Dua Pasang Hati
A
A
A
Hingga ia tak lagi bisa berkata-kata dan jatuh pingsan. Setelah beberapa jam berlalu, Lara akhirnya tersadar.
Ketika itu, lengannya sudah dipasangi selang infus dan alat bantu oksigen sudah berada di lobang hidungnya. Pandangan matanya lemah dan tubuhnya terkulai lemas. Ia tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Tapi... siapa yang berbaik hati menolongnya keluar dari tempat mematikan tersebut? Kalau ada pun, dia pasti ingin sekali bertemu dengan orang itu, dan mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh.
”Lara Sayang... kamu udah sadar, Nak?” Terdengar suara lembut penuh kasih sayang dari ibunda Lara. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis, hatinya rapuh melihat putri bungsunya itu terjerembab dalam ruang gelap yang hampir saja merengut nyawa anaknya. Lara mengangguk lemah, matanya menyapu bersih seluruh ruangan, dan didapatinya seorang anak lelaki bertubuh tinggi dan berambut seperti mangkok itu ikut duduk di sampingnya.
Lelaki itu tampak begitu lusuh, dengan nodanoda hitam membekas di kaus birunya. Ia juga turut memandang Lara penuh kasihan. ”Syukurlah Tante kalo Lara udah sadar. Aku jadi tenang,” katanya sambil tersenyum menatap Lara. ”Terima kasih ya, Keenan. Kamu sudah nolongin anak, Tante.”
Ibu Lara mengelus rambut mangkok anak kecil tersebut. Anak lelaki itu memamerkan barisan gigi putihnya pada ibundanya. ”Makasih juga ya, Bara, Laudya. Keenan udah membantu Lara keluar dari rumah itu. Saya nggak tau lagi, kalau nggak ada kalian, anak saya pasti nggak tertolong.” ”Melia, jangan ngomong seperti itu. Kamu tahu kan, Lara udah seperti anak sendiri buat kami. Kalau Lara kenapa-krnapa juga, saya pasti sedih juga,” ujar Laudya dengan tulus pada Melia.
Perempuan beranak tiga itu tersenyum hangat padanya Melia, lalu mengelus tangannya, memberi kekuatan. Anak lelaki bertubuh tinggi dan berambut mangkok itu, duduk di samping Lara saat ia terbaring lemah. Cowok itu begitu baik padanya, mata mereka saling beradu pandang. Anak lelaki itu mengelus kepalanya dengan lembut, seakan begitu peduli padanya.
Lara hanya bisa tersenyum setelahnya. ”Makasih ya, Kak...” ”Nggak apa-apa. Asal kamu sekarang baikbaik aja.” ”Hah, apaapa, Yang? Aku nggak salah denger nih?” Suara seorang gadis terdengar begitu riang, saat mengetahui suatu kabar dari kekasihnya. ”Iya, Sayang. Kenapa sih, kok kamu malah kesenengan gitu sih?” balas pacarnya keheranan.
”Jelas dong aku bahagia. Berarti rencana kita akan berhasil, Sayang!” suaranya semakin membingungkan pacarnya. ”Apa sih maksudmu?” ”Yang... masa kamu jadi ikutan oon sih kayak si Keenan. Masih nggak nangkep juga apa maksud aku?” ”Maksud kamu... Keenan... Lara....?” ”Iya!”
Cewek itu menghela napasnya lega, akhirnya dia mengerti kenapa kekasihnya itu nampak begitu kegirangan. Eh malah disambut dengan celotehan panjang dari pacarnya, ”Sayang. Dengerin aku ya, Lara itu bukan tipenya Keenan. Jauh banget dari tipenya. Kamu kan tau, mantan-mantannya Keenan kayak apa. Feli, Diandra dan beberapa yang lainnya itu... high-class semua.
Udah gitu, Lara kan nggak bisa masak sama sekali, nggak feminine, judes banget lagi. Mereka nggak akan bisa sama-sama deh, Yang. Percaya sama aku.” ”Sayangku Ardio, kamu tau nggak sih... mereka berdua itu, cuma perlu disentil dikit juga udah jadi. Kayak kata orang, benci jadi cinta. Aku yakin mereka pasti bakal kayak gitu, deh.” ”Kamu itu dibilangin nggak percayaan banget sih, Yang. Aku nggak mau ya, kamu sok-sokan jadi mak comblang. Yang ada ntar kamu malah naksir lagi sama Keenan. Biasanya kan...”
