Dua Pasang Hati
A
A
A
Meskipun cara tidurnya termasuk unik, dibanding dengan perempuan lain, tetap saja pria itu tak bisa menepis ingatannya saat beberapa waktu lalu ia lepas kendali dan mencium bibir gadis itu tiba-tiba.
Seluruh sel darah dan organ tubuh pria itu, seolah terhenti ketika pikirannya kembali mengingatkannya akan hal itu. Ia tidak bisa mengendalikan keinginan hatinya saat melirik jemari indah milik gadis cantik itu, kedua tangannya mendorongnya untuk menggenggam tangannya dan tak berniat untuk melepasnya. Perempuan di sampingnya ini... sebetulnya tidak memiliki paras secantik wanita-wanita yang pernah berada di hatinya.
Meski badannya termasuk proposional, tapi badannya terlalu pendek dan mungil, untuk ukuran cowok bertinggi 186 cm ini. Hampir sembilan tahun mengenal perempuan ini, laki-laki itu sudah mengenal tabiat perempuan yang paling tidak kuat dengan alkohol itu.
Dia... tidak pandai mengurus diri, memasak, melakukan sesuatu selalu terburu-buru, emosian dan keras kepala, tidak begitu pintar, selalu menceburkan dirinya dalam masalah besar, rela berbuat apapun untuk sahabat yang telah menyakitinya, selalu kesepian, dan... entahlah, pria itu kehabisan kata-kata lagi untuk menyebutkan kekurangan yang ada pada diri perempuan itu.
Namun semua kekurangan dalam diri perempuan ini... sepertinya tidak menggugah hati pria ini untuk mengurangi rasa kepeduliannya pada gadis itu. Tetap saja, berulang kali gadis ini berkata, jauhin gue tanpa disadarinya, gadis ini sendiri yang membuat pria itu peduli pada masalahnya.
Entahlah... pria ini enggan menyebutkan alasan apa yang membuatnya tak bisa berhenti peduli pada gadis ini. Lara merelaksasikan otot-ototnya yang pegal karena tadi malam, ia merasa sangat lelah, nggak tahu kenapa. Ketika ia selesai mengulat, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan kasurnya.
Satu, seprainya bukan berwarna biru laut seperti yang dipasangnya; kedua, kasurnya berukuran sedikit lebih besar dibanding di rumahnya; ketiga, ada banyak bantal abu-abu berukuran besar, dan sebuah selimut berwarna sama, menyelimuti tubuh mungilnya. Dan yang paling terakhir....
Lara melihat ada sebuah lemari berpintu cermin yang terhubung langsung dengan dinding. Wait... Lara juga merasa aneh dengan pakaiannya yang sepertinya kedodoran dan tak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Bukan cuma itu, Lara juga menemukan sebuah jas hitam dan kemeja putih di dalamnya, tergantung manis pada tiang tinggi dari kayu.
Lho... Lara tiba-tiba tersadar sesuatu, tempat ini bukanlah rumahnya! Lalu sekarang dia dimana dong? Di rumah sakit? Nggak mungkin! Ia memerhatikan tangannya tidak ditusuk dengan jarum-jarum menyakitkan seperti waktu itu. Terus... apa jangan-jangan, dia diculik? Lara langsung melompat dari kasur si pemilik kamar ini.
Semua perabotan di rumah ini terlihat begitu mewah dan mahal. Banyak pernak-pernik yang berlapiskan emas terpampang di mana-mana. Perasaan getir menghantui benak Lara, janganjangan tadi malem... Ardiosengaja ngasih gue minum itu, dan nyulik gue ke sini?
Bajingan! Lara mengumpat kesal dalam hati. Ia pun berjinjit pelanpelan, menuju pintu luar kamar besar nan mewah dari rumah ini. Dengan terburu-buru, gadis itu mengambil pakaiannya yang sudah dilipat dengan rapih oleh si pemilik rumah ini. Lara tersenyum penuh harap. Ia merasa dirinya sekarang mirip banget sama Belle, Disney Princess nan cantik jelita, yang dalam semalam tidur di istana Beast, si pangeran buruk rupa yang baik hati.
Namun khayalan anak-anak Lara terhenti mendadak, dikala ia membuka pintu kamar si pemilik ini dan menemukan seorang pria bertubuh atletis yang indah, dengan otot-otot bisep yang melengkung indah di lengannya. Pria itu hanya mengenakan handuk yang menaungi pinggul rampingnya, dan kaki jenjang berbulu milik pria itu sukses membuat kerongkongan Lara tercekat hebat.
Ardio...dalemnya kayak gini, duh Cha, maapin gue... maapin Lara berkata dalam hati. Gadis itu menoleh ke arah pria atletis itu dan... ”Kee...Nan?” Lara tergagap setelah mengetahui siapa pria itu. Seperti biasa cowok itu hanya memandangnya dingin dan lurus, tanpa berucap apapun. Lara melempar bantal putih di sofa Keenan segera, hingga mengenai kepala dan tubuh cowok itu beberapa kali.
