Dua Pasang Hati
A
A
A
Tadi saya memang pergi beli minuman dulu sebentar di kantin rumah sakit, buat Mbak Silvia sama Mbak Lara,” Dodo memberikan alasan, lalu menyodorkan dua buah teh kotak untuk mereka. Lara menghela nafas, mau marah pun dia nggak tega.
Si Jawa itu membelikannya teh kotak di saat lagi panas-panasan begini. ”Ya udah, thanks ya, Do. Tapi lain kali jangan gini dong. Kan bisa kamu SMS saya, ngasih tau kalian di mana,” Lara mendesah. Dua anak buahnya langsung bungkam dan mengangguk paham. Sejurus kemudian, Lara dan dua rekannya mengitari ruang-ruang dokter tersebut untuk mengukur luas dan lebar ruangannya. Ruang mereka sengaja dibangun lebih luas dibanding ruang sebelumnya, agar pasien-pasien merasa lebih nyaman.
Semuanya masih ruang kosong, belum ada alat-alat kedokteran yang dipasang. Kasur periksa pasien dan mejanya pun masih dibungkus rapi dengan plastik-plastik. Aroma ruangan yang baru saja dicat begitu menyengat dan mendesak masuk di rongga hidung ketiganya. Lara hampir saja tak bisa bernafas lancar karenanya. Ia segera meminta Dodo untuk mengukur luas lantainya agar luasnya bisa cukup dengan tambahan sofa berwarna biru muda yang rencananya akan diletakkan di tengah ruang dokter tersebut.
Menurut Pak Hasan, sofa biru itu mempermanis ruang dokter agar tidak terasa hampa. Seusai mengukur luas dan lebar ruang para dokter, kini saatnya Lara dan dua rekannya itu kembali ke kantor Magenta Architecture. Seperti sebelumnya, Lara lebih memilih menuruni anak tangga, kali ini dua rekannya itu juga sependapat dengannya. Ya iyalah, cuma satu lantai saja pake lift. Itung-itung kan olahraga.
Di tengah-tengah menuruni anak tangga, mata Lara fokus menatap langkah turunnya, sampaisampai ia tak sadar jika ia berpapasan dengan seorang dokter yang sedang menaiki anak tangga tersebut. Dokter itu mengikuti langkahnya, dia ke kiri, dokter itu juga ke kiri, dia ke kanan, dokter itu juga ikut ke arah yang sama.
Saat keduanya beradu pandang, keduanya tampak terkejut, tak menyangka mereka akan bertemu lagi. Kedua alis dokter itu mengernyit, mendapati pandangan mata Lara fokus melihat matanya. Lantas Dodo dan Silvia juga mengerjapkan mata mereka, menyaksikan Lara yang seolah tak suka pada dokter itu. Ketika dokter yang tak asing bagi Lara itu memberikan akses jalan lebih dulu, ujung kaki Lara berdiri di ujung anak tangga yang tampak licin bercampur debu, membuat kakinya sempat kehilangan keseimbangan.
”Eh.. eh...” Ia hampir saja tergelincir karenanya, untunglah ada si dokter tampan tersebut. Dokter itu refleks menahan tubuh Lara, kemudian menariknya ke dada bidang dokter yang hari itu mengenakan kemeja berwarna biru laut, membuat tubuh keduanya terhimpit satu dengan yang lain. Jantung Lara kembali berdegup kencang, setiap kali menatap mata cokelat susu Keenan. Alih-alih membalas tatapan mata gadis itu, Keenan sengaja memalingkan wajahnya ke arah lain. Mengakses mata telanjang Lara mendapati jakun Keenan yang naik turun di depannya.
Lara merasa kerongkongannya semakin tercekat, tubuhnya mendadak panas karenanya. Hampir saja ia dibuat gila oleh Keenan, sesaat cowok itu membiarkan tangan Lara bertumpu dan meremas erat jas kebesarannya. Nggak beberapa lama, Keenan membantunya berdiri tegak. ”Ckckck..” gumam dokter itu sambil melempar pandangan dingin pada Lara.
”Kalo nggak bisa pake highheels , mendingan copot aja, pake sandal jepit,” sindir dokter itu sesudahnya, lantas membangkitkan emosi di benak Lara. Gadis itu sedang malas beradu mulut, ia diam saja dan hanya mendelik sebal pada dua mata cokelat dokter tersebut. ”Diem lo. Nggak usah banyak ngomong!” bentak Lara kesal. Cowok itu dengan cueknya kembali menyulut emosi Lara, ”Ckckck... kasihan gue sama anak buah lo ini, nggak tahu betapa buruknya sifat bosnya.”