Kekasihnya itu terkekeh geli, menemukan pacarnya yang jealous pada sobatnya sendiri. Dokter satu ini kalo udah jealous emang cute banget, membuat gadis itu ingin mencubit perut dan pipi dokter spesialis penyakit dalam tersebut, saking gemasnya. ”Udah lama nggak liat kamu jealous deh, Di. Segitunya amat, aku kan cintanya cuma sama kamu doang...” Gadis itu berdendang manja di telepon. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Ketika itu, lengannya sudah dipasangi selang infus dan alat bantu oksigen sudah berada di lobang hidungnya. Pandangan matanya lemah dan tubuhnya terkulai lemas. Ia tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Tapi... siapa yang berbaik hati menolongnya keluar dari tempat mematikan tersebut? Kalau ada pun, dia pasti ingin sekali bertemu dengan orang itu, dan mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh.
”Lara Sayang... kamu udah sadar, Nak?” Terdengar suara lembut penuh kasih sayang dari ibunda Lara. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis, hatinya rapuh melihat putri bungsunya itu terjerembab dalam ruang gelap yang hampir saja merengut nyawa anaknya. Lara mengangguk lemah, matanya menyapu bersih seluruh ruangan, dan didapatinya seorang anak lelaki bertubuh tinggi dan berambut seperti mangkok itu ikut duduk di sampingnya.
Lelaki itu tampak begitu lusuh, dengan nodanoda hitam membekas di kaus birunya. Ia juga turut memandang Lara penuh kasihan. ”Syukurlah Tante kalo Lara udah sadar. Aku jadi tenang,” katanya sambil tersenyum menatap Lara. ”Terima kasih ya, Keenan. Kamu sudah nolongin anak, Tante.”
Ibu Lara mengelus rambut mangkok anak kecil tersebut. Anak lelaki itu memamerkan barisan gigi putihnya pada ibundanya. ”Makasih juga ya, Bara, Laudya. Keenan udah membantu Lara keluar dari rumah itu. Saya nggak tau lagi, kalau nggak ada kalian, anak saya pasti nggak tertolong.” ”Melia, jangan ngomong seperti itu. Kamu tahu kan, Lara udah seperti anak sendiri buat kami. Kalau Lara kenapa-krnapa juga, saya pasti sedih juga,” ujar Laudya dengan tulus pada Melia.
Perempuan beranak tiga itu tersenyum hangat padanya Melia, lalu mengelus tangannya, memberi kekuatan. Anak lelaki bertubuh tinggi dan berambut mangkok itu, duduk di samping Lara saat ia terbaring lemah. Cowok itu begitu baik padanya, mata mereka saling beradu pandang. Anak lelaki itu mengelus kepalanya dengan lembut, seakan begitu peduli padanya.
Lara hanya bisa tersenyum setelahnya. ”Makasih ya, Kak...” ”Nggak apa-apa. Asal kamu sekarang baikbaik aja.” ”Hah, apaapa, Yang? Aku nggak salah denger nih?” Suara seorang gadis terdengar begitu riang, saat mengetahui suatu kabar dari kekasihnya. ”Iya, Sayang. Kenapa sih, kok kamu malah kesenengan gitu sih?” balas pacarnya keheranan.
”Jelas dong aku bahagia. Berarti rencana kita akan berhasil, Sayang!” suaranya semakin membingungkan pacarnya. ”Apa sih maksudmu?” ”Yang... masa kamu jadi ikutan oon sih kayak si Keenan. Masih nggak nangkep juga apa maksud aku?” ”Maksud kamu... Keenan... Lara....?” ”Iya!”
Cewek itu menghela napasnya lega, akhirnya dia mengerti kenapa kekasihnya itu nampak begitu kegirangan. Eh malah disambut dengan celotehan panjang dari pacarnya, ”Sayang. Dengerin aku ya, Lara itu bukan tipenya Keenan. Jauh banget dari tipenya. Kamu kan tau, mantan-mantannya Keenan kayak apa. Feli, Diandra dan beberapa yang lainnya itu... high-class semua.
Udah gitu, Lara kan nggak bisa masak sama sekali, nggak feminine, judes banget lagi. Mereka nggak akan bisa sama-sama deh, Yang. Percaya sama aku.” ”Sayangku Ardio, kamu tau nggak sih... mereka berdua itu, cuma perlu disentil dikit juga udah jadi. Kayak kata orang, benci jadi cinta. Aku yakin mereka pasti bakal kayak gitu, deh.” ”Kamu itu dibilangin nggak percayaan banget sih, Yang. Aku nggak mau ya, kamu sok-sokan jadi mak comblang. Yang ada ntar kamu malah naksir lagi sama Keenan. Biasanya kan...”
Kekasihnya itu terkekeh geli, menemukan pacarnya yang jealous pada sobatnya sendiri. Dokter satu ini kalo udah jealous emang cute banget, membuat gadis itu ingin mencubit perut dan pipi dokter spesialis penyakit dalam tersebut, saking gemasnya. ”Udah lama nggak liat kamu jealous deh, Di. Segitunya amat, aku kan cintanya cuma sama kamu doang...” Gadis itu berdendang manja di telepon. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)