Dua Pasang Hati
A
A
A
Pemuda itu memeluk sang wanita dengan sangat erat, seolah mereka sudah lama berpisah. Ia membelai hangat rambut wanita itu, kemudian mengecup keningnya yang disambut dengan senyum bahagia dari wanita itu. Jemari lentik wanita itu menyentuh seluruh bagian wajah pemuda itu penuh kasih sayang, tak berapa lama kemudian pemuda itu tersenyum lagi.
Pada saat sang wanita itu memeluknya, perlahan tubuh pemuda itu meninggalkan seberkas cahaya. Wanita itu menggelengkan kepalanya, air matanya kembali terurai. Ia menggenggam erat tangan pemuda itu, tidak membiarkan pria itu pergi darinya.
Namun apa mau dikata, pemuda berselimutkan cahaya matahari itu, kini benar-benar pergi. Kembali wanita itu merasakan hatinya begitu pilu, ia bersibobok dengan rerumputan hijau yang tibatiba berubah menjadi tanah merah, disertai hujan deras yang mengalir di atasnya. Hujan itu ialah tangisan hati sang wanita yang ditinggalkan oleh pemuda itu, sang cinta pertamanya.
Enam Lara membuka kedua matanya, sesaat ia bermimpi aneh. Mimpi yang meninggalkan rasa penasaran, ketakutan, kehangatan dalam benaknya. Ia melirik ke arah kanan dan kirinya. Di mana nih gue? Lara berpikir dalam hati. Sayup-sayup alat pendeteksi jantung berdetak kencang, menyadarkan Lara di mana ia sekarang. Rumah sakit? Lara mendapati tubuhnya sudah ditusuk dengan jarum infus dan di hidungnya pun dipasangi dengan alat oksigen yang masuk ke lubang hidungnya.
Anehnya, tidak seperti beberapa jam yang lalu, kepala Lara sudah tidak terasa pusing dan ia merasa sudah sehat seperti sedia kala. Sepertinya tidak ada siapa-siapa di ruangan ini. Tidak ada dokter yang memeriksa keadaannya, perawat yang sekadar menawarkan makan siang. Ini bukanlah kali pertama, Lara dirawat di rumah sakit karena hal seperti ini.
Dulu sewaktu kecil, ia pernah mengalami hal yang sama. Lara menyapu pandangannya ke sebuah lemari kecil yang terletak tepat di sisi kasur. Matanya menyipit samar-samar, mendapati sebuah arloji yang sepertinya tertinggal di kamarnya. Perlahan-lahan, ia berusaha meraih arloji tersebut, meskipun agak sulit karena menggunakan sebelah tangan.
Arloji itu kini berhasil di tangannya. Desainnya begitu mewah, dengan berlian-berlian kecil bersinar di dalamnya. Belum lagi jarum jamnya seolah terbuat dari emas putih yang mungkin sangat mahal harganya. ”Punya siapa ya kira-kira? Masa pasien di sini? Kalo pasien... lah, orang cuma gue doang yang ada di sini.
Apa... tadi ada dokter yang meriksa gue ya?” gumamnya pada diri sendiri. Jika memang ada dokter yang memeriksakannya ke sini... kenapa dia meninggalkan jam tangannya? Masa dia berjaga semalaman di kamar Lara? Oh, Lara mengerti. Mungkin aja, kondisinya kemarin siang itu sangat buruk.
Makanya si dokter ini berjaga semalaman. Ia tersenyum, kemudian berpikir... seperti apa ya dokter yang berjaga semalam di kamarnya? Ganteng nggak ya? Tapi setelah satu minggu Lara kerja di sini, nggak ada tuh dokter-dokter ganteng yang berkeliaran di rumah sakit ini. Tibatiba aja Lara teringat akan seorang dokter yang beberapa waktu lalu diceritakan Jovani.
Eh, tapi... tunggu dulu. Dokter itu kan, dokter kandungan. Lara menepisnya, mana mungkin dokter kandungan bisa menolongnya? Penyakit yang dideritanya ini kan penyakit psikis. Namun entah mengapa hatinya kembali menghangat setiap kali ia melihat jam tangan yang tertinggal di kamarnya ini.
Rasanya, ingin sekali ia bertemu dengan dokter yang sudah menyelamatkan nyawanya tersebut, hanya sekadar berterima kasih karena kebaikannya. Lara berniat untuk mengembalikan jam tangan itu langsung pada pemiliknya. Maka ia menyimpannya di bawah bantal kasurnya.
Tak beberapa lama kemudian, datanglah Ardio dan Echa yang akhirnya bisa menjenguknya. ”Lara... astaga, puji Tuhan lo bisa selamat, Ra... Lo udah baikan kan?” tanya Echa lembut, sambil mengelus kepala sahabatnya. ”Udah, gue udah nggak setakut tadi, Cha. Thanks ya udah mau jengukin gue,” senyum Lara padanya.
