Digemari Kalangan Milenial, Konsep Co-living Lebih Efisien
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konsep co-living atau berbagi tempat tinggal tampaknya semakin populer di kalangan milenial. Ada dua hal yang membuat konsep ini menjadi booming, yaitu keterjangkauan dan komunitas.
Milenial dengan dana yang terbatas dan ingin menabung akan sangat tertolong dengan konsep co-living. Konsep hunian ini menawarkan solusi yang murah dan lebih terjangkau.
Dina (24) misalnya, sebelum pandemi ini menyewa coworking di Mega Kuningan. Jarak tempuhnya hanya 15 menit dari huniannya di kawasan Setiabudi yang disewa dari operator co-living bernama Flokq.
Selama pandemi, dia melakukan seluruh pekerjaan dari ruang co-living-nya, dan sama sekali tidak kehilangan segala kelebihan yang juga bisa dirasakan di tempat kerja. (Baca: 2 Jenis Perawatan Kulit wajah Andalan Wanita Korea)
"Sejak tinggal di hunian dengan konsep co-living, saya lebih bisa meluangkan banyak waktu dan merasa mudah melakukan pekerjaan di ruang komunal bersama teman-teman satu flat," ungkap Dina.
Hal ini ditegaskan pengamat properti yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda. Menurutnya, salah satu hunian yang saat ini digemari adalah co-living. Konsepnya, dengan berbagi ruang akan jauh lebih hemat, baik dari ruangan maupun biaya perawatan.
"Jadi, kalau bicara efisiensi biaya jelas menghemat sekali karena fasilitas dapur, ruang tamu, bisa juga kamar mandi di-share bersama," ujar Ali.
Namun, umumnya hunian seperti ini yang dibangun di dekat kawasan transportasi massal dan dipakai sebagian besar pekerja milenial, bukan sebagai rumah tetap atau investasi.
Untuk bisa terus tumbuh, pengembangan co-living juga harus kreatif dalam membuat produk dan harga terjangkau. Jika itu terpenuhi, dia yakin market co-living meningkat. Bahkan, banyak pengembang di negara maju seperti China, Hong Kong, dan Singapura memanfaatkan tren ini dengan membangun ruang co-living dengan kamar tidur. Konsep ini ternyata sangat digemari dan menjadi tren hunian baru.
"Di negara lain, co-living biasanya disebut hostile. Rumah tinggal tetap menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Kalau co-living sifatnya temporary," kata Ali.
Laporan terbaru dari Jones Lang LaSalle (JLL), perusahaan riset dan manajemen properti, menyebutkan, cepatnya proses urbanisasi telah mengubah cara berhuni dan tempat tinggal. Penerimaan masyarakat terhadap prinsip ekonomi saling berbagi berhasil menjadikan sektor kehidupan sebagai pendorong pengembangan alternatif hunian. (Baca juga: Pentingnya Tetap Bergerak Aktif di Masa Pandemi Covid-19)
"Kami melihat semakin intensifnya permintaan terhadap alternatif hunian yang terjangkau di seluruh kota Asia Pasifik," tutur Rohit Hemnani, Head of Alternatives Capital Market JLLL Asia Pacific.
Menurutnya, populasi anak muda yang besar serta proses urbanisasi di Indonesia yang sangat cepat mendorong terjadinya pertumbuhan permintaan untuk model hunian co-living.
Selain itu, hunian co-living menjadi bentuk hunian modern, di mana setiap penghuni diminta berbagi ruang dan fasilitas, juga berbagi minat, keterampilan, sumber daya, nilai, dan impian mereka dengan inspirator lainnya.
Di sisi lain, perusahaan penyedia ruang kerja bersama (co-working space) terbesar di Indonesia, CoHive, mulai berekspansi ke bisnis properti hunian dengan menghadirkan produk co-living pertamanya di Tower Crest West Vista, Jakarta Barat.
"CoHive menawarkan gaya hidup perkotaan berfasilitas lengkap dengan harga terjangkau. CoHive menyediakan lingkungan tempat tinggal yang mendorong terciptanya kolaborasi di antara para anggotanya melalui berbagi ruang komunal," tutur Jason Lee, CEO CoHive.
