Dua Pasang Hati
A
A
A
Yah, emang bener sih, ratarata temen sekantor Lara yang seumur Keenan belum kepikiran nikah, dan lebih konsen soal pekerjaan, meski sebagian kecilnya ada pula yang sudah menikah.
”Tapi, ada juga lho yang sebagian kecilnya udah nikah. Malah, udah punya tiga anak...” ”Ya, kalo itu sih tergantung pilihan hidup mereka. Mungkin, mereka memang sudah matang untuk nikah. Tergantung kedewasaannya mereka gimana.” ”Oh gitu toh, Nan. Padahal menurut gue lo udah cukup mateng buat nikah. Lo udah mapan gitu, kurang apalagi?”
Ditanya mengenai hal itu, tibatiba Keenan menghentikan jalannya, ia berbalik menatap Lara sungguhsungguh, membuat Lara terperanjat pada pandangan Keenan yang tak biasa diberikannya pada gadis itu. Walaupun ia tak mengerti maksud tatapan Keenan, Lara seolah tak berkutik saat cowok itu berhadapan muka dengannya, ada desir-desir aneh yang meliputi hatinya saat ini.
”Nggak nyangka gue, cewek berusia dua puluh enam tahun di samping gue ini...” ”Kenapa?” Lara bertanya dengan tatapan mata penuh harap, semoga Keenan meluncurkan kata-kata yang baik. Wajah Keenan kembali datar, ”Pikirannya cetek banget!” cetusnya sambil mengetuk dahi Lara dengan telunjuknya. Lara menangkisnya, kemudian melotot galak pada Keenan, dan pelan-pelan memukul lengannya.
”Sialan lo, Nan! Nggak pernah deh, ngomong yang baik-baik soal gue,” umpat Lara kesal, bibirnya langsung mengerucut. ”Lagian lo, gitu doang masa nggak ngerti? Tau, kenapa gue bilang mapan itu nggak cukup?” Keenan menatap Lara sungguh-sungguh, lalu meletakkan tangannya di dadanya sendiri. ”Jawaban paling pentingnya itu di sini, keyakinan lo sama pasangan dan diri lo sendiri. Kalo buat gue, sebagai cowok.
Satu, harus yakin soal tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan harus yakin sama calon gue, apakah dia juga udah siap tanggung jawab sebagai istri dan ibu dari anakanak gue,” terang Keenan yang sukses membuat Lara melongo. Bukan karena nggak ngerti dengan ucapannya barusan, tapi kagum seribu persen sama cowok itu. Dewasanya luar binasa! ”Masih nggak ngerti lagi ucapan gue?” gumam Keenan, menyadari cewek itu terdiam setelah mendengar ucapannya.
Lara menggeleng, sehingga Keenan boleh bernafas lega, akhirnya perempuan itu ngerti juga dengan ucapannya. Sesampainya di mobil, Lara dan Keenan saling melempar senyum. Nggak seperti saat dulu mereka bertemu lagi, dua-duanya saling buang muka. Sekarang... coba lihat, malah jadi salah tingkah karena ulah mereka sendiri. Keenan tidak menampik, kalau Lara masih belum berubah dari sifatnya yang lugu dan seperti anakanak.
Tapi, dia juga nggak bisa bilang kalo itu merupakan hal buruk dari sifat Lara. Entah mengapa, semakin Keenan perhatikan, gaya kekanakan Lara itu, menarik sedikit perhatiannya. Keenan teringat saat ketika ia menemani dan menjaga Lara di rumah sakit, pasca insiden terjebaknya Lara di gudang. Gadis itu tampak begitu ketakutan dan merasa kesepian, dan barulah di saat Keenan berjaga di sampingnya, ia terlelap nyenyak.
Sepertinya perempuan di sampingnya ini... membutuhkan sosok pria yang harus tau benar letak kelemahannya- apalagi ini menyangkut kondisi kesehatan Lara. Sungguhlah penting bagi pendamping hidupnya untuk mengerti titik kelemahannya, sehingga membuat Keenan tidak ingin Lara jatuh kepada orang yang salah. ”Ra, gue boleh nanya sesuatu?” ”Oh ya, boleh, dong.
Apa?” Lara tertawa sejenak, ”Lo gitu aja minta ijin, kayak anak murid mau ke toilet aja lo!” Keenan tak menanggapi gurauan Lara, matanya tak lepas dari mata indahnya, ”Lo pernah periksa kenapa lo selalu kayak gitu kalo di tempat gelap?” Lara menggeleng, ”Paling gue asma. Biasa itulah, gue kan punya penyakit asma, lo tau juga.”
Suara gadis itu terdengar santai. ”Ra, asma itu nggak mungkin sampe kayak gitu. Sebenernya... gue tau, apa penyakit lo itu.” Suara Keenan terdengar serius namun khawatir. Alis Lara bertaut, ”Emangnya itu serius banget, Nan?” Cowok itu mengangguk. ”Lo punya gangguan psikis, Ra. Kalo di istilah psikologi, namanya anxiety disorder , istilah kedokterannya, claustrophobia . Pernah googling ?” ”Apa? Claustrophobia ?
