Dua Pasang Hatis
A
A
A
”Segitunya?” Wajah cowok itu semakin terlihat cemas, setelah Lara mengomentari bagian-bagian wajahnya.
Kruuuuuukkkkk! Sebuah suara yang (mungkin) berasal dari perut pria yang sedang menyetir di sebelahnya terdengar begitu jelas, mengundang Lara semakin tertawatawa lebar mendengarnya. ”Lo... laper, Nan?” Cewek itu bertanya setelah tawanya mereda, sementara Keenan sudah memasang muka cemberut, mungkin sebel diketawain Lara segitunya. Tapi cewek itu mengacuhkan wajah cemberut Keenan, dia merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah roti cokelat.
Lara membukakan bungkus roti itu, lalu menyodorkannya pada Keenan. ”Pak dokter, kalo sibuk sih boleh. Tapi jangan sampe lupa makan gitu dong,” ujar cewek itu kemudian. Keenan belum mengambil roti yang masih di genggaman tangan Lara. ”Nih, ambil dong. Pegel nih tangan gue meganginnya,” Lara mulai merongrong protes. ”Gue nggak biasa makan kalo lagi nyetir. Simpen aja deh,” ucap cowok itu menolak.
Cih, ini orang gengsinya selangit banget sih, pikir Lara dalam hati. Lara rupanya nggak membiarkan dokter itu kelaparan, ia menyobek sedikit roti cokelat tersebut lalu memaksa Keenan untuk membuka mulutnya. ”Aa....” Lara memerintahkan Keenan membuka mulutnya, persis banget udah kayak anak TK yang disuapin ibunya.
”Duh, apaan sih lo, Ra. Udah gue bilang...” Slup! Lara iseng memasukkan potongan besar roti tersebut ke mulut Keenan, menyebabkan cowok itu kesulitan berbicara, mau nggak mau dia telan. Lara menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu tersenyum puas menatap ke arah Keenan, ”Daripada lo susah banget disuruh makan, sekalian aja yang gede. Itungitung kan ganjel perut lo dulu, Nan.”
Keenan memilih tak membalas, ia tahu betul ada sesuatu yang menggema di pelupuk hatinya. Dia sendiri pun tak tahu bagaimana menjelaskannya. Pokoknya perasaan itu, melumpuhkan niatnya untuk membantah semua yang dilakukan Lara hari ini. Aneh rasanya, bertahuntahun Keenan mengenal perempuan itu, baru kali ini dia merasa Lara sedikit berbeda dengan cewek-cewek lainnya.
Hanya saja dia belum bisa mendefinisikan apa yang dirasakan ini. Akhirnya Lara malah menyuapi satu per satu, potongan roti untuk Keenan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa sulit untuknya berhenti melakukan semua ini. Rasanya tangannya ini tergerak dan ingin terus melakukannya. Belum sampai di situ saja, ia juga berbaik hati menyodorkan sebotol minum agar cowok itu tak tersedak setelah makan.
Whats wrong with me? Why do I care for him? It feels so hard to stop my hand, feeding him like that... I cant stop doing it, feels like something that I cant argue with my-self. I even dont know what happen with me , pikiran Lara terus meracuni otaknya. Setelah Keenan diberi minum, suasana canggung menyelimuti keduanya. Kerongkongan Lara tiba-tiba menjadi kering, sekering gurun Sahara, sementara batin Keenan terus menginginkan perhatian Lara agar tak berhenti hingga di situ saja.
Keduanya tak bergeming beberapa saat, sampai-sampai Keenan sadar ia hampir saja menabrak sesuatu, hingga mengakibatkan ia harus ngerem mendadak. Lara memejamkan matanya erat-erat, ketakutan karena cara bawa mobil Keenan yang sedikit ngeri. Secara nggak sadar juga, Lara memegang pergelangan tangan Keenan erat-erat saking takutnya. Cowok itu melirik wajah Lara yang masih terlihat ketakutan, diam-diam seulas senyum tersungging di bibirnya, tanpa ia sadari.
Melihat Lara seperti itu, mengingatkan dirinya sewaktu Lara masih kecil, nggak jarang Lara memegang pergelangan tangannya erat, saat menyeberang jalan. ”Keenan! Lo bisa nyetir mobil nggak sih?” Lara mengomeli cowok itu sejadi-jadinya. Ia memukul pelan bahu Keenan, hampir aja ia meregang nyawa karenanya. ”Sori, Ra. Tadi kayaknya ada yang ambil dari arah kiri, gue nggak liat.” Cowok itu berdeham, pandangan matanya memandang tangan Lara yang masih bertumpu padanya.
