Pemeriksaan Tekanan Darah Rutin di Rumah Bantu Deteksi Hipertensi Jas Putih
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemeriksaan tekanan darah secara reguler disarankan dimulai sejak usia 18 tahun. Tak hanya di rumah sakit, pemeriksaan ini juga dapat dilakukan di kediaman untuk mendeteksi hipertensi jas putih.
Prevalensi hipertensi di dunia, termasuk Indonesia, belum mengalami perubahan selama tiga dekade terakhir.
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan survei tahun 2018, yaitu 34%, tidak berubah dari angka yang didapat pada survey tahun 2007. Penyebabnya adalah tingginya kasus baru hipertensi akibat tingginya faktor risiko hipertensi seperti diabetes mellitus (kencing manis), kegemukan, konsumsi garam yang tinggi, dan merokok.
Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH) dr. Erwinanto, Sp.JP (K), FIHA, FAsCC, mengatakan, tekanan darah harus dikendalikan baik bagi pasien hipertensi maupun individu yang tidak menderita hipertensi.
"Bukti penelitian yang ada secara konsisten memperlihatkan bahwa penurunan tekanan darah bagi pasien hipertensi menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, stroke, dan gagal ginjal yang selain berhubungan dengan tingkat kematian tinggi juga menghabiskan biaya terbesar dari penyakit katastropik di Indonesia," katanya dalam webinar kesehatan, belum lma ini.
Sedangkan bagi individu yang bukan penyandang hipertensi, lanjut dr. Erwinanto, tekanan darah juga perlu dikendalikan
untuk mencegah terjadinya hipertensi. Setiap peningkatan tekanan darah sebesar 20/10 mm Hg, dimulai dari tekanan darah 115/75 mm Hg, berhubungan dengan peningkatan kematian akibat penyakit jantung koroner dan stroke sebesar 2 kali.
"Peningkatan tekanan darah juga meningkatkan kejadian penyakit ginjal secara bermakna. Di tingkat masyarakat, pencegahan hipertensi diharapkan dapat menurunkan prevalensi hipertensi,” ujarnya.
Survey May Measurement Month yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia pada 2017 yang mengikutsertakan partisipan di daerah perkotaan berusia muda (umur rerata 43 tahun) menunjukkan hanya 52,5% penyandang hipertensi yang minum obat penurun tekanan darah.
Dalam pemaparannya, dr Erwinanto menghimbau masyarakat untuk mengukur tekanan darah secara akurat guna mengetahui menderita hipertensi atau tidak.
“Jika menderita hipertensi, kendalikan tekanan darah melalui usaha menurunkannya dengan cara terapi perubahan gaya hidup dengan atau tanpa terapi obat. Jika tidak menderita hipertensi, kendalikan tekanan darah melalui usaha pencegahan agar
tekanan darah tidak naik melalui terapi perubahan gaya hidup. Pengendalian tekanan darah yang dilakukan akan berdampak hidup lebih lama karena peningkatan tekanan darah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular), stroke, dan ginjal," paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua InaSH dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S menyampaikan hasil survei yang dilakukan oleh InaSH bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI pada 2018. Data menunjukkan bahwa dari 68.846 orang dengan rentang usia rata 45 ± 16,3 tahun ditemukan 27.331 orang (30,8 %) mengidap hipertensi.
Angka ini lebih rendah dari survei tahun 2017, yaitu 34,5 %, karena pada survei tahun 2018 terdapat 18,6 partisipan berusia 18-29 tahun. Dalam kelompok hipertensi hanya 13.018 (47,6 %) yang menyadari adanya hipertensi dan hanya 47,4 % yang mengkonsumsi obat anti hipertensi.
"Survei juga menunjukkan target pengobatan tidak tercapai pada 10.106 pasien (78,0 %). Dengan kondisi di Indonesia seperti ini tidak heran bila insiden penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal ginjal masih tinggi," ujar dr Eka.
Hipertensi, tambah dr Eka, dapat dicegah walaupun faktor genetik dan usia sulit untuk dimodifikasi. Namun banyak faktor risiko lain yang dapat dihindari agar tidak terjadi hipertensi dengan menanamkan pola hidup sehat sejak usia dini yang dilakukan dalam keluarga dan melalui edukasi di sekolah. Hal ini lebih mudah dibandingkan menyarankan perubahan gaya hidup bagi orang dewasa.
“Dengan bertambahnya usia, maka risiko hipertensi meningkat. Risiko hipertensi meningkat tajam pada usia 45 tahun. Pemeriksaan tekanan darah secara regular disarankan dimulai pada usia 18 tahun, terutama yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi atau penyakit kardiovaskular," terangnya.
“Selain pengukuran tekanan darah di fasilitas kesehatan, dapat juga dilakukan secara mandiri di rumah atau di komunitas tertentu yang dikenal dengan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM) atau disebut dengan Pengukuran Tekanan Darah di Rumah (PTDR). Dengan melakukan pengukuran yang benar dan akurat akan didapatkan hasil yang tepat," tambah dr Eka.
