Dua Pasang Hati
A
A
A
”Ra, oi! Lo liatin siapa sih? Gavin kan lagi di Semarang. Mesen makanan dulu keles, kasian tuh Mbaknya udah berdiri cantik nungguin lo mesen,” Echa sambil main handphone sempat menyadarkan sahabatnya. ”Chicken Gordon Blue-nya satu ya, Mbak. Sambelnya yang banyak, diolesin di atas chicken-nya,” Lara berucap tanpa melirik si Mbaknya maupun Echa.
Sedangkan sobatnya itu terperangah mendengar pesanan temannya itu, kalau dia lagi nafsu makan pedes gini... biasanya dia... Belum sempat Echa melanjutkan gumamannya dalam hati, dia akhirnya menemukan siapa yang membuat sobatnya ini jadi nafsu makan pedes. Jawabannya cuma satu, siapa lagi kalau bukan... ”Dia adik kamu ya?” tanya sosok yang lagi diperhatikan keduanya.
Sosok itu mengelus rambut anak perempuan berusia kurang lebih satu setengah tahun yang duduk manis di baby chair, pesanan wanita berkulit putih nan bertubuh proporsional yang cantik. Perempuan itu hanya tersenyum memandang sosok pria bertubuh tegap itu, ikut membelai rambut perempuan kecil itu dengan sayang.
Hati siapa sih yang nggak meleleh melihat wanita cantik ini, dia begitu lembut dan keibuan, senyumnya saja masih sehangat dulu, ketika dia masih lumayan muda. ”Nanti aku jelasin ya, Nan.” Tepat setelah perempuan itu berkata, makanan pesanan keduanya disajikan di hadapannya. Pria itu cuma tersenyum kecil, lalu memotong beef tenderloin steaknya pelan-pelan.
Sambil sesekali bermain dengan anak kecil yang juga sedang makan bubur salmon dan wortel, kesukaannya. ”Pa...pa...”gumam Anak kecil itu memikik senang, sesudahnya dia tersenyum bahagia sambil menatap wajah sosok yang duduk di samping wanita cantik itu. Sontak wanita berkulit putih itu mengisyaratkan anak kecil itu untuk membungkam mulutnya dengan menyuapi mulutnya dengan buburnya.
Lara mendadak tersedak, tepat ketika si anak kecil itu memanggil sosok itu dengan sebutan Papa. Ia bergidik geli sekaligus tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya kini. Sembunyisembunyi, sesekali Lara mencoba memasang indra pendengarannya, demi menggali informasi antara sosok pria itu dan wanitanya.
”Ra, itu...bukannya Keenan, ya? Itu dia maksud lo, pacar barunya Keenan?” Echa berbisik-bisik penasaran, selanjutnya ia dengan sengaja memanasmanasi Lara, ”Pantes Keenan doyan, biar janda anak satu masih kenceng gitu mukanya. Ya nggak pa-palah, Keenan juga udah siap jadi bapak, kok.
” Dalam hati ia terkikik, nih anak kalo nggak gue komporin pasti masih nutupin . Alihalih mendengarkan pancingan sobatnya, gadis itu masih sibuk memasang antene telinganya demi mendapatkan buah pembicaraan mereka. ”Jam tangan kamu...mana?” Tiba-tiba wanita itu terperanjat dengan pergelangan kiri Keenan yang kosong dari jam tangan mahal pemberian perempuan itu.
”Hilang, di kamar pasien,” ujar cowok itu mengaku tanpa menoleh pada perempuan itu. ”Adik kamu ini, namanya siapa?” tanya Keenan sambil mengizinkan telunjuk besarnya dimainkan oleh batita mungil di sampingnya. ”Namanya Tatiana Georgiana Patricia Schuger, Nan,” ucap perempuan itu kembali menatap anak kecil yang sejak tadi sibuk bermain dengan Keenan.
”Indo ya? Pantes mukanya agak bule gitu, ya? Bapaknya atau ibunya yang orang luar?” Perempuan itu menghela nafas, memantapkan hatinya untuk bersikap jujur pada pria itu, ”Ibunya orang Indonesia, Nan. Bapaknya orang Belgia.” Dia tersenyum tegar sesudahnya. Tiba-tiba gadis itu merapatkan posisi duduknya, kemudian memandang Keenan sungguh-sungguh, ”Tatiana sebenernya...anakku, Nan.
” Keenan tak dapat menutupi rasa kekejutannya sekaligus sedikit sedih, mendengar penuturan dari bibir tipis wanita keturunan Tionghoa itu. Hanya saja, seperti biasa-Keenan bukanlah tipe lakilaki yang pandai memperlihatkan perasaannya. Wajahnya kembali datar, beberapa detik kemudian. Perempuan cantik itu perlahan menggenggam lembut tangan Keenan, dan tanpa sadar menitihkan air matanya, ”Maafin aku, Nan.
