Mempertahankan Rumah Tangga yang Tidak Sehat dengan Alasan Anak, Psikolog: Itu Tidak Fair
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam kehidupan berumah tangga , perceraian merupakan hal yang sangat tidak diinginkan dan paling dihindari oleh pasangan suami istri.
Selama permasalahan rumah tangga itu masih bisa diselesaikan dan diperbaiki secara baik-baik, perceraian memang sebaiknya dihindari.
Akan tetapi, jika prahara rumah tangga begitu berat dan tidak bisa lagi diperbaiki, perceraian mungkin menjadi jalan terakhir.
Baca juga: BPOM Perintahkan Penarikan 5 Obat Sirup dengan Etilen Glikol Melebihi Ambang Batas Aman
Di sisi lain, faktanya, masih banyak suami atau istri yang memilih mempertahankan rumah tangganya meskipun hubungan rumah tangga tak lagi sehat.
Salah satu faktor yang paling sering dijadikan alasan adalah karena anak. Banyak suami atau istri yang merasa bahwa perceraian bisa mengorbankan anak.
Kendati tidak sepenuhnya salah, alasan ini juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, jika rumah tangga tak lagi sehat, apalagi ada unsur kekerasan di dalamnya, hal itu justru dapat berpengaruh besar terhadap mental anak.
Psikolog Amanasa Indonesia, Marsha Tengker menuturkan, alasan mempertahankan bahtera rumah tangga yang sudah sangat toxic demi anak, justru membebani anak.
Menurutnya, tidak seperti kedua orang tua, anak tidak bisa memilih untuk memutuskan. Meskipun mempertahankan rumah tangga adalah keputusan sang ayah atau ibunya, anak justru bisa menjadi korban atas keputusan yang salah tersebut.
"Kalau alasan apapun bertahan demi anak, itu kita berarti membebani anak sama sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawab dia," ungkap psikolog yang kerap disapa Caca ini, saat mengisi seminar di di Auditorium Rizal Sini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, (20/10/2022).
"Apakah anak memilih untuk dilahirkan? Pastinya enggak. Tapi tiba-tiba dia lahir, terus dia harus bertanggung jawab sama keharmonisan orang tuanya, itu kayaknya enggak fair," sambung dia.
Caca juga menilai, mempertahankan hubungan dengan alasan anak sama saja menjalani kehidupan yang tidak jujur. Pasalnya, ini berarti kedua orang tua lebih memilih untuk menutupi masalah yang terjadi terhadap sang anak dan tidak berani menghadapi masalah yang ada.
Padahal, ketidakbahagiaan yang dirasakan orang tuanya secara tak sadar akan ditularkan kepada sang anak dan membuat sang anak memiliki masalah emosi.
Hal ini terbukti melalui riset National Research Council dan The Institute of Medicine pada 2009, yang menyebutkan bahwa anak yang hidup dalam keluarga dengan pernikahan yang tidak bahagia akan memiliki masalah emosi dan kepercayaan diri.
Baca juga: Reza Arap Tiba-Tiba Hapus Semua Unggahan di Akun Instagram, Ada Apa?
Kondisi tersebut menjelaskan bahwa pura-pura hidup bahagia justru bukanlah solusi untuk masalah di keluarga kecil Anda. Berpura-pura bahagia nyatanya hanya akan menyiksa batin dan menambah masalah lain.
Selama permasalahan rumah tangga itu masih bisa diselesaikan dan diperbaiki secara baik-baik, perceraian memang sebaiknya dihindari.
Akan tetapi, jika prahara rumah tangga begitu berat dan tidak bisa lagi diperbaiki, perceraian mungkin menjadi jalan terakhir.
Baca juga: BPOM Perintahkan Penarikan 5 Obat Sirup dengan Etilen Glikol Melebihi Ambang Batas Aman
Di sisi lain, faktanya, masih banyak suami atau istri yang memilih mempertahankan rumah tangganya meskipun hubungan rumah tangga tak lagi sehat.
Salah satu faktor yang paling sering dijadikan alasan adalah karena anak. Banyak suami atau istri yang merasa bahwa perceraian bisa mengorbankan anak.
Kendati tidak sepenuhnya salah, alasan ini juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, jika rumah tangga tak lagi sehat, apalagi ada unsur kekerasan di dalamnya, hal itu justru dapat berpengaruh besar terhadap mental anak.
Psikolog Amanasa Indonesia, Marsha Tengker menuturkan, alasan mempertahankan bahtera rumah tangga yang sudah sangat toxic demi anak, justru membebani anak.
Menurutnya, tidak seperti kedua orang tua, anak tidak bisa memilih untuk memutuskan. Meskipun mempertahankan rumah tangga adalah keputusan sang ayah atau ibunya, anak justru bisa menjadi korban atas keputusan yang salah tersebut.
"Kalau alasan apapun bertahan demi anak, itu kita berarti membebani anak sama sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawab dia," ungkap psikolog yang kerap disapa Caca ini, saat mengisi seminar di di Auditorium Rizal Sini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, (20/10/2022).
"Apakah anak memilih untuk dilahirkan? Pastinya enggak. Tapi tiba-tiba dia lahir, terus dia harus bertanggung jawab sama keharmonisan orang tuanya, itu kayaknya enggak fair," sambung dia.
Caca juga menilai, mempertahankan hubungan dengan alasan anak sama saja menjalani kehidupan yang tidak jujur. Pasalnya, ini berarti kedua orang tua lebih memilih untuk menutupi masalah yang terjadi terhadap sang anak dan tidak berani menghadapi masalah yang ada.
Padahal, ketidakbahagiaan yang dirasakan orang tuanya secara tak sadar akan ditularkan kepada sang anak dan membuat sang anak memiliki masalah emosi.
Hal ini terbukti melalui riset National Research Council dan The Institute of Medicine pada 2009, yang menyebutkan bahwa anak yang hidup dalam keluarga dengan pernikahan yang tidak bahagia akan memiliki masalah emosi dan kepercayaan diri.
Baca juga: Reza Arap Tiba-Tiba Hapus Semua Unggahan di Akun Instagram, Ada Apa?
Kondisi tersebut menjelaskan bahwa pura-pura hidup bahagia justru bukanlah solusi untuk masalah di keluarga kecil Anda. Berpura-pura bahagia nyatanya hanya akan menyiksa batin dan menambah masalah lain.
(nug)