Demam Minggu Ke-2 pada Pasien Covid-19 Bisa Sebabkan Kematian, Waspadalah!

Selasa, 24 Agustus 2021 - 14:20 WIB
loading...
Demam Minggu Ke-2 pada...
Pasien Covid-19 berada di masa kritis saat mereka memasuki fase demam minggu kedua atau second-week crash. Foto Ilustrasi/Times of India
A A A
JAKARTA - Dokter Gunawan dalam Podcast Deddy Corbuzier menerangkan, pasien Covid-19 berada di masa kritis saat mereka memasuki fase demam minggu kedua atau second-week crash. Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat, risiko kematian cukup besar.

"Makanya saya maunya agresif kalau mengobati pasien Covid-19. Kalau demam, ada kemungkinan pasien mengalami badai sitokin terutama demam di minggu kedua, karena demam minggu pertama badan appropriate atau masih baik-baik saja," papar Dokter Gunawan di video YouTube yang kini jadi perbincangan publik.



Dia melanjutkan, "Pasien Covid-19 mesti hati-hati jika minggu kedua masih demam, ada kemungkinan terjadi peradangan dalam tubuh yang lebih luas dari yang pertama dan kemungkinan pasien mengalami badai sitokin."

Pembahasan mengenai second-week crash sebetulnya sudah sangat ramai di dunia medis. Banyak dokter melaporkan keparahan pasien mulai terjadi di momen ini. Karena itu, situasi ini mesti ditangani dengan benar agar bisa menyelamatkan nyawa pasien Covid-19.

Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa demam minggu kedua Covid-19 itu bisa mematikan?

Menurut laporan The Washington Post, ada sedikit konsensus di antara dokter dan ahli tentang mengapa demam hari kelima hingga kesepuluh tampak sangat berbahaya bagi pasien Covid-19.

Ebbing Lautenbach, Kepala Divisi Penyakit Menular di Fakultas Kedokteran Perelman University of Pennsylvania, berspekulasi bahwa second-week crash berbahaya karena adanya pengaruh gen individu, efek virus pada jaringan paru-paru, imun yang terlalu aktif, pembekuan darah, hingga dampak dari penggunaan ventilator yang digunakan.

Lebih lanjut, menurut Naftali Kaminski, Kepala Perawatan Kritis Paru dan Obat Tidur di Yale School of Medicine yang mempelajari genomik penyakit paru-paru menyatakan bahwa demam minggu kedua Covid-19 berbahaya karena pengaruh tahap awal virus masuk dan menginfeksi.

"Jadi, dapat digambarkan virus yang sudah ada dalam tubuh dan menginfeksi, terus mendorong lebih banyak sel untuk membiarkan masuk dan terus menginfeksi lebih parah lagi," terangnya, dikutip Selasa (24/8).

"Karena sifat virus yang terus menginfeksi, ini memengaruhi susunan genetik dan kondisi yang ada sebelumnya dan membuat presentasi penyakit meningkat," tambahnya.

Di laporan ini pun diterangkan bahwa ada spesifikasi pasien Covid-19 yang dikhawatirkan mengalami kondisi second-week crash, yaitu pasien Covid-19 tanpa gejala seperti penurunan kadar oksigen, sesak napas, atau kondisi kritis lain, dan pasien Covid-19 kondisi parah yang terlambat mendapatkan pertolongan karena masalah menunggu terlalu lama untuk dapat ICU bed.

"Orang-orang yang kritis ini sebenarnya sudah lama sakit," papar Merceditas Villanueva, seorang profesor kedokteran di Yale School of Medicine.



"Jadi, mereka meremehkan gejala ringan atau mereka memang terlambat mendapatkan ICU bed," tegasnya.

Di sisi lain, seorang dokter paru dan perawatan kritis di Ronald Reagan UCLA Medical Center Los Angeles, Russell G. Buhr, menerangkan bahwa keparahan pasien Covid-19 di second-week crash terjadi karena sel-sel baik di paru-parunya dibunuh virus yang membuat paru-paru pasien tetap terbuka dan menyebabkan pertukaran oksigen dan karbondioksida tidak berjalan baik.

"Jadi, paru-paru menyebarkan karbondioksida ke tubuh dan ini yang menyebabkan peradangan semakin serius," ungkapnya.

Buhr menambahkan, situasi demam minggu kedua Covid-19 juga dapat memperburuk kondisi pasien Covid-19 karena penggunaan ventilator terutama di rumah sakit yang kewalahan. Maksudnya, dokter di rumah sakit itu tidak dapat memaksimalkan penggunaan alat dan malah memaksa oksigen masuk ke paru-paru .

"Terlalu banyak tekanan pada paru-paru yang tegang dapat menghasilkan lebih banyak respons peradangan terhadap virus corona dan ini memperburuk penyumbatan kantung udara yang disebut alveoli," papar Buhr.

"Perawatan orang yang kritis itu sangat rumit. Ventilator tidak bekerja seperti obat. Menyesuaikan ventilator membutuhkan banyak upaya langsung dan ini menjadi masalah ketika rumah sakit kewalahan menangani pasien," tambahnya.

Sadar akan bahaya second-week crash, diketahui beberapa rumah sakit menggunakan banyak taktik, misalnya memberikan pasien oksigen lebih awal atau menggunakan obat pengencer darah sebagai profilaksis untuk mencegah pembekuan.



Di UCLA, perawat ICU lebih agresif memantau tekanan ventilator dan menggunakan teknik proning untuk memaksimalkan pasien mendapatkan oksigen. "Teknik proning ini dilakukan sebanyak 16 jam per hari," kata Buhr.

Teknik proning, sambung Buhr, sudah terbukti meningkatkan jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut. Masalah yang sangat khas dialami pasien Covid-19 gejala parah.
(tsa)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1761 seconds (0.1#10.140)