Dua Pasang Hati

Kamis, 06 Agustus 2015 - 07:39 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
Sementara cowok berkacamata bening itu tak sama sekali mengerti apa yang terjadi pada keduanya, kenapa mereka nampak saling membenci satu dengan yang lain. Apa… mereka pernah kenal sebelumnya?

Batin Gavin bergejolak. “Vin, anu… rumah gue.. kayaknya harus dibersihin. Udah malem, gue mau…” Lara hendak bersiap-siap beranjak dari bangkunya. “Ngapain lo pulang?” Keenan membuka suara, lantang, tegas, dingin. “Kak, apa-apaan sih? Jangan kasar sama dia!” Keenan mengarahkan matanya pada Lara, memberi isyarat untuk duduk di samping Gavin. Lara masih saja enggan, dan tetap mematung di samping Gavin.

Akhirnya Gavin menarik lengan Lara–mengetukkan tangannya di kursi sebelahnya. Dengan wajah sedih nan tak tenang, Lara terpaksa duduk di samping Gavin. Gadis itu memerhatikan wajah Keenan yang tak lagi mengumbar senyum, wajahnya kembali dingin, dan sama sekali tak berkomentar apa-apa pada Gavin yang menceritakan banyak hal soal gadis itu. Sesekali cowok itu menatap mata Lara, tetapi saat Lara membalas tatapannya, dia malah mengalihkan ke arah lain. “Ra, jangan dikit aja makannya. Sini, gue tambahin.” Gavin dengan tulusnya menambahkan sesendok nasi pada piring Lara.

“Gue kenyang, Vin…” cegah Lara cepat. “Hei, lo kenapa sih? Sakit?” Gavin justru menempelkan telapak tangannya pada dahi Lara. Cowok itu begitu khawatir dengan keadaan Lara yang tiba-tiba kehilangan nafsu makannya. Gavin menatap kakaknya galak, seolah menyalahkan Keenan. “Gue udah selesai. Kalian lanjutin aja makannya, berdua.” Cowok itu memandang keduanya sengit, selanjutnya ia bangkit berdiri dari kursinya, lalu hendak pergi meninggalkan Lara dan Gavin berdua.

“Kak, lo jangan gitu dong.. nggak enak sama temen gue,” mohon Gavin pada Keenan. Tapi tetap saja Keenan memilih bungkam dan bersikap dingin pada adiknya itu. Ia bersikeras untuk meninggalkan meja makan. “Urus aja temen lo itu,” balas Keenan tanpa senyum, dia melirik Lara sebentar lalu pergi ke kamarnya. “Ra, gue mau tau.. dari mana kalian berdua bisa kenal?” tanya Gavin, sepeninggal Keenan.

“Gue… sempet kerja di rumah sakit tempat Keenan kerja, beberapa bulan. Gue kenal dia dari situ,” sahut Lara, gadis itu tetap menundukkan kepalanya. Gavin menatap Lara curiga, sepertinya ada yang ditutupi oleh gadis itu mengenai Keenan. “Oh, gitu ya. Maafin kakak gue ya, Ra. Dia emang gitu kalo sama perempuan, selalu dingin. Belum move on dari mantan pacarnya..” Mata Lara balas menatap Gavin sedih, “Mantan pacarnya?” Cowok itu kemudian mengangguk, “Namanya Feli.

Dia cinta banget sama Feli, bahkan mungkin sampe sekarang.” Dada Lara terasa semakin sesak saat mendengar informasi Gavin mengenai perasaan Keenan sebenarnya soal gadis itu. Tampaknya, nggak akan pernah ada harapan bagi Lara untuk merenda hatinya kembali pada cowok itu. Gavin menyeka air mata yang tibatiba saja menggenang di pelupuk mata Lara, “Hey, why are you crying? Gue salah ngomong…?” Gadis itu menolak menjawabnya–ia bangkit dari kursinya, menyambar tasnya lalu berlari keluar dari rumah Gavin dan Keenan.

Dari lantai atas, tatapan mata dingin Keenan berubah sedikit nanar, setelah mengetahui Lara pergi dari rumah begitu saja. Entahlah, kepala Keenan mendadak sakit saat tahu adiknya sepertinya menjalin kedekatan khusus dengan Lara. Ia menghela nafas, lalu membiarkan Gavin mengejar Lara. Malam itu, malam yang mengejutkan buatnya. Terlalu banyak masalah dalam hidup Keenan, sejak ia bertemu kembali dengan Lara.

“Ra! Buka! Ra, please biar gue anter lo pulang. Ok?” Gavin terengahengah mengatur nafas sesaknya, sembari mengetukkan kaca pintu taksi Lara. Namun gadis itu memilih diam dan tak menoleh padanya, ia menyuruh supir taksi itu melaju cepat. Gavin mendesah nafas pasrah, setelah meratapi kepergian Lara dari rumahnya.

Ada banyak pertanyaan yang merongrong di benaknya, kenapa semuanya jadi berantakan, setelah gue bawa Lara ke rumah dan ngenalin dia ke Kak Keenan? Cowok itu mengatupkan mulutnya, berpikir keras mengenai hal yang terjadi barusan.

Ia pun segera masuk ke rumahnya, menaiki anak tangga dengan cepat, kemudian menggedor pintu kamar Keenan. “Apa?” Keenan membuka pintu kamarnya, tatapannya begitu dingin. (bersambung)

Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0702 seconds (0.1#10.140)