Apartemen The Parc SouthCity juga telah mengembangkan co-living. "Pada konsep co-living yang kami tawarkan memberi kesempatan bagi para penghuni untuk berkomunitas dan berkolaborasi, tetapi tetap mengutamakan kenyamanan," ucap Associate Director SouthCity Stevie Faverius. (Lihat videonya: Ular piton 2,5 Meter Tutupi Saluran Air di Cilegon)
Menurut Stevie, pihaknya memiliki program yang bisa meringankan milenial dalam memiliki hunian apartemen. Salah satunya program nabung DP. "Melalui program ini, milenial hanya perlu mencicil DP 20% atau sekitar Rp3,3 jutaan hingga 24 kali. Setelah itu dilanjutkan dengan mencicil KPA sebesar Rp3 juta per bulan, yang artinya dalam satu hari konsumen hanya perlu menyisihkan Rp99.000," ujarnya. (Aprilia S Andyna)
Faktor Pendorong Co-living Jadi Favorit Milenial
1. Desain interior lebih modern
Alasan hunian co-living digemari karena desain interior hunian yang lebih modern dan bisa disesuaikan dengan preferensi penghuninya sehingga penghuni akan merasa lebih nyaman.
2. Tidak dibebani pekerjaan rumah setiap hari
Para milenial juga tidak dibebani pekerjaan rumah harian karena fasilitas digunakan bersama. Tentu aktivitas berbenah rumah akan menjadi lebih mudah karena tidak harus dilakukan sendiri dan setiap hari.
3. Memiliki fasilitas lengkap
Hunian co-living ditunjang berbagai failitas pendukung yang lengkap. Mereka bisa menikmati berbagai fasilitas seperti kolam renang, gimnastik, atau fasilitas lainnya.
4. Tinggal bersama dalam lingkup komunitas
Penghuni bisa menjalin jaringan lebih luas untuk bersosialisasi karena mereka akan mendapatkan banyak teman dalam satu hunian.
5. Biaya sewa relatif lebih murah
Biaya sewa yang relatif lebih murah dan waktu sewa yang relatif lebih singkat membuat kaum milenial lebih memilih tinggal dihunian co-living. (April)
Milenial dengan dana yang terbatas dan ingin menabung akan sangat tertolong dengan konsep co-living. Konsep hunian ini menawarkan solusi yang murah dan lebih terjangkau.
Dina (24) misalnya, sebelum pandemi ini menyewa coworking di Mega Kuningan. Jarak tempuhnya hanya 15 menit dari huniannya di kawasan Setiabudi yang disewa dari operator co-living bernama Flokq.
Selama pandemi, dia melakukan seluruh pekerjaan dari ruang co-living-nya, dan sama sekali tidak kehilangan segala kelebihan yang juga bisa dirasakan di tempat kerja. (Baca: 2 Jenis Perawatan Kulit wajah Andalan Wanita Korea)
"Sejak tinggal di hunian dengan konsep co-living, saya lebih bisa meluangkan banyak waktu dan merasa mudah melakukan pekerjaan di ruang komunal bersama teman-teman satu flat," ungkap Dina.
Hal ini ditegaskan pengamat properti yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda. Menurutnya, salah satu hunian yang saat ini digemari adalah co-living. Konsepnya, dengan berbagi ruang akan jauh lebih hemat, baik dari ruangan maupun biaya perawatan.
"Jadi, kalau bicara efisiensi biaya jelas menghemat sekali karena fasilitas dapur, ruang tamu, bisa juga kamar mandi di-share bersama," ujar Ali.
Namun, umumnya hunian seperti ini yang dibangun di dekat kawasan transportasi massal dan dipakai sebagian besar pekerja milenial, bukan sebagai rumah tetap atau investasi.
Untuk bisa terus tumbuh, pengembangan co-living juga harus kreatif dalam membuat produk dan harga terjangkau. Jika itu terpenuhi, dia yakin market co-living meningkat. Bahkan, banyak pengembang di negara maju seperti China, Hong Kong, dan Singapura memanfaatkan tren ini dengan membangun ruang co-living dengan kamar tidur. Konsep ini ternyata sangat digemari dan menjadi tren hunian baru.
