Pakar Tegaskan Tak Ada Bukti Wanita Hamil Lebih Rentan Terpapar COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wanita hamil bukanlah kelompok yang lebih rentan terpapar COVID-19 dibandingkan populasi umum. Malah, kaum wanita tergolong memiliki sistem imun yang lebih baik ketimbang pria lantaran menyimpan hormon estrogen yang bisa memodulasi daya tahan tubuh sehingga mampu menangkal virus.
Pandemi COVID-19 tak dipungkiri telah menimbulkan kekhawatiran banyak wanita, khususnya ibu hamil , terkait kesehatan diri maupun janin yang mereka kandung. Demi terhindar dari paparan virus Sars Cov-2 penyebab COVID-19, ibu hamil memilih tak memeriksakan kandungannya atau malah menghindari kehamilan sama sekali. Padahal, hamil di masa pandemi terbilang aman selama protokol kesehatan diterapkan dengan baik.
( )
Menurut Pakar Kebidanan Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG (K), MPH, anggapan bahwa wanita hamil termasuk golongan yang lebih rentan terpapar COVID-19 tidaklah tepat. Sebab, bukti-bukti ilmiah tak ada yang mengarah ke hal tersebut. Potensi perkembangan tidak normal (teratogenik) pada janin akibat COVID-19 juga belum terbukti.
"Masyarakat berpikir bahwa wanita hamil lebih rentan terpapar virus Sars Cov-2 dibandingkan populasi umum. Nyatanya hal itu tidak benar. Sampai saat ini bukti menunjukkan wanita hamil tidak lebih rentan untuk tertular infeksi dibandingkan populasi umum. Belum ada bukti saat ini bahwa COVID-19 teratogenik," tandas Prof. Budi Wiweko yang akrab disapa Prof. Iko dalan webinar bertema "Hamil, Bersalin, dan KB selama COVID-19" dalam rangka Dies Natalis FKUI 2021, Senin (14/12).
Wanita hamil yang terpapar COVID-19, lanjut Prof. Iko, memang berisiko melahirkan bayi prematur. Hanya, kelahiran prematur itu bukan semata-mata disebabkan oleh virus, melainkan karena si ibu menginginkan persalinan yang lebih cepat di tengah situasi yang tidak menentu ini.
"Jadi apakah boleh hamil saat pandemi? Boleh. Hanya pelayanan antenatal dan postnatal harus dilakukan dengan cermat," ujar Ketua Iluni FKUI '96 itu.
Prof. Iko menganjurkan pemeriksaan antenatal (layanan kesehatan ibu hamil) pada trimester pertama di masa pandemi dihindari, kecuali sang ibu mengalami masalah pada kehamilannya. Sedangkan pada trimester kedua, pemeriksaan antenatal dapat dilakukan melalui telekonsultasi klinis, kecuali dijumpai keluhan atau
kondisi gawat darurat.
"Pemeriksaan kehamilan harus dilakukan pada ibu hamil yang berisiko tinggi, seperti yang memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, atau pertumbuhan janin terhambat," imbuh Prof Iko.
Sementara, pada trimester ketiga atau saat kehamilan memasuki usia 37 minggu ke atas, pemeriksaan antenatal harus dilakukan dengan tujuan untuk menyiapkan proses persalinan.
Meski demikian, ketika ibu hamil mengalami kondisi gawat darurat seperti mual-muntah hebat, perdarahan banyak, gerakan janin berkurang, ketuban pecah, nyeri kepala hebat, tekanan darah tinggi, kontraksi berulang, dan kejang, pemeriksaan tentu tak bisa ditunda. Demikian pula jika ibu hamil memiliki penyakit diabetes mellitus gestasional, preeklampsia berat, pertumbuhan janin terhambat, dan ibu
dengan riwayat obstetri buruk.
"Layanan telemedicine tersedia untuk ibu hamil pada saat kehamilan. Telemdedicine juga dapat dilakukan oleh pasangan yang membutuhkan layanan kontrasepsi serta perawatan kesehatan seksual dan reproduksi lain selama pandemi COVID-19," jelas Prof. Iko.
( )
Data menunjukkan, 15% ibu hamil terpapar COVID-19. Dari jumlah tersebut, 85% tidak bergejala. Saat terpapar COVID-19, ibu hamil boleh menunda pemeriksaan kehamilan dan fokus menyembuhkan penyakitnya dulu. Kecuali ada risiko tinggi dan kondisi ibu memburuk, tentu pemeriksaan kehamilan tak boleh ditunda lagi.