Pria bertubuh tegap itu mendekati Lara lalu menahan tangannya kuat-kuat, sebelum ia kembali menyerang cowok itu. Sebuah tamparan melayang begitu mulus ke pipi Keenan. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Seluruh sel darah dan organ tubuh pria itu, seolah terhenti ketika pikirannya kembali mengingatkannya akan hal itu. Ia tidak bisa mengendalikan keinginan hatinya saat melirik jemari indah milik gadis cantik itu, kedua tangannya mendorongnya untuk menggenggam tangannya dan tak berniat untuk melepasnya. Perempuan di sampingnya ini... sebetulnya tidak memiliki paras secantik wanita-wanita yang pernah berada di hatinya.
Meski badannya termasuk proposional, tapi badannya terlalu pendek dan mungil, untuk ukuran cowok bertinggi 186 cm ini. Hampir sembilan tahun mengenal perempuan ini, laki-laki itu sudah mengenal tabiat perempuan yang paling tidak kuat dengan alkohol itu.
Dia... tidak pandai mengurus diri, memasak, melakukan sesuatu selalu terburu-buru, emosian dan keras kepala, tidak begitu pintar, selalu menceburkan dirinya dalam masalah besar, rela berbuat apapun untuk sahabat yang telah menyakitinya, selalu kesepian, dan... entahlah, pria itu kehabisan kata-kata lagi untuk menyebutkan kekurangan yang ada pada diri perempuan itu.
Namun semua kekurangan dalam diri perempuan ini... sepertinya tidak menggugah hati pria ini untuk mengurangi rasa kepeduliannya pada gadis itu. Tetap saja, berulang kali gadis ini berkata, jauhin gue tanpa disadarinya, gadis ini sendiri yang membuat pria itu peduli pada masalahnya.
Entahlah... pria ini enggan menyebutkan alasan apa yang membuatnya tak bisa berhenti peduli pada gadis ini. Lara merelaksasikan otot-ototnya yang pegal karena tadi malam, ia merasa sangat lelah, nggak tahu kenapa. Ketika ia selesai mengulat, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan kasurnya.
Satu, seprainya bukan berwarna biru laut seperti yang dipasangnya; kedua, kasurnya berukuran sedikit lebih besar dibanding di rumahnya; ketiga, ada banyak bantal abu-abu berukuran besar, dan sebuah selimut berwarna sama, menyelimuti tubuh mungilnya. Dan yang paling terakhir....
Lara melihat ada sebuah lemari berpintu cermin yang terhubung langsung dengan dinding. Wait... Lara juga merasa aneh dengan pakaiannya yang sepertinya kedodoran dan tak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Bukan cuma itu, Lara juga menemukan sebuah jas hitam dan kemeja putih di dalamnya, tergantung manis pada tiang tinggi dari kayu.
Lho... Lara tiba-tiba tersadar sesuatu, tempat ini bukanlah rumahnya! Lalu sekarang dia dimana dong? Di rumah sakit? Nggak mungkin! Ia memerhatikan tangannya tidak ditusuk dengan jarum-jarum menyakitkan seperti waktu itu. Terus... apa jangan-jangan, dia diculik? Lara langsung melompat dari kasur si pemilik kamar ini.
Semua perabotan di rumah ini terlihat begitu mewah dan mahal. Banyak pernak-pernik yang berlapiskan emas terpampang di mana-mana. Perasaan getir menghantui benak Lara, janganjangan tadi malem... Ardiosengaja ngasih gue minum itu, dan nyulik gue ke sini?
Bajingan! Lara mengumpat kesal dalam hati. Ia pun berjinjit pelanpelan, menuju pintu luar kamar besar nan mewah dari rumah ini. Dengan terburu-buru, gadis itu mengambil pakaiannya yang sudah dilipat dengan rapih oleh si pemilik rumah ini. Lara tersenyum penuh harap. Ia merasa dirinya sekarang mirip banget sama Belle, Disney Princess nan cantik jelita, yang dalam semalam tidur di istana Beast, si pangeran buruk rupa yang baik hati.
Namun khayalan anak-anak Lara terhenti mendadak, dikala ia membuka pintu kamar si pemilik ini dan menemukan seorang pria bertubuh atletis yang indah, dengan otot-otot bisep yang melengkung indah di lengannya. Pria itu hanya mengenakan handuk yang menaungi pinggul rampingnya, dan kaki jenjang berbulu milik pria itu sukses membuat kerongkongan Lara tercekat hebat.
Ardio...dalemnya kayak gini, duh Cha, maapin gue... maapin Lara berkata dalam hati. Gadis itu menoleh ke arah pria atletis itu dan... ”Kee...Nan?” Lara tergagap setelah mengetahui siapa pria itu. Seperti biasa cowok itu hanya memandangnya dingin dan lurus, tanpa berucap apapun. Lara melempar bantal putih di sofa Keenan segera, hingga mengenai kepala dan tubuh cowok itu beberapa kali.
Pria bertubuh tegap itu mendekati Lara lalu menahan tangannya kuat-kuat, sebelum ia kembali menyerang cowok itu. Sebuah tamparan melayang begitu mulus ke pipi Keenan. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)