”Udahan kali pegangannya.” Lara menunduk malu setelahnya, dia tahu betul Keenan bukan cowok yang suka disentuh sembarangan. Cih, dasar jual mahal! Lara mengumpat dalam hati. ”...” Lara membuang wajahnya ke arah lain.bersambung
Vania M Bernadette
Kruuuuuukkkkk! Sebuah suara yang (mungkin) berasal dari perut pria yang sedang menyetir di sebelahnya terdengar begitu jelas, mengundang Lara semakin tertawatawa lebar mendengarnya. ”Lo... laper, Nan?” Cewek itu bertanya setelah tawanya mereda, sementara Keenan sudah memasang muka cemberut, mungkin sebel diketawain Lara segitunya. Tapi cewek itu mengacuhkan wajah cemberut Keenan, dia merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah roti cokelat.
Lara membukakan bungkus roti itu, lalu menyodorkannya pada Keenan. ”Pak dokter, kalo sibuk sih boleh. Tapi jangan sampe lupa makan gitu dong,” ujar cewek itu kemudian. Keenan belum mengambil roti yang masih di genggaman tangan Lara. ”Nih, ambil dong. Pegel nih tangan gue meganginnya,” Lara mulai merongrong protes. ”Gue nggak biasa makan kalo lagi nyetir. Simpen aja deh,” ucap cowok itu menolak.
Cih, ini orang gengsinya selangit banget sih, pikir Lara dalam hati. Lara rupanya nggak membiarkan dokter itu kelaparan, ia menyobek sedikit roti cokelat tersebut lalu memaksa Keenan untuk membuka mulutnya. ”Aa....” Lara memerintahkan Keenan membuka mulutnya, persis banget udah kayak anak TK yang disuapin ibunya.
”Duh, apaan sih lo, Ra. Udah gue bilang...” Slup! Lara iseng memasukkan potongan besar roti tersebut ke mulut Keenan, menyebabkan cowok itu kesulitan berbicara, mau nggak mau dia telan. Lara menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu tersenyum puas menatap ke arah Keenan, ”Daripada lo susah banget disuruh makan, sekalian aja yang gede. Itungitung kan ganjel perut lo dulu, Nan.”
Keenan memilih tak membalas, ia tahu betul ada sesuatu yang menggema di pelupuk hatinya. Dia sendiri pun tak tahu bagaimana menjelaskannya. Pokoknya perasaan itu, melumpuhkan niatnya untuk membantah semua yang dilakukan Lara hari ini. Aneh rasanya, bertahuntahun Keenan mengenal perempuan itu, baru kali ini dia merasa Lara sedikit berbeda dengan cewek-cewek lainnya.
Hanya saja dia belum bisa mendefinisikan apa yang dirasakan ini. Akhirnya Lara malah menyuapi satu per satu, potongan roti untuk Keenan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa sulit untuknya berhenti melakukan semua ini. Rasanya tangannya ini tergerak dan ingin terus melakukannya. Belum sampai di situ saja, ia juga berbaik hati menyodorkan sebotol minum agar cowok itu tak tersedak setelah makan.
Whats wrong with me? Why do I care for him? It feels so hard to stop my hand, feeding him like that... I cant stop doing it, feels like something that I cant argue with my-self. I even dont know what happen with me , pikiran Lara terus meracuni otaknya. Setelah Keenan diberi minum, suasana canggung menyelimuti keduanya. Kerongkongan Lara tiba-tiba menjadi kering, sekering gurun Sahara, sementara batin Keenan terus menginginkan perhatian Lara agar tak berhenti hingga di situ saja.
Keduanya tak bergeming beberapa saat, sampai-sampai Keenan sadar ia hampir saja menabrak sesuatu, hingga mengakibatkan ia harus ngerem mendadak. Lara memejamkan matanya erat-erat, ketakutan karena cara bawa mobil Keenan yang sedikit ngeri. Secara nggak sadar juga, Lara memegang pergelangan tangan Keenan erat-erat saking takutnya. Cowok itu melirik wajah Lara yang masih terlihat ketakutan, diam-diam seulas senyum tersungging di bibirnya, tanpa ia sadari.
Melihat Lara seperti itu, mengingatkan dirinya sewaktu Lara masih kecil, nggak jarang Lara memegang pergelangan tangannya erat, saat menyeberang jalan. ”Keenan! Lo bisa nyetir mobil nggak sih?” Lara mengomeli cowok itu sejadi-jadinya. Ia memukul pelan bahu Keenan, hampir aja ia meregang nyawa karenanya. ”Sori, Ra. Tadi kayaknya ada yang ambil dari arah kiri, gue nggak liat.” Cowok itu berdeham, pandangan matanya memandang tangan Lara yang masih bertumpu padanya.
”Udahan kali pegangannya.” Lara menunduk malu setelahnya, dia tahu betul Keenan bukan cowok yang suka disentuh sembarangan. Cih, dasar jual mahal! Lara mengumpat dalam hati. ”...” Lara membuang wajahnya ke arah lain.bersambung
Vania M Bernadette
(ftr)