”KEENAN! Cukup ya. Lo nggak usah bawa-bawa dua anak buah gue. Bisa nggak sih, mulut lo itu berhenti nyela-nyela gue? Lo tau apa soal gue, hah?” Matanya melotot lebar, nafasnya naik turun begitu cowok sengak itu kembali membuka mulutnya. (bersambung)
Si Jawa itu membelikannya teh kotak di saat lagi panas-panasan begini. ”Ya udah, thanks ya, Do. Tapi lain kali jangan gini dong. Kan bisa kamu SMS saya, ngasih tau kalian di mana,” Lara mendesah. Dua anak buahnya langsung bungkam dan mengangguk paham. Sejurus kemudian, Lara dan dua rekannya mengitari ruang-ruang dokter tersebut untuk mengukur luas dan lebar ruangannya. Ruang mereka sengaja dibangun lebih luas dibanding ruang sebelumnya, agar pasien-pasien merasa lebih nyaman.
Semuanya masih ruang kosong, belum ada alat-alat kedokteran yang dipasang. Kasur periksa pasien dan mejanya pun masih dibungkus rapi dengan plastik-plastik. Aroma ruangan yang baru saja dicat begitu menyengat dan mendesak masuk di rongga hidung ketiganya. Lara hampir saja tak bisa bernafas lancar karenanya. Ia segera meminta Dodo untuk mengukur luas lantainya agar luasnya bisa cukup dengan tambahan sofa berwarna biru muda yang rencananya akan diletakkan di tengah ruang dokter tersebut.
Menurut Pak Hasan, sofa biru itu mempermanis ruang dokter agar tidak terasa hampa. Seusai mengukur luas dan lebar ruang para dokter, kini saatnya Lara dan dua rekannya itu kembali ke kantor Magenta Architecture. Seperti sebelumnya, Lara lebih memilih menuruni anak tangga, kali ini dua rekannya itu juga sependapat dengannya. Ya iyalah, cuma satu lantai saja pake lift. Itung-itung kan olahraga.
Di tengah-tengah menuruni anak tangga, mata Lara fokus menatap langkah turunnya, sampaisampai ia tak sadar jika ia berpapasan dengan seorang dokter yang sedang menaiki anak tangga tersebut. Dokter itu mengikuti langkahnya, dia ke kiri, dokter itu juga ke kiri, dia ke kanan, dokter itu juga ikut ke arah yang sama.
Saat keduanya beradu pandang, keduanya tampak terkejut, tak menyangka mereka akan bertemu lagi. Kedua alis dokter itu mengernyit, mendapati pandangan mata Lara fokus melihat matanya. Lantas Dodo dan Silvia juga mengerjapkan mata mereka, menyaksikan Lara yang seolah tak suka pada dokter itu. Ketika dokter yang tak asing bagi Lara itu memberikan akses jalan lebih dulu, ujung kaki Lara berdiri di ujung anak tangga yang tampak licin bercampur debu, membuat kakinya sempat kehilangan keseimbangan.
”Eh.. eh...” Ia hampir saja tergelincir karenanya, untunglah ada si dokter tampan tersebut. Dokter itu refleks menahan tubuh Lara, kemudian menariknya ke dada bidang dokter yang hari itu mengenakan kemeja berwarna biru laut, membuat tubuh keduanya terhimpit satu dengan yang lain. Jantung Lara kembali berdegup kencang, setiap kali menatap mata cokelat susu Keenan. Alih-alih membalas tatapan mata gadis itu, Keenan sengaja memalingkan wajahnya ke arah lain. Mengakses mata telanjang Lara mendapati jakun Keenan yang naik turun di depannya.
Lara merasa kerongkongannya semakin tercekat, tubuhnya mendadak panas karenanya. Hampir saja ia dibuat gila oleh Keenan, sesaat cowok itu membiarkan tangan Lara bertumpu dan meremas erat jas kebesarannya. Nggak beberapa lama, Keenan membantunya berdiri tegak. ”Ckckck..” gumam dokter itu sambil melempar pandangan dingin pada Lara.
”Kalo nggak bisa pake highheels , mendingan copot aja, pake sandal jepit,” sindir dokter itu sesudahnya, lantas membangkitkan emosi di benak Lara. Gadis itu sedang malas beradu mulut, ia diam saja dan hanya mendelik sebal pada dua mata cokelat dokter tersebut. ”Diem lo. Nggak usah banyak ngomong!” bentak Lara kesal. Cowok itu dengan cueknya kembali menyulut emosi Lara, ”Ckckck... kasihan gue sama anak buah lo ini, nggak tahu betapa buruknya sifat bosnya.”
”KEENAN! Cukup ya. Lo nggak usah bawa-bawa dua anak buah gue. Bisa nggak sih, mulut lo itu berhenti nyela-nyela gue? Lo tau apa soal gue, hah?” Matanya melotot lebar, nafasnya naik turun begitu cowok sengak itu kembali membuka mulutnya. (bersambung)
(bbg)