Dua Pasang Hati

Senin, 18 Mei 2015 - 08:57 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
”Bisa nggak sih dikit-dikit lo nggak teriak-teriak? Bisa budek lama-lama telinga gue,” gerutunya sebal, sekalian menutupi rasa canggungnya.

”Sori, Nan... gue nggak maksud. Tadi cuma kaget aja, muka gue item semua gara-gara masak...” Mata Lara memandang mata Keenan layaknya seorang mata gadis cilik yang ingin dibelikan permen. Bukannya tersentuh, cowok itu malah menganggap gadis itu sangat menyebalkan. ”Udah deh. Gue udah laper nih. Lagian lo masak apaan sih, sampe satu rumah hampir kebakaran?” tanya Keenan sambil meletakkan tangannya di saku celana.

”Nasi goreng sambel pete. Kesukaan lo..” ujar cewek itu sambil memasang senyum termanis, jari telunjuknya menyentuh dada Keenan. Cowok itu menangkis jari telunjuk Lara, ”Mana nasi gorengnya? Gue mau coba.” Mata gadis itu bagai pijar lampu yang bersinar terang. Ia dengan senang hati memberikan sepiring nasi goreng sambel petai itu pada Keenan yang ditanggapi dengan helaan napas dari Keenan.

”Kayak gini bentuknya, lo bilang ini nasi goreng sambel pete?” tanyanya tak yakin. Yang bener aja, ini namanya nasgor sambel pete. Nasinya gorengnya berwarna gelap, nampaknya terlalu banyak kecap manis yang dipakainya, petainya juga gosong karena terlalu lama digoreng, belum lagi telur dadar yang diletakkan di atas nasi goreng itu juga berkerak. Membuat nafsu makan Keenan hilang seketika.

”Gu-gu...gue udah ikutin resep, Nan... padahal...” wajah Lara mendadak sedih. Ia menundukkan kepalanya, memalukan, untuk pedekate pertamanya aja dia sudah nggak sukses begini. Cowok itu membuang pandangannya ke arah lain. Selanjutnya Keenan meletakkan nasi goreng gagal itu di meja makan.

Sementara Lara terenyak mendapati nasib nasi goreng itu begitu kasihan, seperti dirinya sekarang. Padahal dia sudah semalaman berlatih memasak nasi goreng untuk Keenan. ”Ada Indomie nggak?” Tiba-tiba Keenan bertanya. Lara sudah hilang nyawa, nyalinya sudah nggak ada untuk meminta Keenan mencoba masakannya sedikit saja. Jangankan mau mencobanya, meliriknya saja sepertinya Keenan ingin muntah.

”Itu... di belakang, Nan. Lo... mau gue masakin?” jawab Lara sambil menunjuk ke belakang. Cowok itu menatap sinis, ”Masakin?” ”Nggak perlu. Nasi goreng aja lo nggak bisa, apalagi mie goreng. Nggak kapok, kompor dapur lo hampir nelen nyawa kita berdua?” ujarnya dingin. Nada bicaranya memang datar, tapi menusuk tepat hati Lara. Mau nangis di depan Keenan pun rasanya nggak berguna, cowok itu hatinya sekeras batu.

Keenan pun beranjak ke dapur, diikuti Lara dari belakang. Pelanpelan cowok itu menggerutu, ”Masak aja nggak becus. Ngarep jadi istri gue.” Untung saja Lara nggak mendengarnya. Gadis itu berdiri mematung di pojok dapur, memperhatikan Keenan yang sedang merebus mie instan dua bungkus buat makan malam mereka. Begitulah kira-kira yang terjadi, saat-saat pertama Keenan mengenal Lara.

Betul-betul memalukan sekaligus mengesalkan, kan? Tanpa sadar, alam bawah dasar Keenan memerintahkan bibirnya menyunggingkan seulas senyum, ketika ia mengingat semua kenangan itu. Mata terpejam Keenan langsung terbelalak lebar. Apa-apaan sih, kenapa jadi nginget kenangan terburuk dalam hidupnya itu? Dia bergidik geli, kesal dengan dirinya sendiri. Astaga... mungkin karena gue belum doa kali sebelum tidur, pikirnya. Ia terbangun lalu duduk di kasurnya.

Jantungnya berdegup kencang, dua kali lipat lebih cepat dari tadi siang, ketika kedua mata mereka beradu pandang. Seakan ada desirdesir aneh yang mulai melingkupi relung hatinya. Pelan-pelan Keenan mengatur napasnya yang tercekat. Slow down... slow down... Keenan mencoba mengontrolnya. Ia sampai harus menegak air putih yang diletakkan di mejanya, barulah ia bisa berpikir jernih.

Ah, nggak seharusnya gue tidur. Sial, umpatnya dalam hati. ”Apa, Ra? Lo dikira lesbong sama temen sekantor lo? Hahahahaha...” Echa nggak bisa lagi menahan tawanya, sesaat Lara baru membuka mulut soal Panji. ”Sialan lo malah ngetawain gue. Iya, si Panji gelo itu misunderstanding soal cincin dari Nyokap gue, Cha...” katanya mulai bercerita. (bersambung)

Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7523 seconds (0.1#10.140)