Awas Salah! Ini Cara Baca Hasil Rapid Test yang Benar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selama pandemi COVID-19, rapid test menjadi begitu penting dilakukan untuk mendeteksi paparan virus corona di dalam tubuh kita. Jika tes sudah dilakukan dan membaca hasilnya, kebingungan bisa jadi muncul. Maka, penting buat kita mengetahui "seluk-beluk" rapid test dan cara membaca hasilnya dengan benar.
Rapid test bertujuan mencari antibodi, yaitu IgM dan IgG, yang dibuat oleh tubuh sebagai respons terhadap ancaman virus corona. Antibodi dapat membantu melawan infeksi. Jika antibodi terdeteksi dalam tubuh seseorang, artinya tubuh orang tersebut pernah terpapar atau dimasuki virus corona, bahkan virus lain. ( )
"Seperti tes gula darah, yang dilihat adalah antibodinya. Kemudian sumber sampelnya dari darah, jadi teteskan darah saja di dalam kit itu, lalu akan ketahuan apakah dia positif atau negatif," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, dalam jumpa pers baru-baru ini.
Antibodi membutuhkan waktu beberapa hari atau minggu untuk berkembang setelah tubuh mengalami infeksi dan mungkin tinggal di dalam darah selama beberapa minggu atau lebih setelah pemulihan. Karena itu, rapid test tidak boleh digunakan untuk mendiagnosis infeksi virus corona baru.
Lebih lanjut Prof. Ari menjelaskan bahwa sama seperti tes kehamilan yang menggunakan urin, ketika muncul garis 1 pada kontrol, menandakan negatif. Tapi, jika muncul garis di IgG atau muncul garis di IgM, bahkan muncul garis di IgG dan IgM, itu menunjukkan pasien positif. Sedangkan, jika tidak muncul di kontrol C menandakan rapid test tidak valid.
"Kalau memang dalam darah ini mengandung antibodi, tentu kalau yang terkontrol itu akan positif karena dia mengalir. Sampel tersebut berjalan, menyerap, kalau dia mengandung antibodi, karena yang di dalam kit tersebut antigen maka dia akan reaksi menghasilkan adanya warna. Kalau warna tersebut muncul, berarti ada reaksi antigen, antibodi," jelasnya.
Pada keadaan asimptomatik atau tidak adanya gejala klinis apapun, menunjukkan belum terdeteksi antibodi dan masih mungkin hasil rapid test negatif. Jika pernah kontak dengan pasien COVID-19 , Prof Ari menyarankan untuk menunggu 2 minggu. Kemudian, kalau simptomatik, IgM di awal itu respons ketika sesuatu ada infeksi, maka yang akan muncul adalah antibodi M dulu dan sejalan dengan perjalanan penyakit. Dalam keadaan tersebut, jika sudah mulai membaik akan muncul IgG.
"Gambar ini ingin menunjukkan pada kita, ketika pasien itu pada saat diperiksa IgM-nya masih negatif, IgG masih negatif tapi ada riwayat kontak, maka bisa saja positif tapi masih masuk window periode infeksi. Window periode itu artinya sudah mulai ada inkubasi, tapi belum ada gejala. Di masa ini masih negatif, tapi sebenarnya dia masih dalam masa perjalanan ke situ," beber Prof. Ari.
"Kemudian ketika IgM-nya terdeteksi muncul, pasien ini sudah mulai mengalami fase awal infeksi. Kemudian ketika muncul kedua-duanya, IgG, IgM-nya muncul, itu artinya memang dalam fase aktif. Kemudian ketika IgM-nya sudah negatif, kemudian IgG-nya positif, ini yang bisa dibilang punya riwayat. Ada kemungkinan dia ada riwayat sudah pernah terinfeksi," tambahnya.
Rapid test mungkin memberikan hasil yang cepat, tapi sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi aktif. Rapid test hanya mendeteksi antibodi yang dikembangkan sistem kekebalan sebagai respons terhadap virus , bukan virus itu sendiri.
"Sekali lagi ini yang dilihat antibodinya dan yang diambil adalah darah pada finger print di kit, pada serum, atau plasma. Memang ini tugas dari petugas kesehatan yang ada di lapangan, tapi masyarakat juga harus mengetahui secara kasar karena ini sistemnya seperti test pack. Seperti tes kehamilan," paparnya. ( )
Diperlukan beberapa hari hingga beberapa minggu untuk mengembangkan antibodi yang cukup untuk dideteksi dalam tes. Selain itu, pemeriksaan rapid test hanya merupakan penapisan awal atau pemeriksaan penyaringan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan harus tetap dikonfirmasi melalui pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).
