Kasus Diabetes pada Anak Melonjak di Indonesia, Ketua IDAI: Alarm untuk Pemerintah dan Orang Tua
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus diabetes melitus (DM) pada anak belakangan cukup menjadi perhatian. Tak hanya di Indonesia, kasus ini juga menjadi masalah global.
Hal itu jelas mengundang perhatian banyak pihak. Salah satunya Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso.
Dokter Pripim mengungkapkan, peningkatan kasus DM yang belakangan terjadi pada anak-anak sebenarnya sudah menjadi semacam ‘alarm’ untuk pemerintah. Namun, dr. Pripim juga menilai, hal itu harus menjadi perhatian besar bagi para orang tua.
Menurutnya, peningkatan kasus DM di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat yang terbilang buruk.
“Saya kira dengan adanya kasus-kasus peningkatan data diabetes tipe 1 dan 2 pada anak, hipertensi pada anak juga banyak, kemudian gangguan ginjal, itu harusnya merupakan wake up call atau alarm buat pemerintah, dan buat stakeholder lain,” ujar dr. Pripim saat ditemui di kantor IDAI, Salemba, Jakarta, Kamis (1/8/2024).
“Dan juga orang tua menurut saya. Bahwa gaya hidup kita itu memprihatinkan. Tapi, itu memang mesti diawali dari keluarga. Kalau kita mau anak punya gaya hidup sehat, ya orang tuanya mesti mencontohkan,” lanjutnya.
Dokter Pripim menambahkan, meski kasus DM merupakan masalah global, namun peningkatan kasus penyakit ini di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh stigma masyarakat terhadap ‘gula’. Ia menyebut, saat ini masyarakat selalu berpikir bahwa gula dianggap tidak berbahaya. Padahal, faktanya justru sebaliknya.
Karena itu, dokter sekaligus Konsultan Jantung Anak ini menyebut, masalah peningkatan kasus DM di Indonesia tak semata-mata hanya menjadi ‘PR’ bagi pemerintah, namun juga bagi masyarakat, khususnya di kalangan orang tua.
“Gula itu bahayanya karena dianggap tidak berbahaya. Jadi saya kira kalau mengandalkan pemerintah aja, itu juga agak susah ya. Mesti bareng-barenglah,” ungkapnya.
“Dan ketika masalah gaya hidup, secanggih apa pun dokter, susah. Karena terapi ya perubahan gaya hidup,” tandas dr. Pripim.
Sebagai informasi, angka kejadian diabetes pada anak di Indonesia naik 70 kali lipat pada 2023 dibandingkan tahun 2010, yang mencapai hingga 1.645 anak.
Terdapat 3 jenis diabetes pada anak, yaitu DM tipe 1, 2, dan monogenic. Diabetes melitus tipe 1 lebih banyak dijumpai pada anak. Akhir-akhir ini, berbagai studi melaporkan peningkatan kasus DM tipe 2 pada anak. Faktor risiko yang dilaporkan antara lain obesitas, genetik, etnik, serta riwayat DM tipe 2 di keluarga.
Gejala diabetes anak sering kali tidak khas, sehingga banyak pasien diabetes datang dan pertama kali terdiagnosis dalam keadaan Ketoasidosis Diabetikum (KAD), kondisi yang ditandai dengan keadaan sesak serta kadar gula darah yang tinggi dan membahayakan nyawa.
Hal itu jelas mengundang perhatian banyak pihak. Salah satunya Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso.
Dokter Pripim mengungkapkan, peningkatan kasus DM yang belakangan terjadi pada anak-anak sebenarnya sudah menjadi semacam ‘alarm’ untuk pemerintah. Namun, dr. Pripim juga menilai, hal itu harus menjadi perhatian besar bagi para orang tua.
Menurutnya, peningkatan kasus DM di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat yang terbilang buruk.
“Saya kira dengan adanya kasus-kasus peningkatan data diabetes tipe 1 dan 2 pada anak, hipertensi pada anak juga banyak, kemudian gangguan ginjal, itu harusnya merupakan wake up call atau alarm buat pemerintah, dan buat stakeholder lain,” ujar dr. Pripim saat ditemui di kantor IDAI, Salemba, Jakarta, Kamis (1/8/2024).
“Dan juga orang tua menurut saya. Bahwa gaya hidup kita itu memprihatinkan. Tapi, itu memang mesti diawali dari keluarga. Kalau kita mau anak punya gaya hidup sehat, ya orang tuanya mesti mencontohkan,” lanjutnya.
Dokter Pripim menambahkan, meski kasus DM merupakan masalah global, namun peningkatan kasus penyakit ini di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh stigma masyarakat terhadap ‘gula’. Ia menyebut, saat ini masyarakat selalu berpikir bahwa gula dianggap tidak berbahaya. Padahal, faktanya justru sebaliknya.
Karena itu, dokter sekaligus Konsultan Jantung Anak ini menyebut, masalah peningkatan kasus DM di Indonesia tak semata-mata hanya menjadi ‘PR’ bagi pemerintah, namun juga bagi masyarakat, khususnya di kalangan orang tua.
“Gula itu bahayanya karena dianggap tidak berbahaya. Jadi saya kira kalau mengandalkan pemerintah aja, itu juga agak susah ya. Mesti bareng-barenglah,” ungkapnya.
“Dan ketika masalah gaya hidup, secanggih apa pun dokter, susah. Karena terapi ya perubahan gaya hidup,” tandas dr. Pripim.
Sebagai informasi, angka kejadian diabetes pada anak di Indonesia naik 70 kali lipat pada 2023 dibandingkan tahun 2010, yang mencapai hingga 1.645 anak.
Terdapat 3 jenis diabetes pada anak, yaitu DM tipe 1, 2, dan monogenic. Diabetes melitus tipe 1 lebih banyak dijumpai pada anak. Akhir-akhir ini, berbagai studi melaporkan peningkatan kasus DM tipe 2 pada anak. Faktor risiko yang dilaporkan antara lain obesitas, genetik, etnik, serta riwayat DM tipe 2 di keluarga.
Gejala diabetes anak sering kali tidak khas, sehingga banyak pasien diabetes datang dan pertama kali terdiagnosis dalam keadaan Ketoasidosis Diabetikum (KAD), kondisi yang ditandai dengan keadaan sesak serta kadar gula darah yang tinggi dan membahayakan nyawa.
(tsa)