Terapi Plasma Darah Diberikan untuk Pasien Covid-19 dengan Kondisi Berat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terapi plasma konvalesen atau plasma darah bukan untuk pencegahan Covid-19. Terapi ini diberikan kepada pasien Covid-19 yang kondisinya menengah hingga berat. Hal itu diungkap Direktur Lembaga Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio.
Terapi plasma konvalesen diambil dari plasma darah pasien yang terdiagnosa COVID-19 sudah 14 hari dinyatakan sembuh dari infeksi COVID-19 yang ditandai dengan pemeriksaan swab menggunakan RT-PCR sebanyak satu kali dengan hasil negatif.
“Jadi dia (plasma) tidak menggantikan vaksin,” tegas Amin belum lama ini.
Amin menjelaskan, terapi plasma konvalesen adalah imunisasi pasif. Artinya antibodi sudah ada di luar dan sudah terbentuk dan itu yang diberikan kepada pasien.
“Kalau imunisasi aktif itu yang vaksinasi. Yang menggunakan vaksin, kemudian kita memasang antibodi dalam tubuh manusianya. Jadi berbeda. Kita tidak perlu menunggu sampai ada vaksin kemudian ini dihentikan," jelas Amin.
"Sebenarnya ini bisa jalan terus, ada atau tidak ada vaksin, pendekatan ini masih bisa terus dijalankan kalau ada pasiennya,” sambungnya.
Amin menggarisbawahi bahwa terapi plasma ini membantu untuk mempercepat penyembuhan pasien dan bukan metode pencegahan. Pada dasarnya, tubuh manusia akan terbentuk antibodi ketika terinfeksi jamur, bakteri atau virus. Terapi plasma merupakan pendekatan dengan mekanisme itu.
“Antibodi itu ketika pasiennya sudah sembuh berarti pasiennya sudah bisa mengatasi infeksinya itu bisa dipakai untuk membantu orang lain yang masih sedang sakit. Jadi prinsipnya seperti zona,” kata Amin.
Terapi plasma konvalesen diambil dari plasma darah pasien yang terdiagnosa COVID-19 sudah 14 hari dinyatakan sembuh dari infeksi COVID-19 yang ditandai dengan pemeriksaan swab menggunakan RT-PCR sebanyak satu kali dengan hasil negatif.
“Jadi dia (plasma) tidak menggantikan vaksin,” tegas Amin belum lama ini.
Amin menjelaskan, terapi plasma konvalesen adalah imunisasi pasif. Artinya antibodi sudah ada di luar dan sudah terbentuk dan itu yang diberikan kepada pasien.
“Kalau imunisasi aktif itu yang vaksinasi. Yang menggunakan vaksin, kemudian kita memasang antibodi dalam tubuh manusianya. Jadi berbeda. Kita tidak perlu menunggu sampai ada vaksin kemudian ini dihentikan," jelas Amin.
"Sebenarnya ini bisa jalan terus, ada atau tidak ada vaksin, pendekatan ini masih bisa terus dijalankan kalau ada pasiennya,” sambungnya.
Amin menggarisbawahi bahwa terapi plasma ini membantu untuk mempercepat penyembuhan pasien dan bukan metode pencegahan. Pada dasarnya, tubuh manusia akan terbentuk antibodi ketika terinfeksi jamur, bakteri atau virus. Terapi plasma merupakan pendekatan dengan mekanisme itu.
“Antibodi itu ketika pasiennya sudah sembuh berarti pasiennya sudah bisa mengatasi infeksinya itu bisa dipakai untuk membantu orang lain yang masih sedang sakit. Jadi prinsipnya seperti zona,” kata Amin.
(tdy)