Setelah bayi lahir, ibu yang positif COVID-19 juga boleh menyusui bayinya dengan memakai masker N95 dan face shield. Hanya, Prof. Iko melarang praktik inisiasi menyusu dini (IMD) karena itu berarti akan terjadi kontak dekat antara ibu dengan bayinya tanpa pelindung apapun. Hindari pula rawat gabung antara bayi dengan ibu yang positif COVID-19.
Pandemi COVID-19 tak dipungkiri telah menimbulkan kekhawatiran banyak wanita, khususnya ibu hamil , terkait kesehatan diri maupun janin yang mereka kandung. Demi terhindar dari paparan virus Sars Cov-2 penyebab COVID-19, ibu hamil memilih tak memeriksakan kandungannya atau malah menghindari kehamilan sama sekali. Padahal, hamil di masa pandemi terbilang aman selama protokol kesehatan diterapkan dengan baik.
( )
Menurut Pakar Kebidanan Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG (K), MPH, anggapan bahwa wanita hamil termasuk golongan yang lebih rentan terpapar COVID-19 tidaklah tepat. Sebab, bukti-bukti ilmiah tak ada yang mengarah ke hal tersebut. Potensi perkembangan tidak normal (teratogenik) pada janin akibat COVID-19 juga belum terbukti.
"Masyarakat berpikir bahwa wanita hamil lebih rentan terpapar virus Sars Cov-2 dibandingkan populasi umum. Nyatanya hal itu tidak benar. Sampai saat ini bukti menunjukkan wanita hamil tidak lebih rentan untuk tertular infeksi dibandingkan populasi umum. Belum ada bukti saat ini bahwa COVID-19 teratogenik," tandas Prof. Budi Wiweko yang akrab disapa Prof. Iko dalan webinar bertema "Hamil, Bersalin, dan KB selama COVID-19" dalam rangka Dies Natalis FKUI 2021, Senin (14/12).
Wanita hamil yang terpapar COVID-19, lanjut Prof. Iko, memang berisiko melahirkan bayi prematur. Hanya, kelahiran prematur itu bukan semata-mata disebabkan oleh virus, melainkan karena si ibu menginginkan persalinan yang lebih cepat di tengah situasi yang tidak menentu ini.
"Jadi apakah boleh hamil saat pandemi? Boleh. Hanya pelayanan antenatal dan postnatal harus dilakukan dengan cermat," ujar Ketua Iluni FKUI '96 itu.
Prof. Iko menganjurkan pemeriksaan antenatal (layanan kesehatan ibu hamil) pada trimester pertama di masa pandemi dihindari, kecuali sang ibu mengalami masalah pada kehamilannya. Sedangkan pada trimester kedua, pemeriksaan antenatal dapat dilakukan melalui telekonsultasi klinis, kecuali dijumpai keluhan atau
kondisi gawat darurat.
"Pemeriksaan kehamilan harus dilakukan pada ibu hamil yang berisiko tinggi, seperti yang memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, atau pertumbuhan janin terhambat," imbuh Prof Iko.
Sementara, pada trimester ketiga atau saat kehamilan memasuki usia 37 minggu ke atas, pemeriksaan antenatal harus dilakukan dengan tujuan untuk menyiapkan proses persalinan.
Meski demikian, ketika ibu hamil mengalami kondisi gawat darurat seperti mual-muntah hebat, perdarahan banyak, gerakan janin berkurang, ketuban pecah, nyeri kepala hebat, tekanan darah tinggi, kontraksi berulang, dan kejang, pemeriksaan tentu tak bisa ditunda. Demikian pula jika ibu hamil memiliki penyakit diabetes mellitus gestasional, preeklampsia berat, pertumbuhan janin terhambat, dan ibu
dengan riwayat obstetri buruk.
"Layanan telemedicine tersedia untuk ibu hamil pada saat kehamilan. Telemdedicine juga dapat dilakukan oleh pasangan yang membutuhkan layanan kontrasepsi serta perawatan kesehatan seksual dan reproduksi lain selama pandemi COVID-19," jelas Prof. Iko.
( )
Data menunjukkan, 15% ibu hamil terpapar COVID-19. Dari jumlah tersebut, 85% tidak bergejala. Saat terpapar COVID-19, ibu hamil boleh menunda pemeriksaan kehamilan dan fokus menyembuhkan penyakitnya dulu. Kecuali ada risiko tinggi dan kondisi ibu memburuk, tentu pemeriksaan kehamilan tak boleh ditunda lagi.
Setelah bayi lahir, ibu yang positif COVID-19 juga boleh menyusui bayinya dengan memakai masker N95 dan face shield. Hanya, Prof. Iko melarang praktik inisiasi menyusu dini (IMD) karena itu berarti akan terjadi kontak dekat antara ibu dengan bayinya tanpa pelindung apapun. Hindari pula rawat gabung antara bayi dengan ibu yang positif COVID-19.
(tsa)