Gue nggak pernah denger sebelumnya, Nan. Tapi.. apa penyakit gue ini, bisa diterapi atau disembuhin?” tanya Lara mulai terdengar panik, dia nggak nyangka ketakutan berlebihannya ini bisa mengakibatkan sesuatu yang fatal. (bersambung)
Vania M. Bernadette
”Tapi, ada juga lho yang sebagian kecilnya udah nikah. Malah, udah punya tiga anak...” ”Ya, kalo itu sih tergantung pilihan hidup mereka. Mungkin, mereka memang sudah matang untuk nikah. Tergantung kedewasaannya mereka gimana.” ”Oh gitu toh, Nan. Padahal menurut gue lo udah cukup mateng buat nikah. Lo udah mapan gitu, kurang apalagi?”
Ditanya mengenai hal itu, tibatiba Keenan menghentikan jalannya, ia berbalik menatap Lara sungguhsungguh, membuat Lara terperanjat pada pandangan Keenan yang tak biasa diberikannya pada gadis itu. Walaupun ia tak mengerti maksud tatapan Keenan, Lara seolah tak berkutik saat cowok itu berhadapan muka dengannya, ada desir-desir aneh yang meliputi hatinya saat ini.
”Nggak nyangka gue, cewek berusia dua puluh enam tahun di samping gue ini...” ”Kenapa?” Lara bertanya dengan tatapan mata penuh harap, semoga Keenan meluncurkan kata-kata yang baik. Wajah Keenan kembali datar, ”Pikirannya cetek banget!” cetusnya sambil mengetuk dahi Lara dengan telunjuknya. Lara menangkisnya, kemudian melotot galak pada Keenan, dan pelan-pelan memukul lengannya.
”Sialan lo, Nan! Nggak pernah deh, ngomong yang baik-baik soal gue,” umpat Lara kesal, bibirnya langsung mengerucut. ”Lagian lo, gitu doang masa nggak ngerti? Tau, kenapa gue bilang mapan itu nggak cukup?” Keenan menatap Lara sungguh-sungguh, lalu meletakkan tangannya di dadanya sendiri. ”Jawaban paling pentingnya itu di sini, keyakinan lo sama pasangan dan diri lo sendiri. Kalo buat gue, sebagai cowok.
Satu, harus yakin soal tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan harus yakin sama calon gue, apakah dia juga udah siap tanggung jawab sebagai istri dan ibu dari anakanak gue,” terang Keenan yang sukses membuat Lara melongo. Bukan karena nggak ngerti dengan ucapannya barusan, tapi kagum seribu persen sama cowok itu. Dewasanya luar binasa! ”Masih nggak ngerti lagi ucapan gue?” gumam Keenan, menyadari cewek itu terdiam setelah mendengar ucapannya.
Lara menggeleng, sehingga Keenan boleh bernafas lega, akhirnya perempuan itu ngerti juga dengan ucapannya. Sesampainya di mobil, Lara dan Keenan saling melempar senyum. Nggak seperti saat dulu mereka bertemu lagi, dua-duanya saling buang muka. Sekarang... coba lihat, malah jadi salah tingkah karena ulah mereka sendiri. Keenan tidak menampik, kalau Lara masih belum berubah dari sifatnya yang lugu dan seperti anakanak.
Tapi, dia juga nggak bisa bilang kalo itu merupakan hal buruk dari sifat Lara. Entah mengapa, semakin Keenan perhatikan, gaya kekanakan Lara itu, menarik sedikit perhatiannya. Keenan teringat saat ketika ia menemani dan menjaga Lara di rumah sakit, pasca insiden terjebaknya Lara di gudang. Gadis itu tampak begitu ketakutan dan merasa kesepian, dan barulah di saat Keenan berjaga di sampingnya, ia terlelap nyenyak.
Sepertinya perempuan di sampingnya ini... membutuhkan sosok pria yang harus tau benar letak kelemahannya- apalagi ini menyangkut kondisi kesehatan Lara. Sungguhlah penting bagi pendamping hidupnya untuk mengerti titik kelemahannya, sehingga membuat Keenan tidak ingin Lara jatuh kepada orang yang salah. ”Ra, gue boleh nanya sesuatu?” ”Oh ya, boleh, dong.
Apa?” Lara tertawa sejenak, ”Lo gitu aja minta ijin, kayak anak murid mau ke toilet aja lo!” Keenan tak menanggapi gurauan Lara, matanya tak lepas dari mata indahnya, ”Lo pernah periksa kenapa lo selalu kayak gitu kalo di tempat gelap?” Lara menggeleng, ”Paling gue asma. Biasa itulah, gue kan punya penyakit asma, lo tau juga.”
Suara gadis itu terdengar santai. ”Ra, asma itu nggak mungkin sampe kayak gitu. Sebenernya... gue tau, apa penyakit lo itu.” Suara Keenan terdengar serius namun khawatir. Alis Lara bertaut, ”Emangnya itu serius banget, Nan?” Cowok itu mengangguk. ”Lo punya gangguan psikis, Ra. Kalo di istilah psikologi, namanya anxiety disorder , istilah kedokterannya, claustrophobia . Pernah googling ?” ”Apa? Claustrophobia ?
Gue nggak pernah denger sebelumnya, Nan. Tapi.. apa penyakit gue ini, bisa diterapi atau disembuhin?” tanya Lara mulai terdengar panik, dia nggak nyangka ketakutan berlebihannya ini bisa mengakibatkan sesuatu yang fatal. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)