We Love Bali, Menikmati Keindahan Taman Laut dan Budaya di Desa Les

Senin, 07 Desember 2020 - 23:12 WIB
loading...
We Love Bali, Menikmati...
Terumbu karang yang dahulu rusak sekarang telah tumbuh menjadi barisan hard dan soft coral yang indah, ikan-ikan yang cantik pun kembali berdatangan. / Foto: Ilustrasi/bulelengkab.go.id
A A A
JAKARTA - Jauh dari rentetan hotel berbintang, restoran mewah, padatnya lalu lintas, hiburan malam, ataupun titik berselancar, ada kedamaian yang ditawarkan di wilayah Bali bagian utara. Lokasi tersebut berupa desa yang sempurna untuk tujuan ekowisata dan budaya. Desa Les namanya, berlokasi di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali.

(Baca juga: Upaya Tingkatkan Kunjungan ke Pantai Lovina Melalui We Love Bali )

Desa Les merupakan salah satu dari 51 desa pesisir yang terdapat di sembilan kecamatan di Buleleng . Bisa dibayangkan berapa besar kekayaan laut yang dimiliki wilayah ini. Nelayan Desa Les mayoritas mencari ikan hias untuk menghidupi keluarga mereka sejak lebih dari 30 tahun lalu.

Awalnya alat yang digunakan berupa jaring, lalu beralih menggunakan potas atau bius untuk meningkatkan kemampuan mencari ikan seiring banyaknya permintaan ikan hias. Oleh karena potas terbukti menyebabkan 70 persen terumbu karang di Desa Les rusak, akhirnya mereka mempelajari cara menangkap ikan yang ramah lingkungan.

Digagas Yayasan Bahtera Nusantara pada awal 2000, nelayan Desa Les dibekali penanganan menangkap ikan menggunakan jaring penghalang dan jaring kecil, serta dibantu sebuah ember. Kekhawatiran nelayan bahwa hasil tangkapan akan berkurang karena metode baru ini, ternyata tidak terbukti. Bahkan ikan hias yang didapat memiliki kualitas yang jauh lebih baik, tingkat kematiannya pun rendah.

Melihat prospek baik tersebut, seluruh nelayan Desa Les berangsur-angsur meninggalkan cara tangkap potas dan membentuk kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari yang melarang keras penggunaan potas. Desa Les patut menjadi inspirasi dan dikenang kearifan lokalnya karena menaungi masyarakat-masyarakat yang menghargai alam.

Kini desa wisata ini merupakan tempat menyelam yang menarik. Terumbu karang yang dahulu rusak sekarang telah tumbuh menjadi barisan hard dan soft coral yang indah, ikan-ikan yang cantik pun kembali berdatangan untuk menghiasi alam bawah lautnya.

Tidak hanya penghasil ikan hias, nelayan di sana juga bekerja keras menghasilkan garam yang sudah diekspor ke Jepang, Australia, dan Amerika. Desa Les memiliki sekitar 20 petani yang berkontribusi memproduksi ratusan ton garam di Kabupaten Buleleng. Hanya di kabupaten ini juga, garam diproduksi dengan bentuk piramida yang unik.

Mengupas Desa Les dari sisi budaya pun tak kalah menarik. Di antara banyak desa di Bali, Les merupakan salah satu yang masih melestarikan upacara pemakaman metuun, walaupun sebagian kecil sudah menggunakan tradisi ngaben. Metuun, menurut masyarakat setempat, berasal dari kata tuwun dengan awalan ma, artinya menghadap turun. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, ke depan atau ke belakang. Masyarakat Les memaknainya sebagai upacara yang dilangsungkan sesederhana mungkin.

Upacara metuun umumnya mengambil waktu yang sama dengan ngaben, hanya saja ada beberapa proses yang dihindari, tempat penyelenggaraannya pun biasanya cukup di pekarangan rumah. Ciri utama metuun adalah menggunakan babi jantan sebagai bagian dari seserahan banten bebangkit, fungsinya untuk memanggil kehadiran Hyang Pitara. Metuun tidak menggunakan badeatau rangka menara yang ada pada upacara ngaben.

Pesisir pantai di Desa Les bukanlah tempat yang dipenuhi turis-turis, kursi santai, ataupun pedagang yang menawarkan aneka makanan dan minuman. Anda hanya akan mendapati ombak dengan suara tenang yang kadang memercik jika terhempas batu-batu. Pinggiran pantai dihiasi pohon palem dan perahu nelayan tradisional khas Bali. Saat senja, perahu-perahu tersebut akan membentuk siluet indah bertatapan langsung dengan garis cakrawala, jangan terlewat mengabadikan momen itu dengan kamera Anda.

