Dua Pasang Hati
A
A
A
Sementara rekan yang dipanggilnya itu tak sama sekali mendengarkannya. Tapi pria itu tak mau menyerah, dia mengejar rekannya. ”Apa?” sahut rekannya dingin. ”Jangan ganggu Lara,” balas cowok itu tak kalah sengit.
Namun rekannya tersenyum penuh kemenangan, ia mengusap-usap pundak kiri cowok itu, ”Kenapa? Shes so weak, too damn weak .” Tatapan sinis cowok itu mulai membangkitkan emosi dalam diri dokter tampan tersebut. ”Jangan tantang gue.” ”Nantang?” desis cowok itu. ”Mau tau sesuatu?” Dokter itu memandang rekannya tajam, ”Apa?” ”Your choice, is the one who I love.
Im not in love with her friend ,” bisiknya di telinga cowok itu. Dokter tampan itu sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, ia hampir saja melayangkan tonjokannya kembali. Untung saja ada dokter lain yang menahan dua sekawan itu. ”Di, kenapa lo jadi begini sih?! Lo tahu, Echa jauh lebih mencintai lo dari Lara.”
”Oh... ckckck, sembilan tahun lalu, kemana aja lo? Sibuk gonta-ganti cewek? IYA?!” serang dokter bedah jantung dengan badge Dr. Ardio Tanata Keenan lepas kendali, tangannya sudah melayangkan pukulannya ke wajah cowok itu. ”Sampe lo berani sentuh Lara, lo abis sama gue!” Ardio bangkit berdiri, ”Pengecut.
Lo pikir gue takut sama ancaman lo?” ”Dokter, udah, Dok! Jangan berantem di sini!” teriak Dokter Handi dari bagian IGD. Ia akhirnya menghela nafas, lega. Keduanya berhasil dipisahkan, dan kembali ke ruangannya masing-masing. Keenan membanting sebuah piring bertuliskan Sydney Australia pemberian Ardio, beberapa tahun lalu, ketika ia masih fellowship di sana.
Ia tidak lagi memikirkan rasa sakit yang kembali menyerangnya di ujung bibir, meski ada sedikit darah segar yang mengalir keluar. Cowok itu membenamkan wajahnya dengan telapak tangan. Kekesalan di hatinya sudah tak terbendung lagi, dia begitu marah pada sahabatnya itu. Mengapa cowok itu baru mengakuinya sekarang? Kenapa bukan dari sembilan tahun lalu?
Meski Keenan sempat curiga tentang Ardio, yang merencanakan sesuatu di balik ini semua... tapi, entah mengapa ucapan Ardio itu kini jadi bumerang bagi dirinya sendiri. Pengecut? Ia masih mengingat tajamnya kata-kata Ardio memanggilnya seperti itu. Am I really a loser ? Ia memikirkannya baik-baik. Lagi-lagi, Lara-lah yang menyebabkan dirinya seperti ini.
Keenan tidak habis pikir, berapa banyak waktunya yang tersita untuk mengurusi Lara, meski cewek itu menolak Keenan mencampuri urusannya. Namun, tanpa ia sadari, gadis itu sudah mengikat dan menariknya dalam berbagai masalah yang tidak ada hubungan dengan dirinya. Entah apakah dia harus marah pada Lara atau bahkan dirinya sendiri. ”Dasar...” Keenan kehabisan katakata mengumpat pada Lara.
Tok! Tok! ”Masuk,” Keenan mempersilakan. Ratna melongokkan kepalanya dari balik pintu. Wanita itu tersenyum padanya. Keenan hanya memberikan tatapan datar pada perempuan itu. ”Ada apa sebenernya antara Dokter Ardio dan Dokter Keenan?” Ratna bertanya tanpa basa-basi.
”Bukan apa-apa. Cuma salah paham aja,” cowok itu berkata sambil melepaskan jas putih dan menggulung lengannya. Tiba-tiba saja Ratna tersadar akan sesuatu, jam tangan. Ke mana jam tangan yang biasa melingkar di lengan Keenan? ”Biasanya pake jam tangan, Dok. Kok...” ”Jam tangan saya ketinggalan di rumah. Kenapa?” tanya cowok itu dingin. ”Oh..Ng.. nggak apa-apa.”
Cowok itu memandang Ratna datar, ”Ke sini cuma nanya itu aja?” ”Ng.... saya mau bersihin memar di wajah Dokter,” ucap perempuan itu jujur. Ia menarik kursinya lalu mengambil handuk kecil dari tasnya. Keenan teringat akan Lara yang beberapa waktu lalu juga melakukan hal yang sama untuknya.
Ratna mulai membersihkan wajah Keenan pelan-pelan, namun dengan cepat Keenan menghadangnya. ”Saya bisa bersihin sendiri. Cuma luka kecil, dikasih sedikit alkohol juga udah sembuh,” tatap cowok itu dingin. ”Dokter Keenan, apa sekarang Dokter udah punya pacar?” tanya Ratna sambil memandang sudut mata cowok itu dengan lembut.
