Dua Pasang Hati
A
A
A
Kemudian dengan perlahan, Echa menggenggam tangan Lara memberi kekuatan. ”Ra, sori ya, kalo gue bahas-bahas Keenan terus ke elo. Gue nggak tau kalo lo segini terlukanya gara-gara dia. Gue juga nggak akan maksa lo untuk maafin dia, kalo emang lo belum siap. Cuma gue mau, lo berdamai dengan masa lalu aja, Ra. Biar lo ngerasa lega dan nggak ada beban,” ucap Echa memberi nasihat.
Lara tersenyum tegar. ”Iya, nggak apa-apa, Cha. Gue emang suka mellow sendiri kalo inget-inget soal si dokter gila itu. Udahlah, it has been the part of my past . Mungkin lo bener, gue udah harus bangkit dari masa lalu gue.” Echa tersenyum setuju pada Lara, ”Bener tuh, Ra. Get up and find your true love .” Malam hari pun tiba, Lara belum diizinkan keluar rumah sakit, karena masih harus dijaga kondisi tekanan darah dan denyut jantung, serta kondisi psikisnya.
Kini setelah Echa pulang, tinggallah Lara sendirian. Belum ada yang datang lagi menjenguknya, setelah ia makan malam. Lagi pula sekarang sudah jam delapan malam, tentu saja waktu berkunjung sudah habis. Ya beginilah, Lara. Ia memang hidup dan tinggal sendirian, setelah orang tuanya bercerai, dan sang kakak laki-lakinya menikah dengan Rara yang bekerja di Finlandia dan memilih menetap di sana.
Mengusir kebosanan, Lara menyalakan televisinya, lalu menontonnya sampai ia tertidur karena pengaruh obat yang baru saja ditelannya beberapa menit yang lalu. Setengah jam ia tertidur, terdengarlah suara rintik hujan yang membasahi jendela ruang kamar Lara. Sesungguhnya, Lara sangat membenci hujan, walaupun bagi sebagian orang, hujan adalah momen paling pas buat nge-galau, namun buat Lara itu adalah hal yang sangat menakutkan.
Ia selalu ketakutan jika harus mendengar petir menggelegar di malam hari, membuatnya sulit untuk menutup mata dan membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Namun nggak sampe beberapa menit, Lara sudah kembali terlelap dengan nyenyaknya. Lagi-lagi, seorang wanita muncul dalam mimpinya. Wanita berambut panjang itu, kali ini tak lagi menyiratkan kesedihan, melainkan kebahagiaan dan ketenangan, karena tangannya digenggam oleh pemuda yang sama.
Pemuda yang selalu ditunggunya dan dinantinya. Pemuda itu kini duduk bersamanya, lalu memeluknya dengan penuh kehangatan. Seperti malam itu, pemuda itu membelai kepalanya penuh kasih sayang. Pemuda itu tersenyum, ketika ia bermain dengan riak rambut halus milik wanita itu, seolah sutra lembut yang dihadiahkan untuknya. Sejurus kemudian, pemuda itu mendekatkan wajahnya pada wanita itu, kedua mata mereka bertatapan penuh kasih sayang.
Perlahan namun pasti bibir tipis pria itu menyambut bibir merah wanitanya dengan penuh kelembutan. Pemuda itu seolah menikmati bibir merah merona milik wanita itu, ia mengulumnya dengan lembut, melumatnya dan merasakan hingga titik kejantanannya seolah terpacu untuk terus melakukannya lebih dalam lagi. Ciuman mesra pemuda itu tibatiba harus berakhir, tubuhnya memancarkan seberkas cahaya yang sangat berkilau layaknya berlian, membuat peraduan bibir mereka harus berakhir, benar-benar berakhir.
Pria itu kini lenyap dari dekapan hangat wanita yang amat dicintainya. Kembali, wanita itu menangis sejadi-jadinya, hatinya luluh lantah meratapi kepergian pemuda itu. Mimpi itu kembali menyadarkan Lara. Matanya langsung terbelalak lebar, ia seolah terbawa oleh mimpi yang sudah dua kali datang dalam tidurnya. Lara menyipitkan matanya, dan sedikit menolehkan wajahnya ke samping kiri.
Samar-samar, ia melihat bayangan seorang pria bertubuh tinggi besar menggunakan jas dokter, berjalan menjauh dari daun pintu kamarnya. Perasaan tidak enak menyerang kalbunya, janganjangan... ada orang jahat yang dengan sengaja ingin mengganggunya dan baca-bacain mantra supaya dia dimimpiin tentang wanita itu. Lara menyadari posisi selimutnya sedikit lebih naik, dibanding tadi ketika ia sedang tertidur pulas. Gadis itu menaikkan kasurnya dengan tombol pengatur, menegak air putihnya dengan cepat.
