Dua Pasang Hati
A
A
A
“Ckckck...perempuan macem apa lo, jam segini baru bangun?” Desis suara Keenan membuka mata Lara lebar-lebar. Seperti biasa, cowok itu bicara padanya tapi tak menoleh, dia asyik membaca koran plus menyeruput kopinya dengan tangan kiri.
Lara segera merapikan rambut plus ngibrit ke kamar mandi, ketika ia membalikkan badannya, senyum mengembang di bibirnya. Entah mengapa ia merasa senang, begitu Keenan mengomelinya. Pikirannya refleks mengingat ciuman yang mendadak diberikan Keenan padanya. Ardio, Echa dan Gavin menatap Keenan sambil tersenyum padanya.
Cowok itu sama sekali tak sadar, jika sedang diperhatikan ketiganya. Mereka seolah menyimpan satu rahasia besar antara keduanya. Nggak sampai lima menit, Lara sudah mandi dan berpakaian rapi, ia berdiri di samping Gavin yang sedang menyeduh teh baginya. “Buat kamu nih,” katanya tersenyum.
Tetapi jelas mata Lara malah terpaku pada pria yang hari itu memakai pakaian berwarna kuning muda, dengan celana sport selutut plus, kacamata yang selalu bertengger di hidung mancungnya. Lara mengambil segelas tehnya tanpa tau kalo teh itu masih panas.
Rasanya sulit untuk mengontrol pikirannya agar tidak memerhatikan bagian sensual dari Keenan yang tadi malam diberikan padanya. “Lara, sst! Wih, berani banget lo, ada Gavin malah ngelirik abangnya. Cari ribut lo!” bisik Echa, berusaha menyadari sahabatnya. Ia sengaja menyikut lengan Lara sampai ia mengaduh-aduh. “Aduhhh!” pekik Lara terkejut.
Pikirannya langsung bersatu kembali, saat menyadari ia sudah semakin melenceng ke arah yang nggak bener. Padahal menurut Echa, Keenan tampil biasa-biasa aja, lho. Tapi mata Lara malah berpikir ia sangat tampan hari itu. Gavin menarik kursi, kemudian duduk di samping Lara yang tertunduk tak enak hati. Ia sengaja berdeham kecil, menggoda Lara di sampingnya.
Selanjutnya, ia begitu manja pada Lara, meminta gadis itu menyuapkan sepotong roti ke mulutnya. Pemandangan itu sukses mengeringkan kerongkongan Keenan bak di gurun tertandus sejagad raya. Pikirannya menerawang jauh saat Lara melakukan hal yang sama padanya.
Tetapi ia hanya menatapnya tajam, tanpa berucap apaapa. Cowok itu tibatiba bangkit berdiri, kemudian beranjak meninggalkan vila. “Kak! Tunggu, gue mau ngomong sesuatu!” cegat Gavin dari kursinya. “Ikut gue kalo gitu.” Keenan hanya menatap Gavin datar, dan mengacungkan telunjuknya, memberi isyarat agar cowok itu mengikutinya.
“Kalian mau kemana?” Lara tibatiba kepingin tahu. Takut, kalo sampe dua bersaudara itu berantem lagi. “Mens talk , Ra. Kamu di sini aja ya?” ucap Gavin, membalikkan tubuh cewek mungil itu duduk di kursinya. Ia memberi isyarat pada Ardio dan Echa, agar Lara tidak mengikuti mereka.
“Eh, Ra... hari ini kan cerah, temenin gue yuk, main-main ke pantai. Yuk...” Echa menunjukkan gelagat aneh, ia malah bergelayut di lengan Lara. “Ayo, Ra! Sekali-kali, main sama kita juga dong!” Ardio menimpali. Belum sempat Lara menolak, tapi dua bersaudara itu sudah nggak menunjukkan batang hidungnya.
“Gue tadi malem mergokin lo berdua, Kak,” ucap cowok itu tanpa nada dingin sedikit pun. “Sori, gue nggak sengaja,” balas Keenan sedikit merasa bersalah pada adiknya. “Nggak sengaja kata lo? Jelasjelas gue liat, lo narik Lara lebih dulu!” Ia mendesis kesal, “Mana ada kayak gitu nggak sengaja? Lo pikir gue setolol itu?” “Vin, gue tau gue telat. Gue...” “Lo cinta sama Lara dari dulu.
Ya kan?” Gavin mengatup mulut Keenan, sebelum macan itu menyerangnya dengan mulut pedasnya. Keenan tak menjawab, itu artinya... semua jawaban pertanyaan Gavin benar terjawab. Keenan mengangguk pelan. Bukk! Gavin menonjok kakaknya keras.
