Pasien Terus Bertambah, Kemenkes Tambah Ruang Khusus Pasien COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan untuk menambah rasio ketersediaan ruang khusus pasien COVID-19 , dari 10 persen menjadi 30-40 persen demi menunjang kesiapan ruangan dan unit perawatan rumah sakit dalam menghadapi kondisi pandemi yang sangat dinamis.
Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K), MPH selaku Direktur Utama PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (PBM IHC) mengungkapkan sejak Februari 2020, rumah sakit khususnya yang milik pemerintah sudah mulai persiapan.
“Di Februari 2020 kami mengadakan Medical Forum Indonesia Healthcare Corporation dengan mengundang para pakar terkait bagaimana penanganan COVID-19. Hasilnya ketika Maret Indonesia ada kasus, kami sudah menyiapkan, paling tidak terkait knowledge dan skill-nya, serta sudah berlatih menggunakan APD,” ujarnya.
Baca Juga : Ini Alasan Vaksin Covid-19 Diberikan 2 Kali
Saat ini, ada ada 73 rumah sakit yang tergabung dalam IHC, dari Aceh sampai Papua, termasuk dua rumah sakit pendidikan, yaitu RS Universitas Indonesia dan RS Ukrida. Konversi tempat sebesar 40-50 persen tidur untuk alokasi penanganan pasien COVID-19.
Adapun, angkanya variatif dari satu rumah sakit dengan yang lainnya karena tergantung dengan jumlah yang terpapar/tingkat infeksi kesi di daerah masing-masing. Ada zona merah dan zona hijau. Dimana zona merah rata-rata konversi 50 persen dengan jumlah penambahan ICU 25 persen dari ruang yang terkonversi menjadi perawatan COVID-19.
Kemudian yang hijau konversi 25 persen dengan penambahan ICU 10-15 persen dari ruangan yang terkonversi. Jumlah ruangan khusus COVID-19 juga bertambah terus seiring dinamika pandemi. Total RS BUMN memiliki lebih dari 7 ribu tempat tidur dan telah dikonversi lebih dari 3.500an tempat tidur untuk isolasi atau perawatan COVID-19.
Baca Juga : Perhatikan! 4 Kelompok Ini Tak Boleh Divaksinasi
Sementara ada 512 bed ICU COVID, sudah termasuk penambahan 50 bed ICU di RSPP Simprug. “Ini adalah upaya IHC merespon permasalahan di lapangan. Kemudian kami telah melakukan hampir 1 juta tes sejak April 2020,” tuturnya. Menurut dr. Fathema, pihaknya berusaha untuk tidak ada pasien yang ditolak ketika datang ke rumah sakit.
“Caranya dengan memastikan aliran layanan lancar dari IGD, masuk rawat isolasi atau ICU hingga pulang. Kalaupun perlu rawatan lain kami ada hotel atau penginapan yang bisa dipakai sebagai safe house. Kemudian jika ada yang penuh juga bisa kami carikan ke jaringan rumah sakit yang lainnya sehingga aliran layanan terkontrol. Kami juga bekerjasama dengan RS swasta,” ungkapnya.
Terkait Bed Occupancy Rate (BOR), dr. Fathema menjelaskan bahwa biarpun tempat tidur terus ditambah, BOR tetap ikut naik. Untuk saat ini BOR di angka 80-90 persen. Artinya meski tambah terus ruang isolasi atau ICU di RS, BOR tetap tinggi dan naik, artiinya memang terjadi peningkatan jumlah pasien yang terkena COvid 19-bertambah secara signifikan.
Meski begitu, penambahan pasien ini tidak bisa direspon dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas RS saja. Justru yang harus dilakukan adalah lebih giat lagi melaksanakan 3T (Tracing, Testing, Treatment) serta bagaimana pelayanan di primary health care. Untuk tracing dan testing, perlu berbarengan dengan pemerintah daerah dan primary health care seperti Puskesmas.
Baca Juga : Merokok Picu Kanker Usus Besar
Bagaimana memastikan orang yang tertular (status kontak) sudah diisolasi terlebih dahulu sebelum hasil tesnya keluar. Sebab kalau menunggu hasil tes baru dilakukan isolasi, maka sudah terlambat dalam hal pencegahan penularan. “Perlu dipahami bahwa testing, tracing, dan isolasi adalah langkah awal mengurangi jumlah hunian di rawat inap dan jumlah kematian ICU.
