Dua Pasang Hati
A
A
A
”Bisa diterapi, dan perlahanlahan bisa sembuh. Yang penting lo jangan gampang panik. Selalu pastiin batere handphone lo penuh, di manapun lo berada, kalo misalnya lo ngerasa kayak waktu itu, telpon gue aja, pasti gue langsung kesana,” ucap cowok itu sambil menoleh ke arahnya.
Sebelas
”Nan, berhenti bentar, deh,” pinta Lara tiba-tiba. Keenan terkejut mendengarnya, sampai-sampai ia tak sengaja ngerem mendadak lagi. ”Kenapa?” tanya cowok itu kebingungan. Ia keheranan mengamati Lara yang menyalakan lampu mobilnya, lalu merogoh tas besar berwarna nude itu. ”Ada yang ketinggalan?” tanya Keenan lagi. Tapi tetap saja Lara menghiraukan pertanyaan Keenan, ia tetap fokus mencari sesuatu dalam tasnya itu.
Hingga akhirnya, ketika Lara telah menemukannya, cowok itu cuma bisa menggelengkan kepalanya lalu bernapas lega. ”Lo itu ya, gue kira handphone atau benda penting lo yang ketinggalan, taunya cuma handuk kecil doang, ntar kan bisa dicari. Nggak tahu ya kalo ini udah malem? Ntar kalo kemaleman lo ngom...” Kalimat Keenan terhenti seketika, saat Lara dengan lembutnya membelai ujung bibir cowok itu dengan handuk kecil yang baru saja dibasahi sedikit air minum.
Ulah Lara itu sukses membungkam omelan panjang lebarnya, kedua mata Keenan tak bisa terlepas dari sepasang mata bulat milik Lara. Wajah perempuan itu begitu manis, samar-samar disinari oleh lampu mobil miliknya. Lara begitu telaten membersihkan darah yang mulai mengering di ujung bibir Keenan. ”Pak Dokter yang bacotnya nggak keruan, kalo luka lo nggak cepet dibersihin yang ada bisa infeksi. Ngerti? Katanya lo dokter, ngurus beginian aja nggak...”
Keenan tiba-tiba saja lepas kendali, cowok itu menghadiahkan ciuman lembut di bibir Lara. Entah apa yang dipikirkan Keenan saat itu, ia sudah tidak bisa menahan rasa gemasnya pada bibir merah muda milik perempuan itu, seolah di setiap kata-kata yang diucapkannya, begitu mencuri perhatian laki-laki itu. Sementara Lara juga tidak bisa menolak hadiah kecil dari Keenan, yang begitu mengejutkan.
Seolah semua tubuhnya lemas dan ikut tertarik pada kejantanan lakilaki yang sembilan tahun lalu mengombangambing perasaannya. Lara tidak lagi menaruh amarah pada Keenan, yang ada sekarang, Lara merasa semua sentuhan yang diberikan Keenan padanya, begitu sulit untuk dilepaskannya. Seluruh tubuhnya, meronta-ronta untuk merasakannya lagi.
Lima menit setelah bibir mereka bertaut, keduanya kompak memalingkan wajah. ”Maaf, gue keterusan, Ra. Nggak seharusnya...” ucap cowok itu sambil terus memalingkan wajahnya. ”Ng... lagian lo nyosor aja, sih..” Lara juga kehabisan kata-kata, setelah cowok itu menciumnya mendadak. Keduanya kembali kehilangan kata-kata, masing-masing sibuk menyembunyikan rasa malunya.
Keenan mengelus-elus ujung bibirnya yang terasa kering setelah diusap oleh air, sementara Lara memilih menyibukkan dirinya dengan fokus pada handphone -nya. Padahal, sebenarnya kerongkongan Lara mendadak kering kerontang, setelah Keenan menciumnya seperti tadi.
”Thanks ya, udah bersihin luka gue,” ucap cowok itu tanpa menoleh ke Lara. Gila, bisa banget nih cowok, setelah merawanin bibir gue, malah jadi cuek bin canggung gitu. Lucu juga.... Pikir Lara diam-diam. Wajah Keenan terlihat mengeras, seolah menutupi rasa canggungnya pada Lara. Gadis itu hanya bisa tersenyum diam-diam, dia tak menyangka, Keenan ternyata seperti ini.
Beda banget dengan sembilan tahun lalu, saat Lara nggak sengaja memergoki Feli menciumnya, cowok itu malah menyambutnya dengan pelukan hangat. Meskipun sikapnya sangat berbeda, tapi enggak tahu kenapa Lara malah lebih suka sisi Keenan yang seperti ini. Baginya sangat seksi, ketika dia tahu seorang cowok yang habis menciumnya kehabisan kata-kata untuk mengobrol dengannya.
Seolah, Lara sudah memperoleh kemenangan, karena telah membuat Keenan tak berkutik setelahnya. Lara memegangi bibirnya, tak percaya. Selanjutnya dia bergumam dalam hati, bibir gue seksi banget dong, kalo sampe si Keenan kehabisan kata-kata begitu?