”Iya sama-sama, Ra... ini semua kan berkat-” Echa menginjak kaki Ardio. Kontan saja cowok itu berteriak kesakitan dan saling berpandangan satu dengan yang lain. ”Lo kenapa, Di?” ”Nggak, Ra. Ini gue ketendang tiang kasur lo, sakit nih.” (bersambung)
VANIA M. BERNADETTE
Pada saat sang wanita itu memeluknya, perlahan tubuh pemuda itu meninggalkan seberkas cahaya. Wanita itu menggelengkan kepalanya, air matanya kembali terurai. Ia menggenggam erat tangan pemuda itu, tidak membiarkan pria itu pergi darinya.
Namun apa mau dikata, pemuda berselimutkan cahaya matahari itu, kini benar-benar pergi. Kembali wanita itu merasakan hatinya begitu pilu, ia bersibobok dengan rerumputan hijau yang tibatiba berubah menjadi tanah merah, disertai hujan deras yang mengalir di atasnya. Hujan itu ialah tangisan hati sang wanita yang ditinggalkan oleh pemuda itu, sang cinta pertamanya.
Enam Lara membuka kedua matanya, sesaat ia bermimpi aneh. Mimpi yang meninggalkan rasa penasaran, ketakutan, kehangatan dalam benaknya. Ia melirik ke arah kanan dan kirinya. Di mana nih gue? Lara berpikir dalam hati. Sayup-sayup alat pendeteksi jantung berdetak kencang, menyadarkan Lara di mana ia sekarang. Rumah sakit? Lara mendapati tubuhnya sudah ditusuk dengan jarum infus dan di hidungnya pun dipasangi dengan alat oksigen yang masuk ke lubang hidungnya.
Anehnya, tidak seperti beberapa jam yang lalu, kepala Lara sudah tidak terasa pusing dan ia merasa sudah sehat seperti sedia kala. Sepertinya tidak ada siapa-siapa di ruangan ini. Tidak ada dokter yang memeriksa keadaannya, perawat yang sekadar menawarkan makan siang. Ini bukanlah kali pertama, Lara dirawat di rumah sakit karena hal seperti ini.
Dulu sewaktu kecil, ia pernah mengalami hal yang sama. Lara menyapu pandangannya ke sebuah lemari kecil yang terletak tepat di sisi kasur. Matanya menyipit samar-samar, mendapati sebuah arloji yang sepertinya tertinggal di kamarnya. Perlahan-lahan, ia berusaha meraih arloji tersebut, meskipun agak sulit karena menggunakan sebelah tangan.
Arloji itu kini berhasil di tangannya. Desainnya begitu mewah, dengan berlian-berlian kecil bersinar di dalamnya. Belum lagi jarum jamnya seolah terbuat dari emas putih yang mungkin sangat mahal harganya. ”Punya siapa ya kira-kira? Masa pasien di sini? Kalo pasien... lah, orang cuma gue doang yang ada di sini.
Apa... tadi ada dokter yang meriksa gue ya?” gumamnya pada diri sendiri. Jika memang ada dokter yang memeriksakannya ke sini... kenapa dia meninggalkan jam tangannya? Masa dia berjaga semalaman di kamar Lara? Oh, Lara mengerti. Mungkin aja, kondisinya kemarin siang itu sangat buruk.
Makanya si dokter ini berjaga semalaman. Ia tersenyum, kemudian berpikir... seperti apa ya dokter yang berjaga semalam di kamarnya? Ganteng nggak ya? Tapi setelah satu minggu Lara kerja di sini, nggak ada tuh dokter-dokter ganteng yang berkeliaran di rumah sakit ini. Tibatiba aja Lara teringat akan seorang dokter yang beberapa waktu lalu diceritakan Jovani.
Eh, tapi... tunggu dulu. Dokter itu kan, dokter kandungan. Lara menepisnya, mana mungkin dokter kandungan bisa menolongnya? Penyakit yang dideritanya ini kan penyakit psikis. Namun entah mengapa hatinya kembali menghangat setiap kali ia melihat jam tangan yang tertinggal di kamarnya ini.
Rasanya, ingin sekali ia bertemu dengan dokter yang sudah menyelamatkan nyawanya tersebut, hanya sekadar berterima kasih karena kebaikannya. Lara berniat untuk mengembalikan jam tangan itu langsung pada pemiliknya. Maka ia menyimpannya di bawah bantal kasurnya.
Tak beberapa lama kemudian, datanglah Ardio dan Echa yang akhirnya bisa menjenguknya. ”Lara... astaga, puji Tuhan lo bisa selamat, Ra... Lo udah baikan kan?” tanya Echa lembut, sambil mengelus kepala sahabatnya. ”Udah, gue udah nggak setakut tadi, Cha. Thanks ya udah mau jengukin gue,” senyum Lara padanya.
”Iya sama-sama, Ra... ini semua kan berkat-” Echa menginjak kaki Ardio. Kontan saja cowok itu berteriak kesakitan dan saling berpandangan satu dengan yang lain. ”Lo kenapa, Di?” ”Nggak, Ra. Ini gue ketendang tiang kasur lo, sakit nih.” (bersambung)
VANIA M. BERNADETTE
(bbg)