Kenapa Wanita yang Pernah Hamil Tak Bisa Donor Plasma Konvalesen?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terapi plasma konvalesen dianggap cukup menjanjikan untuk penyembuhan pasien COVID-19. Bahkan Komite Penanganan COVID-19 dan Percepatan Ekonomi Nasional (KPCPEN) mengajak para penyintas COVID-19 untuk berdonor plasma konvalesen.
"Pengobatan COVID-19 masih terus dikembangkan. Salah satunya dengan terapi plasma konvalesen (convalescent). Terapi ini dilakukan dengan memberikan plasma, yaitu bagian darah yang mengandung antibodi dari orang yang telah sembuh dari COVID-19," ungkap KPCPEN lewat media sosial di awal 2021.
KPCPEN berharap para penyintas COVID-19 dapat mendonorkan plasma karena satu tetes plasma yang didonorkan dapat membantu menyelamatkan kehidupan.
Belum lama ini Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti juga mengimbau masyarakat yang telah sembuh dari COVID-19 untuk berdonor plasma darah konvalesen .
"Pemberian plasma darah penyintas bisa membantu penyembuhan pasien COVID-19, terutama mereka yang kondisinya kritis. Untuk itu saya mengimbau kepada masyarakat yang telah dinyatakan sembuh agar mendonorkan plasma darah untuk membantu saudara-saudara kita yang saat ini sedang berjuang melawan virus corona," tutur LaNyalla, Minggu (4/7).
Bagi masyarakat yang berminat mendonor plasma konvalesen dapat mendaftarkan diri di laman http://plasmakonvalesen.covid19.go.id. Terkait dengan persyaratan bagi penyintas COVID-19 yang mau berdonor plasma konvalesen, berikut uraiannya:
1. Ada riwayat konfirmasi positif COVID-19 dalam tiga bulan terakhir.
2. Pendonor sehat dan tidak punya penyakit kronik menular via darah seperti hepatitis, dan lainnya.
3. Diutamakan usia 18-60 tahun.
4. Sudah dinyatakan bebas COVID-19 (negatif) atau telah sembuh minimal selama 14 hari.
5. Diutamakan laki-laki.
6. Untuk perempuan, belum pernah hamil.
7. Berat badan minimal 55 kg.
8. Bersedia menandatangani informed consent (persetujuan donor).
Pada poin enam jelas sekali dikatakan bahwa perempuan yang pernah hamil tidak disarankan mendonorkan plasma konvalesen. Apa alasannya?
Menurut laporan studi berjudul 'Human Leucocyte Antigen Sensitisation and Its Impact on Transfusion Practice' yang dipublikasi di Karger, darah dari wanita hamil atau pernah hamil mengandung senyawa yang disebut 'human leucocyte antigen' (HLA). Nah, antibodi HLA ini diketahui dapat menyebabkan efek serius pada pasien yang menerima darah wanita yang pernah hamil.
"Dalam keadaan tertentu, antibodi HLA dari pendonor yang pernah hamil dapat memicu granulosit pasien untuk melepaskan mediator yang menyebabkan transfusion-associated lung injury (TRALI) dan ini dikategorikan sebagai komplikasi serius dari transfusi," kata laporan tersebut.
Jadi, antibodi HLA yang ada pada wanita pernah hamil dapat menghancurkan trombosit yang tidak kompatibel dan dapat menyebabkan refrakter terhadap transfusi trombosit. Identifikasi spesifisitas antibodi HLA pasien diperlukan untuk mengeluarkan trombosit yang kompatibel untuk mengatasi refrakter.
"Banyak teknik untuk deteksi dan identifikasi antibodi HLA telah dikembangkan, termasuk uji sitotoksisitas yang bergantung pada komplemen, uji berbasis manik, uji imunofluoresensi adhesi trombosit, dan uji imobilisasi spesifik antibodi monoklonal dari uji antigen trombosit," saran peneliti.
"Pengobatan COVID-19 masih terus dikembangkan. Salah satunya dengan terapi plasma konvalesen (convalescent). Terapi ini dilakukan dengan memberikan plasma, yaitu bagian darah yang mengandung antibodi dari orang yang telah sembuh dari COVID-19," ungkap KPCPEN lewat media sosial di awal 2021.
KPCPEN berharap para penyintas COVID-19 dapat mendonorkan plasma karena satu tetes plasma yang didonorkan dapat membantu menyelamatkan kehidupan.
Belum lama ini Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti juga mengimbau masyarakat yang telah sembuh dari COVID-19 untuk berdonor plasma darah konvalesen .
"Pemberian plasma darah penyintas bisa membantu penyembuhan pasien COVID-19, terutama mereka yang kondisinya kritis. Untuk itu saya mengimbau kepada masyarakat yang telah dinyatakan sembuh agar mendonorkan plasma darah untuk membantu saudara-saudara kita yang saat ini sedang berjuang melawan virus corona," tutur LaNyalla, Minggu (4/7).
Bagi masyarakat yang berminat mendonor plasma konvalesen dapat mendaftarkan diri di laman http://plasmakonvalesen.covid19.go.id. Terkait dengan persyaratan bagi penyintas COVID-19 yang mau berdonor plasma konvalesen, berikut uraiannya:
1. Ada riwayat konfirmasi positif COVID-19 dalam tiga bulan terakhir.
2. Pendonor sehat dan tidak punya penyakit kronik menular via darah seperti hepatitis, dan lainnya.
3. Diutamakan usia 18-60 tahun.
4. Sudah dinyatakan bebas COVID-19 (negatif) atau telah sembuh minimal selama 14 hari.
5. Diutamakan laki-laki.
6. Untuk perempuan, belum pernah hamil.
7. Berat badan minimal 55 kg.
8. Bersedia menandatangani informed consent (persetujuan donor).
Pada poin enam jelas sekali dikatakan bahwa perempuan yang pernah hamil tidak disarankan mendonorkan plasma konvalesen. Apa alasannya?
Menurut laporan studi berjudul 'Human Leucocyte Antigen Sensitisation and Its Impact on Transfusion Practice' yang dipublikasi di Karger, darah dari wanita hamil atau pernah hamil mengandung senyawa yang disebut 'human leucocyte antigen' (HLA). Nah, antibodi HLA ini diketahui dapat menyebabkan efek serius pada pasien yang menerima darah wanita yang pernah hamil.
"Dalam keadaan tertentu, antibodi HLA dari pendonor yang pernah hamil dapat memicu granulosit pasien untuk melepaskan mediator yang menyebabkan transfusion-associated lung injury (TRALI) dan ini dikategorikan sebagai komplikasi serius dari transfusi," kata laporan tersebut.
Jadi, antibodi HLA yang ada pada wanita pernah hamil dapat menghancurkan trombosit yang tidak kompatibel dan dapat menyebabkan refrakter terhadap transfusi trombosit. Identifikasi spesifisitas antibodi HLA pasien diperlukan untuk mengeluarkan trombosit yang kompatibel untuk mengatasi refrakter.
"Banyak teknik untuk deteksi dan identifikasi antibodi HLA telah dikembangkan, termasuk uji sitotoksisitas yang bergantung pada komplemen, uji berbasis manik, uji imunofluoresensi adhesi trombosit, dan uji imobilisasi spesifik antibodi monoklonal dari uji antigen trombosit," saran peneliti.
(tsa)