PTDR sangat membantu untuk mendeteksi hipertensi jas putih, yaitu peningkatan tekanan darah saat diukur di klinik atau RS, namun saat dilakukan pengukuran di luar klinik didapatkan tekanan darah normal. PTDR juga dapat digunakan untuk memonitor hasil pengobatan.
Prevalensi hipertensi di dunia, termasuk Indonesia, belum mengalami perubahan selama tiga dekade terakhir.
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan survei tahun 2018, yaitu 34%, tidak berubah dari angka yang didapat pada survey tahun 2007. Penyebabnya adalah tingginya kasus baru hipertensi akibat tingginya faktor risiko hipertensi seperti diabetes mellitus (kencing manis), kegemukan, konsumsi garam yang tinggi, dan merokok.
Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH) dr. Erwinanto, Sp.JP (K), FIHA, FAsCC, mengatakan, tekanan darah harus dikendalikan baik bagi pasien hipertensi maupun individu yang tidak menderita hipertensi.
"Bukti penelitian yang ada secara konsisten memperlihatkan bahwa penurunan tekanan darah bagi pasien hipertensi menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, stroke, dan gagal ginjal yang selain berhubungan dengan tingkat kematian tinggi juga menghabiskan biaya terbesar dari penyakit katastropik di Indonesia," katanya dalam webinar kesehatan, belum lma ini.
Sedangkan bagi individu yang bukan penyandang hipertensi, lanjut dr. Erwinanto, tekanan darah juga perlu dikendalikan
untuk mencegah terjadinya hipertensi. Setiap peningkatan tekanan darah sebesar 20/10 mm Hg, dimulai dari tekanan darah 115/75 mm Hg, berhubungan dengan peningkatan kematian akibat penyakit jantung koroner dan stroke sebesar 2 kali.
"Peningkatan tekanan darah juga meningkatkan kejadian penyakit ginjal secara bermakna. Di tingkat masyarakat, pencegahan hipertensi diharapkan dapat menurunkan prevalensi hipertensi,” ujarnya.
Survey May Measurement Month yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia pada 2017 yang mengikutsertakan partisipan di daerah perkotaan berusia muda (umur rerata 43 tahun) menunjukkan hanya 52,5% penyandang hipertensi yang minum obat penurun tekanan darah.
Dalam pemaparannya, dr Erwinanto menghimbau masyarakat untuk mengukur tekanan darah secara akurat guna mengetahui menderita hipertensi atau tidak.
“Jika menderita hipertensi, kendalikan tekanan darah melalui usaha menurunkannya dengan cara terapi perubahan gaya hidup dengan atau tanpa terapi obat. Jika tidak menderita hipertensi, kendalikan tekanan darah melalui usaha pencegahan agar
tekanan darah tidak naik melalui terapi perubahan gaya hidup. Pengendalian tekanan darah yang dilakukan akan berdampak hidup lebih lama karena peningkatan tekanan darah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular), stroke, dan ginjal," paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua InaSH dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S menyampaikan hasil survei yang dilakukan oleh InaSH bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI pada 2018. Data menunjukkan bahwa dari 68.846 orang dengan rentang usia rata 45 ± 16,3 tahun ditemukan 27.331 orang (30,8 %) mengidap hipertensi.
Angka ini lebih rendah dari survei tahun 2017, yaitu 34,5 %, karena pada survei tahun 2018 terdapat 18,6 partisipan berusia 18-29 tahun. Dalam kelompok hipertensi hanya 13.018 (47,6 %) yang menyadari adanya hipertensi dan hanya 47,4 % yang mengkonsumsi obat anti hipertensi.
"Survei juga menunjukkan target pengobatan tidak tercapai pada 10.106 pasien (78,0 %). Dengan kondisi di Indonesia seperti ini tidak heran bila insiden penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal ginjal masih tinggi," ujar dr Eka.
Hipertensi, tambah dr Eka, dapat dicegah walaupun faktor genetik dan usia sulit untuk dimodifikasi. Namun banyak faktor risiko lain yang dapat dihindari agar tidak terjadi hipertensi dengan menanamkan pola hidup sehat sejak usia dini yang dilakukan dalam keluarga dan melalui edukasi di sekolah. Hal ini lebih mudah dibandingkan menyarankan perubahan gaya hidup bagi orang dewasa.
“Dengan bertambahnya usia, maka risiko hipertensi meningkat. Risiko hipertensi meningkat tajam pada usia 45 tahun. Pemeriksaan tekanan darah secara regular disarankan dimulai pada usia 18 tahun, terutama yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi atau penyakit kardiovaskular," terangnya.
“Selain pengukuran tekanan darah di fasilitas kesehatan, dapat juga dilakukan secara mandiri di rumah atau di komunitas tertentu yang dikenal dengan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM) atau disebut dengan Pengukuran Tekanan Darah di Rumah (PTDR). Dengan melakukan pengukuran yang benar dan akurat akan didapatkan hasil yang tepat," tambah dr Eka.
PTDR sangat membantu untuk mendeteksi hipertensi jas putih, yaitu peningkatan tekanan darah saat diukur di klinik atau RS, namun saat dilakukan pengukuran di luar klinik didapatkan tekanan darah normal. PTDR juga dapat digunakan untuk memonitor hasil pengobatan.
(tsa)