Anda dapat ikut mempelajari proyek penyelamatan terumbu karang yang dilakukan oleh nelayan, dengan cara berenang ataupun snorkeling untuk menilik langsung kehidupan bawah lautnya.

Desa Les masih memiliki komunitas budaya yang aktif, Anda bisa mengunjungi Pura Puseh, Pura Dalem Meraje Pati dan Pura Bale Agung di waktu-waktu tertentu untuk melihat tradisi upacara. Pura Puseh merupakan pusat tempat peribadatan bagi banyak desa, Pura Dalem Meraje Pati sering digunakan untuk pemakaman, sementara Pura Bale Agung kerap difungsikan untuk pertemuan sosial penduduk desa setempat.

Rasakan damainya alam Desa Les dalam perjalanan hiking di sepanjang lereng Gunung Batur dan Hutan Bangli, di sana terdapat Air Terjun Yeh Mampeh atau yang lebih akrab disebut Air Terjun Les. Yeh Mampeh artinya air terbang karena ketinggian air terjun tersebut mencapai 30 meter.

Hari kedua pelaksanaan program We Love Bali yang digagas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif /Badan Pariwisata Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) peserta diajak mengunjungi Desa Les. Protokol kesehatan berjalan dengan baik di sini.

We Love Bali, Menikmati Keindahan Taman Laut dan Budaya di Desa Les


Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Event) Kemenparekraf/Baparekraf, Rizki Handayani menerangkan, dalam upaya memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk selama pandemi Covid-19 dan dalam rangka membangkitkan pariwisata Bali, Pemerintah Daerah Bali melalui Tim Percepatan Pemulihan Pariwisata Bali yang didukung dan dibiayai penuh Kemenparekraf/Baparekraf menyelenggarakan program We Love Bali .

Dalam program tersebut, masyarakat lokal diundang dan dibiayai untuk berlibur dan menikmati daya tarik wisata Bali sekaligus diperkenalkan dan mendapatkan edukasi terkait penerapan protokol kesehatan berbasis CHSE yaitu cleanliness (kebersihan), health (kesehatan), safety (keamanan) dan environment friendly (ramah lingkungan).

Menurut Rizki, implementasi penerapan CHSE melalui program We Love Bali ini merupakan salah satu bentuk dukungan kepada para pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif termasuk hotel, usaha perjalanan wisata, usaha transport, pemandu wisata, restoran, daerah tujuan wisata, UMKM dan lain sebagainya. "Kegiatan ini bertujuan memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk selama pandemi Covid-19 dan dalam rangka membangkitkan pariwisata Bali," kata Rizki dalam pernyataan tertulisnya, Senin (7/12).

Adapun destinasi wisata yang dikunjungi adalah destinasi wisata yang sudah populer maupun destinasi baru di seluruh penjuru Bali. Program We Love Bali ini bertujuan untuk memberikan edukasi penerapan protokol CHSE kepada peserta, pelaku usaha pariwisata dan masyarakat di destinasi wisata, sebagai sarana memperkenalkan destinasi/atraksi wisata baru yang tersebar di seluruh Pulau Dewata, mempromosikan pariwisata Bali Era Baru melalui media sosial peserta, menyiapkan pariwisata Bali untuk menyambut wisatawan mancanegara sejalan dengan Pergub Nomor 46 Tahun 2020 dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di destinasi wisata yang dikunjungi.

"Pelaksanaan protokol kesehatan dilakukan dengan ketat di setiap daya tarik wisata yang dikunjungi, seperti wajib mengikuti pengecekan suhu tubuh, mencuci tangan sebelum memasuki daya tarik wisata, menggunakan handsanitizer, mengenakan masker dan menjaga jarak saat berkunjung ke destinasi wisata," ungkap Rizki.

(Baca juga: Agrowisata Kopi dan Cengkeh Tabanan Berpotensi Sedot Wisatawan )

"Peserta diharapkan menjadi duta pariwisata yang dapat menggaungkan bahwa Bali siap menerima kunjungan wisatawan dengan penerapan protokol kesehatan yang baik, sekaligus memberi contoh pada masyarakat bagaimana cara berwisata yang aman dan bertanggungjawab untuk mencegah penularan Covid-19," lanjutnya.
(nug)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1907 seconds (0.1#10.140)