"Di negara lain, co-living biasanya disebut hostile. Rumah tinggal tetap menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Kalau co-living sifatnya temporary," kata Ali.
Laporan terbaru dari Jones Lang LaSalle (JLL), perusahaan riset dan manajemen properti, menyebutkan, cepatnya proses urbanisasi telah mengubah cara berhuni dan tempat tinggal. Penerimaan masyarakat terhadap prinsip ekonomi saling berbagi berhasil menjadikan sektor kehidupan sebagai pendorong pengembangan alternatif hunian. (Baca juga: Pentingnya Tetap Bergerak Aktif di Masa Pandemi Covid-19)
"Kami melihat semakin intensifnya permintaan terhadap alternatif hunian yang terjangkau di seluruh kota Asia Pasifik," tutur Rohit Hemnani, Head of Alternatives Capital Market JLLL Asia Pacific.
Menurutnya, populasi anak muda yang besar serta proses urbanisasi di Indonesia yang sangat cepat mendorong terjadinya pertumbuhan permintaan untuk model hunian co-living.
Selain itu, hunian co-living menjadi bentuk hunian modern, di mana setiap penghuni diminta berbagi ruang dan fasilitas, juga berbagi minat, keterampilan, sumber daya, nilai, dan impian mereka dengan inspirator lainnya.
Di sisi lain, perusahaan penyedia ruang kerja bersama (co-working space) terbesar di Indonesia, CoHive, mulai berekspansi ke bisnis properti hunian dengan menghadirkan produk co-living pertamanya di Tower Crest West Vista, Jakarta Barat.
"CoHive menawarkan gaya hidup perkotaan berfasilitas lengkap dengan harga terjangkau. CoHive menyediakan lingkungan tempat tinggal yang mendorong terciptanya kolaborasi di antara para anggotanya melalui berbagi ruang komunal," tutur Jason Lee, CEO CoHive.
Apartemen The Parc SouthCity juga telah mengembangkan co-living. "Pada konsep co-living yang kami tawarkan memberi kesempatan bagi para penghuni untuk berkomunitas dan berkolaborasi, tetapi tetap mengutamakan kenyamanan," ucap Associate Director SouthCity Stevie Faverius. (Lihat videonya: Ular piton 2,5 Meter Tutupi Saluran Air di Cilegon)
Menurut Stevie, pihaknya memiliki program yang bisa meringankan milenial dalam memiliki hunian apartemen. Salah satunya program nabung DP. "Melalui program ini, milenial hanya perlu mencicil DP 20% atau sekitar Rp3,3 jutaan hingga 24 kali. Setelah itu dilanjutkan dengan mencicil KPA sebesar Rp3 juta per bulan, yang artinya dalam satu hari konsumen hanya perlu menyisihkan Rp99.000," ujarnya. (Aprilia S Andyna)
Faktor Pendorong Co-living Jadi Favorit Milenial
1. Desain interior lebih modern
Alasan hunian co-living digemari karena desain interior hunian yang lebih modern dan bisa disesuaikan dengan preferensi penghuninya sehingga penghuni akan merasa lebih nyaman.
2. Tidak dibebani pekerjaan rumah setiap hari
Para milenial juga tidak dibebani pekerjaan rumah harian karena fasilitas digunakan bersama. Tentu aktivitas berbenah rumah akan menjadi lebih mudah karena tidak harus dilakukan sendiri dan setiap hari.
3. Memiliki fasilitas lengkap
Hunian co-living ditunjang berbagai failitas pendukung yang lengkap. Mereka bisa menikmati berbagai fasilitas seperti kolam renang, gimnastik, atau fasilitas lainnya.
4. Tinggal bersama dalam lingkup komunitas
Penghuni bisa menjalin jaringan lebih luas untuk bersosialisasi karena mereka akan mendapatkan banyak teman dalam satu hunian.
5. Biaya sewa relatif lebih murah
Biaya sewa yang relatif lebih murah dan waktu sewa yang relatif lebih singkat membuat kaum milenial lebih memilih tinggal dihunian co-living. (April)
(ysw)