2 Tahun Pandemi di Indonesia, Belum Saatnya Longgarkan Prokes!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerapan protokol kesehatan menjadi salah satu kunci keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 . Meski begitu, karena sudah berjalan dua tahun, membuat masyarakat mulai jenuh dengan aturan prokes dan berharap agar pelonggaran prokes diterapkan di Indonesia.
Terlebih, kasus Covid-19 terus memperlihatkan tren penurunan. Kementerian Kesehatan mencatat ada 14 provinsi yang secara konsisten melaporkan penurunan kasus dengan angka kesembuhan pasien yang terus meningkat.
Data Kemenkes memaparkan, ke-14 provinsi itu ialah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat.
"Kasus harian per 1 Maret tercatat 24.728 kasus. Angka kejadian tersebut sangat jauh dibandingkan posisi tertinggi yang sempat mencapai 64.718 kasus," kata Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, kemarin (1/3/2022).
Menjadi pertanyaan sekarang, apakah memungkinkan pelonggaran prokes diterapkan saat ini?
Ahli Epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, sangat tidak bijak jika pelonggaran prokes diterapkan sekarang. Meski angka kasus dan vaksinasi tinggi, masih ada kelompok rentan yang perlu diperhatikan keselamatannya.
"Penggunaan prokes saya rasa masih harus dijalankan setidaknya sampai pertengahan tahun depan (2023). Penggunaan masker terbukti memberikan manfaat baik bagi keselamatan di masa pandemi," kata Dicky pada MNC Portal, Rabu (2/3/2022).
Jika prokes terus dijalankan, ini akan memberi manfaat juga untuk fasilitas kesehatan karena bebannya akan lebih minim. Terlebih, jika cakupan vaksinasi dosis kedua dan ketiga terus meningkat.
Apa yang terjadi jika dilonggarkan?
"Kalau dilonggarkan, goals yang sudah dirancang akan sulit untuk tercapai yaitu situasi Covid-19 menjadi sporadis bukan lagi endemi," ungkap Dicky.
Kondisi sporadis sendiri adalah situasi di suatu negara dengan angka kasus kejadian penyakit yang sangat jarang ditemukan. "Kalau pun ada, itu sangat kecil dan kejadiannya dilihat per skala bulan atau tahunan. Jadi, misalnya penemuan kasus Covid-19 sebulan atau setahun sekali," sambungnya.
Prokes yang dilonggarkan di situasi seperti ini juga mengancam kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.
"Jadi, untuk menjaga situasi terkendali, penting untuk semua masyarakat negara agar tetap patuh menjalankan prokes, meski tidak akan seketat kemarin atau saat ini," tuntas Dicky Budiman.
Terlebih, kasus Covid-19 terus memperlihatkan tren penurunan. Kementerian Kesehatan mencatat ada 14 provinsi yang secara konsisten melaporkan penurunan kasus dengan angka kesembuhan pasien yang terus meningkat.
Baca Juga
Data Kemenkes memaparkan, ke-14 provinsi itu ialah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat.
"Kasus harian per 1 Maret tercatat 24.728 kasus. Angka kejadian tersebut sangat jauh dibandingkan posisi tertinggi yang sempat mencapai 64.718 kasus," kata Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, kemarin (1/3/2022).
Menjadi pertanyaan sekarang, apakah memungkinkan pelonggaran prokes diterapkan saat ini?
Ahli Epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, sangat tidak bijak jika pelonggaran prokes diterapkan sekarang. Meski angka kasus dan vaksinasi tinggi, masih ada kelompok rentan yang perlu diperhatikan keselamatannya.
"Penggunaan prokes saya rasa masih harus dijalankan setidaknya sampai pertengahan tahun depan (2023). Penggunaan masker terbukti memberikan manfaat baik bagi keselamatan di masa pandemi," kata Dicky pada MNC Portal, Rabu (2/3/2022).
Jika prokes terus dijalankan, ini akan memberi manfaat juga untuk fasilitas kesehatan karena bebannya akan lebih minim. Terlebih, jika cakupan vaksinasi dosis kedua dan ketiga terus meningkat.
Apa yang terjadi jika dilonggarkan?
"Kalau dilonggarkan, goals yang sudah dirancang akan sulit untuk tercapai yaitu situasi Covid-19 menjadi sporadis bukan lagi endemi," ungkap Dicky.
Kondisi sporadis sendiri adalah situasi di suatu negara dengan angka kasus kejadian penyakit yang sangat jarang ditemukan. "Kalau pun ada, itu sangat kecil dan kejadiannya dilihat per skala bulan atau tahunan. Jadi, misalnya penemuan kasus Covid-19 sebulan atau setahun sekali," sambungnya.
Prokes yang dilonggarkan di situasi seperti ini juga mengancam kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.
"Jadi, untuk menjaga situasi terkendali, penting untuk semua masyarakat negara agar tetap patuh menjalankan prokes, meski tidak akan seketat kemarin atau saat ini," tuntas Dicky Budiman.
(tsa)