Dua Pasang Hati

Kamis, 16 Juli 2015 - 13:24 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
”Hmm gitu, bagus deh... Oh ya, Ra. Gue boleh nanya sesuatu yang pribadi banget nggak?” ”Bolehlah, nanya aja. Kenapa harus ngijin segala? Hahaha...” ”Lo punya... pacar?”

Lara hampir saja tersedak saat suara berat cowok itu tiba-tiba saja terdengar serius, disertai pandangan mata hangat yang diberinya. ”Belum. Gue masih pengen nyari duit,” jawab Lara. Gavin mengamati nada bicara cewek itu yang terdengar sedikit dingin, berbeda dari nada ramah yang sebelumnya diucapkannya.

”Oh.. Gue penasaran aja. Bukan maksud apa-apa sih, biasa cewek umur se-lo itu...” ”Nikah.. punya anak dua... lagi hamil anak ketiga, di rumah ngurusin suami sama anak-anak?” jawab Lara seenaknya, lalu tertawa-tawa. Gavin sedikit terkejut mendengar jawaban frontal dari perempuan cantik itu, seolah setiap kata-kata yang terucap terdengar begitu jujur dan sesuai apa yang dipikirkan Gavin.

”O-oh, ahaha...” ”Gue aja masih punya impian yang lain, belum punya waktu mikirin lakilaki, apalagi nikah.” ”Ouh.. dingin juga lo ya jadi perempuan... Impian apa kalo gue boleh tahu?” ”Buat bisnis sendiri, buka perusahaan interior design dengan label nama gue. ARDENIA INTERIOR DESIGN keren kan?” Senyum bangga terulas di bibirnya.

”Boleh... Ardenia... nama lo unik juga ya?” Lara tersipu, ”Ardenia itu artinya taman yang indah dan menyenangkan hati semua orang. Namanya dari bokap gue. Ya unik sih, abis katanya dari filosofi garden,” cerocos Lara panjang-lebar. ”Oh ya? Waaah, bokap lo keren banget ya. Apa beliau tinggal di sini?” Lara menggeleng, raut wajahnya berubah sedikit murung, ”Bokap gue di Manado.”

”Oh... sama nyokap disana juga?” Lara menggeleng, lalu berusaha tersenyum, ”Nyokap gue nggak tahu kemana, Vin. Pergi dari rumah gitu aja.” Cowok itu tak tahu harus merespon apa, kali ini ia merasa benar-benar bersalah, karena telah mengungkit masa lalu Lara yang ternyata lebih pahit darinya. Lara tersenyum tiba-tiba, ”Nggak usah ngerasa bersalah gitu, Vin.

Gue bisa terima semuanya kok. Gue masih punya...” ”Lo punya gue, Ra. Kalo lagi sedih-sedih, jangan malu cerita apapun ke gue. Ok?” potong cowok itu tanpa ragu. Kedua binar mata Gavin memancarkan ketulusan yang tak pernah ditemukan Lara dari siapapun. Sejujurnya Lara kaget sih, ketika mendengar Gavin menyatakan kesungguhannya.

Siapa sih yang bisa nolak, pas cowok seganteng Gavin berbicara seperti itu? Lara tidak mau ke-ge-eran dulu, dia yakin cowok ini pasti bermaksud berteman baik dengannya. Lagipula, mereka kan baru bertemu beberapa hari... nggak mungkin kan...? ”Ra, gue tahu sih ini cepet banget... Cuma...” Cowok itu tiba-tiba menggenggam tangannya. Lara memandang tak percaya laki-laki itu.

”Cuma... gue seneng aja bisa kenal sama lo. Biarpun lebih tua dari gue, lo asik juga anaknya. Hehehehe...” ucap cowok itu sambil memasang muka jahilnya. Wajah Lara merona merah seketika, malu karena cowok itu berhasil mempermalukannya. Padahal Lara berpikir cowok itu benerbener mau nembak dia sekarang!

Hei, dia mirip seseorang ya... Suara hati itu kembali mengingatkan Lara pada satu pria. Dengan cepat Lara melepaskan genggaman tangannya dari cowok itu, menutupi rasa canggungnya. Gavin memerhatikan wajah Lara yang tibatiba menampilkan sisi malu-malu di hadapannya, membuatnya mencubit gemas pipi Lara lalu mengacak-acak rambutnya.

”Oi, udah gue catok nih tadi pagi!” omel Lara berpura-pura sebal, yang malah ditanggapi dengan senyum simpul dari si tampan ini. ”Udahlah, yuk balik kantor. Abis nih jam makan siang, buat ngerjain lo doang,” ujar Gavin seraya merangkul tubuh mungil Lara santai. Rangkulan santai yang diberikan cowok itu, melumpuhkan niat Lara untuk menepisnya.

Entah mengapa... Gavin memberikan sisi kenyamanan yang berbeda dari cowok manapun. Meski kadang Lara kurang bisa menebak maksud dari gestur cowok itu, namun Lara tetap merasa bahagia saat cowok ini berada di sampingnya. Siang itu menjadi pemandangan langka bagi para dokter, perawat dan pasien-pasien di RS Harapan Bangsa.

Bukan hanya itu, pemandangan langka ini sekaligus mematahkan hatihati wanita yang penuh harap pada seorang dokter kandungan tertampan se-rumah sakit itu. Mereka semua memandang iri dan sebal pada dokter cantik yang mengamit lengan pria tegap di sampingnya. ”Pagi Dokter Ratna, Dokter Keenan,” sapa seorang beberapa perawat sambil memandang iri pada mereka berdua. (bersambung)

OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6377 seconds (0.1#10.140)