissa menjelaskan, kelainan refraksi disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan/kebiasaan. Pada faktor lingkungan/kebiasaan dipengaruhi oleh aktivitas luar, jarak baca, dan pencahayaan saat membaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki waktu 40 menit bermain di luar per hari dapat mengurangi risiko progresivitas miopia (rabun jauh).
Dikatakan dr. Anissa Nindhyatriayu Witjaksono, BMedSc (Hons), Sp.M yang merupakan spesialis mata RSUI, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk orangtua ketika anak harus menggunakan gadget terlalu lama di saat pandemi seperti ini, yaitu dengan metode 20-20-20.
“Metode 20-20-20 yaitu 20 menit melihat gadget (hp atau laptop) dan 20 detik istirahat melihat atap langit-langit atau benda jauh sekitar 6 meter (20 kaki),” katanya dalam seminar bertema kesehatan mata anak yang diadakan RSUI. ( )
Dr. Anissa merekomendasikan penggunaan gadget pada anak di masa new normal hanya difokuskan untuk keperluaan sekolah , sementara aktivitas hiburan harus dialihkan dengan kegiatan lain.
Menurut dr. Anissa, sebenarnya penggunaan gawai pada anak tidak menjadi masalah, karena gadget (HP/laptop) tidak berdampak secara langsung pada mata anak (menjadi minus). Namun, jarak penggunaannya yang harus diperhatikan, karena near-work activity yang memengaruhi perkembangan miopia, di mana anak-anak memiliki kecenderungan untuk melihat benda, termasuk gadget, dalam jarak terlalu dekat.
“Penggunaan gadget tidak menjadi masalah sepanjang penggunaan tersebut tidak berlangsung lama. Namun, jika terlalu lama akibatnya dapat membuat mata cenderung menjadi lelah. Hal ini dikarenakan biasanya anak-anak menatap gadget, membuat frekuensi berkedip berkurang,” terangnya.
Pada keadaan normal, mata manusia berkedip 15 kali per menit. Dengan cahaya gadget ini, menyebabkan orang hanya berkedip 5-7 kali per menit. Jadi hal inilah yang membuat mata menjadi lelah.
Pada kesempatan itu, dr. Anissa juga menyinggung soal kelainan refraksi. Menurutnya, kelainan refraksi adalah kondisi di mana gambaran benda yang masuk ke dalam mata tidak dapat difokuskan dengan tepat di retina. Hal ini membuat bayangan benda terlihat buram atau tidak tajam.
Kelainan refraksi dibagi menjadi tiga yaitu rabun jauh (miopi), rabun dekat (hiperopia), dan astigmatisma (mata silinder). Kelainan refraksi merupakan kelainan mata terbanyak di masyarakat, tak terkecuali pada anak-anak.
Ada beberapa gejala kelainan refraksi pada anak yang dapat menjadi acuan orangtua yaitu pandangan buram, mengernyitkan dahi saat melihat, mendekatkan mata saat membaca, dan prestasi di sekolah menurun. ( )
“Jika anak-anak mengalami salah satu gejala tersebut tentu orangtua harus segera mewaspadai,” ujar dr. Anissa.
Lebih lanjut dr. Anissa menjelaskan, kelainan refraksi disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan/kebiasaan. Pada faktor lingkungan/kebiasaan dipengaruhi oleh aktivitas luar, jarak baca, dan pencahayaan saat membaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki waktu 40 menit bermain di luar per hari dapat mengurangi risiko progresivitas miopia (rabun jauh).
(tsa)