”Nan, muka lo nggak usah tegang gitu kali, kayak abis nyium setan aja. Gue kan cewek,” canda Lara agar suasananya lebih mencair. Tapi kayaknya bapak dokter di samping Lara ini, masih begitu canggung, mungkin dia nggak enak, kali ya. ”Ra, sori ya, gue keterusan. Lo nggak marah kan?” tanya Keenan hati-hati. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Sebelas
”Nan, berhenti bentar, deh,” pinta Lara tiba-tiba. Keenan terkejut mendengarnya, sampai-sampai ia tak sengaja ngerem mendadak lagi. ”Kenapa?” tanya cowok itu kebingungan. Ia keheranan mengamati Lara yang menyalakan lampu mobilnya, lalu merogoh tas besar berwarna nude itu. ”Ada yang ketinggalan?” tanya Keenan lagi. Tapi tetap saja Lara menghiraukan pertanyaan Keenan, ia tetap fokus mencari sesuatu dalam tasnya itu.
Hingga akhirnya, ketika Lara telah menemukannya, cowok itu cuma bisa menggelengkan kepalanya lalu bernapas lega. ”Lo itu ya, gue kira handphone atau benda penting lo yang ketinggalan, taunya cuma handuk kecil doang, ntar kan bisa dicari. Nggak tahu ya kalo ini udah malem? Ntar kalo kemaleman lo ngom...” Kalimat Keenan terhenti seketika, saat Lara dengan lembutnya membelai ujung bibir cowok itu dengan handuk kecil yang baru saja dibasahi sedikit air minum.
Ulah Lara itu sukses membungkam omelan panjang lebarnya, kedua mata Keenan tak bisa terlepas dari sepasang mata bulat milik Lara. Wajah perempuan itu begitu manis, samar-samar disinari oleh lampu mobil miliknya. Lara begitu telaten membersihkan darah yang mulai mengering di ujung bibir Keenan. ”Pak Dokter yang bacotnya nggak keruan, kalo luka lo nggak cepet dibersihin yang ada bisa infeksi. Ngerti? Katanya lo dokter, ngurus beginian aja nggak...”
Keenan tiba-tiba saja lepas kendali, cowok itu menghadiahkan ciuman lembut di bibir Lara. Entah apa yang dipikirkan Keenan saat itu, ia sudah tidak bisa menahan rasa gemasnya pada bibir merah muda milik perempuan itu, seolah di setiap kata-kata yang diucapkannya, begitu mencuri perhatian laki-laki itu. Sementara Lara juga tidak bisa menolak hadiah kecil dari Keenan, yang begitu mengejutkan.
Seolah semua tubuhnya lemas dan ikut tertarik pada kejantanan lakilaki yang sembilan tahun lalu mengombangambing perasaannya. Lara tidak lagi menaruh amarah pada Keenan, yang ada sekarang, Lara merasa semua sentuhan yang diberikan Keenan padanya, begitu sulit untuk dilepaskannya. Seluruh tubuhnya, meronta-ronta untuk merasakannya lagi.
Lima menit setelah bibir mereka bertaut, keduanya kompak memalingkan wajah. ”Maaf, gue keterusan, Ra. Nggak seharusnya...” ucap cowok itu sambil terus memalingkan wajahnya. ”Ng... lagian lo nyosor aja, sih..” Lara juga kehabisan kata-kata, setelah cowok itu menciumnya mendadak. Keduanya kembali kehilangan kata-kata, masing-masing sibuk menyembunyikan rasa malunya.
Keenan mengelus-elus ujung bibirnya yang terasa kering setelah diusap oleh air, sementara Lara memilih menyibukkan dirinya dengan fokus pada handphone -nya. Padahal, sebenarnya kerongkongan Lara mendadak kering kerontang, setelah Keenan menciumnya seperti tadi.
”Thanks ya, udah bersihin luka gue,” ucap cowok itu tanpa menoleh ke Lara. Gila, bisa banget nih cowok, setelah merawanin bibir gue, malah jadi cuek bin canggung gitu. Lucu juga.... Pikir Lara diam-diam. Wajah Keenan terlihat mengeras, seolah menutupi rasa canggungnya pada Lara. Gadis itu hanya bisa tersenyum diam-diam, dia tak menyangka, Keenan ternyata seperti ini.
Beda banget dengan sembilan tahun lalu, saat Lara nggak sengaja memergoki Feli menciumnya, cowok itu malah menyambutnya dengan pelukan hangat. Meskipun sikapnya sangat berbeda, tapi enggak tahu kenapa Lara malah lebih suka sisi Keenan yang seperti ini. Baginya sangat seksi, ketika dia tahu seorang cowok yang habis menciumnya kehabisan kata-kata untuk mengobrol dengannya.
Seolah, Lara sudah memperoleh kemenangan, karena telah membuat Keenan tak berkutik setelahnya. Lara memegangi bibirnya, tak percaya. Selanjutnya dia bergumam dalam hati, bibir gue seksi banget dong, kalo sampe si Keenan kehabisan kata-kata begitu?
”Nan, muka lo nggak usah tegang gitu kali, kayak abis nyium setan aja. Gue kan cewek,” canda Lara agar suasananya lebih mencair. Tapi kayaknya bapak dokter di samping Lara ini, masih begitu canggung, mungkin dia nggak enak, kali ya. ”Ra, sori ya, gue keterusan. Lo nggak marah kan?” tanya Keenan hati-hati. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)