Jantung Lara mulai berdegup kencang, namun untungnya tidak sampai desakkan nafasnya yang mencekat. Gimana nih... gue jadi takut tidur sendirian, pikir Lara kemudian. Echa udah pulang, Ardio juga... masa gue minta mereka nemenin gue di rumah sakit sih? Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba benak Lara seolah menyuruhnya meminta bantuan pada satu sosok yang sangat ia kenal. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Lara tersenyum tegar. ”Iya, nggak apa-apa, Cha. Gue emang suka mellow sendiri kalo inget-inget soal si dokter gila itu. Udahlah, it has been the part of my past . Mungkin lo bener, gue udah harus bangkit dari masa lalu gue.” Echa tersenyum setuju pada Lara, ”Bener tuh, Ra. Get up and find your true love .” Malam hari pun tiba, Lara belum diizinkan keluar rumah sakit, karena masih harus dijaga kondisi tekanan darah dan denyut jantung, serta kondisi psikisnya.
Kini setelah Echa pulang, tinggallah Lara sendirian. Belum ada yang datang lagi menjenguknya, setelah ia makan malam. Lagi pula sekarang sudah jam delapan malam, tentu saja waktu berkunjung sudah habis. Ya beginilah, Lara. Ia memang hidup dan tinggal sendirian, setelah orang tuanya bercerai, dan sang kakak laki-lakinya menikah dengan Rara yang bekerja di Finlandia dan memilih menetap di sana.
Mengusir kebosanan, Lara menyalakan televisinya, lalu menontonnya sampai ia tertidur karena pengaruh obat yang baru saja ditelannya beberapa menit yang lalu. Setengah jam ia tertidur, terdengarlah suara rintik hujan yang membasahi jendela ruang kamar Lara. Sesungguhnya, Lara sangat membenci hujan, walaupun bagi sebagian orang, hujan adalah momen paling pas buat nge-galau, namun buat Lara itu adalah hal yang sangat menakutkan.
Ia selalu ketakutan jika harus mendengar petir menggelegar di malam hari, membuatnya sulit untuk menutup mata dan membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Namun nggak sampe beberapa menit, Lara sudah kembali terlelap dengan nyenyaknya. Lagi-lagi, seorang wanita muncul dalam mimpinya. Wanita berambut panjang itu, kali ini tak lagi menyiratkan kesedihan, melainkan kebahagiaan dan ketenangan, karena tangannya digenggam oleh pemuda yang sama.
Pemuda yang selalu ditunggunya dan dinantinya. Pemuda itu kini duduk bersamanya, lalu memeluknya dengan penuh kehangatan. Seperti malam itu, pemuda itu membelai kepalanya penuh kasih sayang. Pemuda itu tersenyum, ketika ia bermain dengan riak rambut halus milik wanita itu, seolah sutra lembut yang dihadiahkan untuknya. Sejurus kemudian, pemuda itu mendekatkan wajahnya pada wanita itu, kedua mata mereka bertatapan penuh kasih sayang.
Perlahan namun pasti bibir tipis pria itu menyambut bibir merah wanitanya dengan penuh kelembutan. Pemuda itu seolah menikmati bibir merah merona milik wanita itu, ia mengulumnya dengan lembut, melumatnya dan merasakan hingga titik kejantanannya seolah terpacu untuk terus melakukannya lebih dalam lagi. Ciuman mesra pemuda itu tibatiba harus berakhir, tubuhnya memancarkan seberkas cahaya yang sangat berkilau layaknya berlian, membuat peraduan bibir mereka harus berakhir, benar-benar berakhir.
Pria itu kini lenyap dari dekapan hangat wanita yang amat dicintainya. Kembali, wanita itu menangis sejadi-jadinya, hatinya luluh lantah meratapi kepergian pemuda itu. Mimpi itu kembali menyadarkan Lara. Matanya langsung terbelalak lebar, ia seolah terbawa oleh mimpi yang sudah dua kali datang dalam tidurnya. Lara menyipitkan matanya, dan sedikit menolehkan wajahnya ke samping kiri.
Samar-samar, ia melihat bayangan seorang pria bertubuh tinggi besar menggunakan jas dokter, berjalan menjauh dari daun pintu kamarnya. Perasaan tidak enak menyerang kalbunya, janganjangan... ada orang jahat yang dengan sengaja ingin mengganggunya dan baca-bacain mantra supaya dia dimimpiin tentang wanita itu. Lara menyadari posisi selimutnya sedikit lebih naik, dibanding tadi ketika ia sedang tertidur pulas. Gadis itu menaikkan kasurnya dengan tombol pengatur, menegak air putihnya dengan cepat.
Jantung Lara mulai berdegup kencang, namun untungnya tidak sampai desakkan nafasnya yang mencekat. Gimana nih... gue jadi takut tidur sendirian, pikir Lara kemudian. Echa udah pulang, Ardio juga... masa gue minta mereka nemenin gue di rumah sakit sih? Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba benak Lara seolah menyuruhnya meminta bantuan pada satu sosok yang sangat ia kenal. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)