"Memang lebih bagus kita cocokan dengan PCR. Sekali lagi tools ini memang mudah, bisa dikerjakan di mana-mana. Tetap harus konfirmasi dengan molekuler karena dengan pemeriksaan molekuler secara langsung bisa dipastikan di tubuh pasien tersebut memang ada virus," tandasnya.
Rapid test bertujuan mencari antibodi, yaitu IgM dan IgG, yang dibuat oleh tubuh sebagai respons terhadap ancaman virus corona. Antibodi dapat membantu melawan infeksi. Jika antibodi terdeteksi dalam tubuh seseorang, artinya tubuh orang tersebut pernah terpapar atau dimasuki virus corona, bahkan virus lain. ( )
"Seperti tes gula darah, yang dilihat adalah antibodinya. Kemudian sumber sampelnya dari darah, jadi teteskan darah saja di dalam kit itu, lalu akan ketahuan apakah dia positif atau negatif," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, dalam jumpa pers baru-baru ini.
Antibodi membutuhkan waktu beberapa hari atau minggu untuk berkembang setelah tubuh mengalami infeksi dan mungkin tinggal di dalam darah selama beberapa minggu atau lebih setelah pemulihan. Karena itu, rapid test tidak boleh digunakan untuk mendiagnosis infeksi virus corona baru.
Lebih lanjut Prof. Ari menjelaskan bahwa sama seperti tes kehamilan yang menggunakan urin, ketika muncul garis 1 pada kontrol, menandakan negatif. Tapi, jika muncul garis di IgG atau muncul garis di IgM, bahkan muncul garis di IgG dan IgM, itu menunjukkan pasien positif. Sedangkan, jika tidak muncul di kontrol C menandakan rapid test tidak valid.
"Kalau memang dalam darah ini mengandung antibodi, tentu kalau yang terkontrol itu akan positif karena dia mengalir. Sampel tersebut berjalan, menyerap, kalau dia mengandung antibodi, karena yang di dalam kit tersebut antigen maka dia akan reaksi menghasilkan adanya warna. Kalau warna tersebut muncul, berarti ada reaksi antigen, antibodi," jelasnya.
Pada keadaan asimptomatik atau tidak adanya gejala klinis apapun, menunjukkan belum terdeteksi antibodi dan masih mungkin hasil rapid test negatif. Jika pernah kontak dengan pasien COVID-19 , Prof Ari menyarankan untuk menunggu 2 minggu. Kemudian, kalau simptomatik, IgM di awal itu respons ketika sesuatu ada infeksi, maka yang akan muncul adalah antibodi M dulu dan sejalan dengan perjalanan penyakit. Dalam keadaan tersebut, jika sudah mulai membaik akan muncul IgG.
"Gambar ini ingin menunjukkan pada kita, ketika pasien itu pada saat diperiksa IgM-nya masih negatif, IgG masih negatif tapi ada riwayat kontak, maka bisa saja positif tapi masih masuk window periode infeksi. Window periode itu artinya sudah mulai ada inkubasi, tapi belum ada gejala. Di masa ini masih negatif, tapi sebenarnya dia masih dalam masa perjalanan ke situ," beber Prof. Ari.
"Kemudian ketika IgM-nya terdeteksi muncul, pasien ini sudah mulai mengalami fase awal infeksi. Kemudian ketika muncul kedua-duanya, IgG, IgM-nya muncul, itu artinya memang dalam fase aktif. Kemudian ketika IgM-nya sudah negatif, kemudian IgG-nya positif, ini yang bisa dibilang punya riwayat. Ada kemungkinan dia ada riwayat sudah pernah terinfeksi," tambahnya.
Rapid test mungkin memberikan hasil yang cepat, tapi sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi aktif. Rapid test hanya mendeteksi antibodi yang dikembangkan sistem kekebalan sebagai respons terhadap virus , bukan virus itu sendiri.
"Sekali lagi ini yang dilihat antibodinya dan yang diambil adalah darah pada finger print di kit, pada serum, atau plasma. Memang ini tugas dari petugas kesehatan yang ada di lapangan, tapi masyarakat juga harus mengetahui secara kasar karena ini sistemnya seperti test pack. Seperti tes kehamilan," paparnya. ( )
Diperlukan beberapa hari hingga beberapa minggu untuk mengembangkan antibodi yang cukup untuk dideteksi dalam tes. Selain itu, pemeriksaan rapid test hanya merupakan penapisan awal atau pemeriksaan penyaringan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan harus tetap dikonfirmasi melalui pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).
"Memang lebih bagus kita cocokan dengan PCR. Sekali lagi tools ini memang mudah, bisa dikerjakan di mana-mana. Tetap harus konfirmasi dengan molekuler karena dengan pemeriksaan molekuler secara langsung bisa dipastikan di tubuh pasien tersebut memang ada virus," tandasnya.
(tsa)