Menurut dr. Fathema, sebenarnya rumah sakit adalah garda atau terminal terakhir. Tapi yang disebut garda depan itu adalah primary healthcare seperti puskesmas dan klinik-klinik yang perannya harus ditingkatkan.
Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K), MPH selaku Direktur Utama PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (PBM IHC) mengungkapkan sejak Februari 2020, rumah sakit khususnya yang milik pemerintah sudah mulai persiapan.
“Di Februari 2020 kami mengadakan Medical Forum Indonesia Healthcare Corporation dengan mengundang para pakar terkait bagaimana penanganan COVID-19. Hasilnya ketika Maret Indonesia ada kasus, kami sudah menyiapkan, paling tidak terkait knowledge dan skill-nya, serta sudah berlatih menggunakan APD,” ujarnya.
Baca Juga : Ini Alasan Vaksin Covid-19 Diberikan 2 Kali
Saat ini, ada ada 73 rumah sakit yang tergabung dalam IHC, dari Aceh sampai Papua, termasuk dua rumah sakit pendidikan, yaitu RS Universitas Indonesia dan RS Ukrida. Konversi tempat sebesar 40-50 persen tidur untuk alokasi penanganan pasien COVID-19.
Adapun, angkanya variatif dari satu rumah sakit dengan yang lainnya karena tergantung dengan jumlah yang terpapar/tingkat infeksi kesi di daerah masing-masing. Ada zona merah dan zona hijau. Dimana zona merah rata-rata konversi 50 persen dengan jumlah penambahan ICU 25 persen dari ruang yang terkonversi menjadi perawatan COVID-19.
Kemudian yang hijau konversi 25 persen dengan penambahan ICU 10-15 persen dari ruangan yang terkonversi. Jumlah ruangan khusus COVID-19 juga bertambah terus seiring dinamika pandemi. Total RS BUMN memiliki lebih dari 7 ribu tempat tidur dan telah dikonversi lebih dari 3.500an tempat tidur untuk isolasi atau perawatan COVID-19.
Baca Juga : Perhatikan! 4 Kelompok Ini Tak Boleh Divaksinasi
Sementara ada 512 bed ICU COVID, sudah termasuk penambahan 50 bed ICU di RSPP Simprug. “Ini adalah upaya IHC merespon permasalahan di lapangan. Kemudian kami telah melakukan hampir 1 juta tes sejak April 2020,” tuturnya. Menurut dr. Fathema, pihaknya berusaha untuk tidak ada pasien yang ditolak ketika datang ke rumah sakit.
“Caranya dengan memastikan aliran layanan lancar dari IGD, masuk rawat isolasi atau ICU hingga pulang. Kalaupun perlu rawatan lain kami ada hotel atau penginapan yang bisa dipakai sebagai safe house. Kemudian jika ada yang penuh juga bisa kami carikan ke jaringan rumah sakit yang lainnya sehingga aliran layanan terkontrol. Kami juga bekerjasama dengan RS swasta,” ungkapnya.
Terkait Bed Occupancy Rate (BOR), dr. Fathema menjelaskan bahwa biarpun tempat tidur terus ditambah, BOR tetap ikut naik. Untuk saat ini BOR di angka 80-90 persen. Artinya meski tambah terus ruang isolasi atau ICU di RS, BOR tetap tinggi dan naik, artiinya memang terjadi peningkatan jumlah pasien yang terkena COvid 19-bertambah secara signifikan.
Meski begitu, penambahan pasien ini tidak bisa direspon dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas RS saja. Justru yang harus dilakukan adalah lebih giat lagi melaksanakan 3T (Tracing, Testing, Treatment) serta bagaimana pelayanan di primary health care. Untuk tracing dan testing, perlu berbarengan dengan pemerintah daerah dan primary health care seperti Puskesmas.
Baca Juga : Merokok Picu Kanker Usus Besar
Bagaimana memastikan orang yang tertular (status kontak) sudah diisolasi terlebih dahulu sebelum hasil tesnya keluar. Sebab kalau menunggu hasil tes baru dilakukan isolasi, maka sudah terlambat dalam hal pencegahan penularan. “Perlu dipahami bahwa testing, tracing, dan isolasi adalah langkah awal mengurangi jumlah hunian di rawat inap dan jumlah kematian ICU.
Menurut dr. Fathema, sebenarnya rumah sakit adalah garda atau terminal terakhir. Tapi yang disebut garda depan itu adalah primary healthcare seperti puskesmas dan klinik-klinik yang perannya harus ditingkatkan.
(wur)