Keenan merasa aneh saat mendengar pertanyaan Ratna, nggak biasanya perempuan itu menyinggung hal-hal seperti ini. ”Dok, sepertinya jam istirahat udah abis. Silakan balik ke ruangan Dokter,” Keenan mengalihkan pembicaraan. Namun Ratna tidak sama sekali beranjak dari tempat duduknya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Namun rekannya tersenyum penuh kemenangan, ia mengusap-usap pundak kiri cowok itu, ”Kenapa? Shes so weak, too damn weak .” Tatapan sinis cowok itu mulai membangkitkan emosi dalam diri dokter tampan tersebut. ”Jangan tantang gue.” ”Nantang?” desis cowok itu. ”Mau tau sesuatu?” Dokter itu memandang rekannya tajam, ”Apa?” ”Your choice, is the one who I love.
Im not in love with her friend ,” bisiknya di telinga cowok itu. Dokter tampan itu sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, ia hampir saja melayangkan tonjokannya kembali. Untung saja ada dokter lain yang menahan dua sekawan itu. ”Di, kenapa lo jadi begini sih?! Lo tahu, Echa jauh lebih mencintai lo dari Lara.”
”Oh... ckckck, sembilan tahun lalu, kemana aja lo? Sibuk gonta-ganti cewek? IYA?!” serang dokter bedah jantung dengan badge Dr. Ardio Tanata Keenan lepas kendali, tangannya sudah melayangkan pukulannya ke wajah cowok itu. ”Sampe lo berani sentuh Lara, lo abis sama gue!” Ardio bangkit berdiri, ”Pengecut.
Lo pikir gue takut sama ancaman lo?” ”Dokter, udah, Dok! Jangan berantem di sini!” teriak Dokter Handi dari bagian IGD. Ia akhirnya menghela nafas, lega. Keduanya berhasil dipisahkan, dan kembali ke ruangannya masing-masing. Keenan membanting sebuah piring bertuliskan Sydney Australia pemberian Ardio, beberapa tahun lalu, ketika ia masih fellowship di sana.
Ia tidak lagi memikirkan rasa sakit yang kembali menyerangnya di ujung bibir, meski ada sedikit darah segar yang mengalir keluar. Cowok itu membenamkan wajahnya dengan telapak tangan. Kekesalan di hatinya sudah tak terbendung lagi, dia begitu marah pada sahabatnya itu. Mengapa cowok itu baru mengakuinya sekarang? Kenapa bukan dari sembilan tahun lalu?
Meski Keenan sempat curiga tentang Ardio, yang merencanakan sesuatu di balik ini semua... tapi, entah mengapa ucapan Ardio itu kini jadi bumerang bagi dirinya sendiri. Pengecut? Ia masih mengingat tajamnya kata-kata Ardio memanggilnya seperti itu. Am I really a loser ? Ia memikirkannya baik-baik. Lagi-lagi, Lara-lah yang menyebabkan dirinya seperti ini.
Keenan tidak habis pikir, berapa banyak waktunya yang tersita untuk mengurusi Lara, meski cewek itu menolak Keenan mencampuri urusannya. Namun, tanpa ia sadari, gadis itu sudah mengikat dan menariknya dalam berbagai masalah yang tidak ada hubungan dengan dirinya. Entah apakah dia harus marah pada Lara atau bahkan dirinya sendiri. ”Dasar...” Keenan kehabisan katakata mengumpat pada Lara.
Tok! Tok! ”Masuk,” Keenan mempersilakan. Ratna melongokkan kepalanya dari balik pintu. Wanita itu tersenyum padanya. Keenan hanya memberikan tatapan datar pada perempuan itu. ”Ada apa sebenernya antara Dokter Ardio dan Dokter Keenan?” Ratna bertanya tanpa basa-basi.
”Bukan apa-apa. Cuma salah paham aja,” cowok itu berkata sambil melepaskan jas putih dan menggulung lengannya. Tiba-tiba saja Ratna tersadar akan sesuatu, jam tangan. Ke mana jam tangan yang biasa melingkar di lengan Keenan? ”Biasanya pake jam tangan, Dok. Kok...” ”Jam tangan saya ketinggalan di rumah. Kenapa?” tanya cowok itu dingin. ”Oh..Ng.. nggak apa-apa.”
Cowok itu memandang Ratna datar, ”Ke sini cuma nanya itu aja?” ”Ng.... saya mau bersihin memar di wajah Dokter,” ucap perempuan itu jujur. Ia menarik kursinya lalu mengambil handuk kecil dari tasnya. Keenan teringat akan Lara yang beberapa waktu lalu juga melakukan hal yang sama untuknya.
Ratna mulai membersihkan wajah Keenan pelan-pelan, namun dengan cepat Keenan menghadangnya. ”Saya bisa bersihin sendiri. Cuma luka kecil, dikasih sedikit alkohol juga udah sembuh,” tatap cowok itu dingin. ”Dokter Keenan, apa sekarang Dokter udah punya pacar?” tanya Ratna sambil memandang sudut mata cowok itu dengan lembut.
Keenan merasa aneh saat mendengar pertanyaan Ratna, nggak biasanya perempuan itu menyinggung hal-hal seperti ini. ”Dok, sepertinya jam istirahat udah abis. Silakan balik ke ruangan Dokter,” Keenan mengalihkan pembicaraan. Namun Ratna tidak sama sekali beranjak dari tempat duduknya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)