Aku ngecewain dan nyakitin kamu, sampe kamu jadi kayak gini.” Sama seperti Keenan, Lara tidak bisa menyembunyikan rasa kaget bercampur marah dan benci begitu mengetahui siapa sosok yang sekarang duduk bersama pria itu. (bersambung)
Vania m. Bernadette
Sedangkan sobatnya itu terperangah mendengar pesanan temannya itu, kalau dia lagi nafsu makan pedes gini... biasanya dia... Belum sempat Echa melanjutkan gumamannya dalam hati, dia akhirnya menemukan siapa yang membuat sobatnya ini jadi nafsu makan pedes. Jawabannya cuma satu, siapa lagi kalau bukan... ”Dia adik kamu ya?” tanya sosok yang lagi diperhatikan keduanya.
Sosok itu mengelus rambut anak perempuan berusia kurang lebih satu setengah tahun yang duduk manis di baby chair, pesanan wanita berkulit putih nan bertubuh proporsional yang cantik. Perempuan itu hanya tersenyum memandang sosok pria bertubuh tegap itu, ikut membelai rambut perempuan kecil itu dengan sayang.
Hati siapa sih yang nggak meleleh melihat wanita cantik ini, dia begitu lembut dan keibuan, senyumnya saja masih sehangat dulu, ketika dia masih lumayan muda. ”Nanti aku jelasin ya, Nan.” Tepat setelah perempuan itu berkata, makanan pesanan keduanya disajikan di hadapannya. Pria itu cuma tersenyum kecil, lalu memotong beef tenderloin steaknya pelan-pelan.
Sambil sesekali bermain dengan anak kecil yang juga sedang makan bubur salmon dan wortel, kesukaannya. ”Pa...pa...”gumam Anak kecil itu memikik senang, sesudahnya dia tersenyum bahagia sambil menatap wajah sosok yang duduk di samping wanita cantik itu. Sontak wanita berkulit putih itu mengisyaratkan anak kecil itu untuk membungkam mulutnya dengan menyuapi mulutnya dengan buburnya.
Lara mendadak tersedak, tepat ketika si anak kecil itu memanggil sosok itu dengan sebutan Papa. Ia bergidik geli sekaligus tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya kini. Sembunyisembunyi, sesekali Lara mencoba memasang indra pendengarannya, demi menggali informasi antara sosok pria itu dan wanitanya.
”Ra, itu...bukannya Keenan, ya? Itu dia maksud lo, pacar barunya Keenan?” Echa berbisik-bisik penasaran, selanjutnya ia dengan sengaja memanasmanasi Lara, ”Pantes Keenan doyan, biar janda anak satu masih kenceng gitu mukanya. Ya nggak pa-palah, Keenan juga udah siap jadi bapak, kok.
” Dalam hati ia terkikik, nih anak kalo nggak gue komporin pasti masih nutupin . Alihalih mendengarkan pancingan sobatnya, gadis itu masih sibuk memasang antene telinganya demi mendapatkan buah pembicaraan mereka. ”Jam tangan kamu...mana?” Tiba-tiba wanita itu terperanjat dengan pergelangan kiri Keenan yang kosong dari jam tangan mahal pemberian perempuan itu.
”Hilang, di kamar pasien,” ujar cowok itu mengaku tanpa menoleh pada perempuan itu. ”Adik kamu ini, namanya siapa?” tanya Keenan sambil mengizinkan telunjuk besarnya dimainkan oleh batita mungil di sampingnya. ”Namanya Tatiana Georgiana Patricia Schuger, Nan,” ucap perempuan itu kembali menatap anak kecil yang sejak tadi sibuk bermain dengan Keenan.
”Indo ya? Pantes mukanya agak bule gitu, ya? Bapaknya atau ibunya yang orang luar?” Perempuan itu menghela nafas, memantapkan hatinya untuk bersikap jujur pada pria itu, ”Ibunya orang Indonesia, Nan. Bapaknya orang Belgia.” Dia tersenyum tegar sesudahnya. Tiba-tiba gadis itu merapatkan posisi duduknya, kemudian memandang Keenan sungguh-sungguh, ”Tatiana sebenernya...anakku, Nan.
” Keenan tak dapat menutupi rasa kekejutannya sekaligus sedikit sedih, mendengar penuturan dari bibir tipis wanita keturunan Tionghoa itu. Hanya saja, seperti biasa-Keenan bukanlah tipe lakilaki yang pandai memperlihatkan perasaannya. Wajahnya kembali datar, beberapa detik kemudian. Perempuan cantik itu perlahan menggenggam lembut tangan Keenan, dan tanpa sadar menitihkan air matanya, ”Maafin aku, Nan.
Aku ngecewain dan nyakitin kamu, sampe kamu jadi kayak gini.” Sama seperti Keenan, Lara tidak bisa menyembunyikan rasa kaget bercampur marah dan benci begitu mengetahui siapa sosok yang sekarang duduk bersama pria itu. (bersambung)
Vania m. Bernadette
(bbg)