Amarahnya kini bergemuruh di hatinya, namun jauh dalam lubuk hatinya, ia jauh merasa lebih tenang. “Kok lo nonjok gue lagi sih, Dek?!” Keenan berteriak marah. “Karena lo pengecut, Kak! Lo tolol!” balas Gavin sengit. Keenan diam seribu bahasa, cuma bisa merasakan perih yang menyeluruh sampai ke jantung hatinya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Lara segera merapikan rambut plus ngibrit ke kamar mandi, ketika ia membalikkan badannya, senyum mengembang di bibirnya. Entah mengapa ia merasa senang, begitu Keenan mengomelinya. Pikirannya refleks mengingat ciuman yang mendadak diberikan Keenan padanya. Ardio, Echa dan Gavin menatap Keenan sambil tersenyum padanya.
Cowok itu sama sekali tak sadar, jika sedang diperhatikan ketiganya. Mereka seolah menyimpan satu rahasia besar antara keduanya. Nggak sampai lima menit, Lara sudah mandi dan berpakaian rapi, ia berdiri di samping Gavin yang sedang menyeduh teh baginya. “Buat kamu nih,” katanya tersenyum.
Tetapi jelas mata Lara malah terpaku pada pria yang hari itu memakai pakaian berwarna kuning muda, dengan celana sport selutut plus, kacamata yang selalu bertengger di hidung mancungnya. Lara mengambil segelas tehnya tanpa tau kalo teh itu masih panas.
Rasanya sulit untuk mengontrol pikirannya agar tidak memerhatikan bagian sensual dari Keenan yang tadi malam diberikan padanya. “Lara, sst! Wih, berani banget lo, ada Gavin malah ngelirik abangnya. Cari ribut lo!” bisik Echa, berusaha menyadari sahabatnya. Ia sengaja menyikut lengan Lara sampai ia mengaduh-aduh. “Aduhhh!” pekik Lara terkejut.
Pikirannya langsung bersatu kembali, saat menyadari ia sudah semakin melenceng ke arah yang nggak bener. Padahal menurut Echa, Keenan tampil biasa-biasa aja, lho. Tapi mata Lara malah berpikir ia sangat tampan hari itu. Gavin menarik kursi, kemudian duduk di samping Lara yang tertunduk tak enak hati. Ia sengaja berdeham kecil, menggoda Lara di sampingnya.
Selanjutnya, ia begitu manja pada Lara, meminta gadis itu menyuapkan sepotong roti ke mulutnya. Pemandangan itu sukses mengeringkan kerongkongan Keenan bak di gurun tertandus sejagad raya. Pikirannya menerawang jauh saat Lara melakukan hal yang sama padanya.
Tetapi ia hanya menatapnya tajam, tanpa berucap apaapa. Cowok itu tibatiba bangkit berdiri, kemudian beranjak meninggalkan vila. “Kak! Tunggu, gue mau ngomong sesuatu!” cegat Gavin dari kursinya. “Ikut gue kalo gitu.” Keenan hanya menatap Gavin datar, dan mengacungkan telunjuknya, memberi isyarat agar cowok itu mengikutinya.
“Kalian mau kemana?” Lara tibatiba kepingin tahu. Takut, kalo sampe dua bersaudara itu berantem lagi. “Mens talk , Ra. Kamu di sini aja ya?” ucap Gavin, membalikkan tubuh cewek mungil itu duduk di kursinya. Ia memberi isyarat pada Ardio dan Echa, agar Lara tidak mengikuti mereka.
“Eh, Ra... hari ini kan cerah, temenin gue yuk, main-main ke pantai. Yuk...” Echa menunjukkan gelagat aneh, ia malah bergelayut di lengan Lara. “Ayo, Ra! Sekali-kali, main sama kita juga dong!” Ardio menimpali. Belum sempat Lara menolak, tapi dua bersaudara itu sudah nggak menunjukkan batang hidungnya.
“Gue tadi malem mergokin lo berdua, Kak,” ucap cowok itu tanpa nada dingin sedikit pun. “Sori, gue nggak sengaja,” balas Keenan sedikit merasa bersalah pada adiknya. “Nggak sengaja kata lo? Jelasjelas gue liat, lo narik Lara lebih dulu!” Ia mendesis kesal, “Mana ada kayak gitu nggak sengaja? Lo pikir gue setolol itu?” “Vin, gue tau gue telat. Gue...” “Lo cinta sama Lara dari dulu.
Ya kan?” Gavin mengatup mulut Keenan, sebelum macan itu menyerangnya dengan mulut pedasnya. Keenan tak menjawab, itu artinya... semua jawaban pertanyaan Gavin benar terjawab. Keenan mengangguk pelan. Bukk! Gavin menonjok kakaknya keras.
Amarahnya kini bergemuruh di hatinya, namun jauh dalam lubuk hatinya, ia jauh merasa lebih tenang. “Kok lo nonjok gue lagi sih, Dek?!” Keenan berteriak marah. “Karena lo pengecut, Kak! Lo tolol!” balas Gavin sengit. Keenan diam seribu bahasa, cuma bisa merasakan perih yang menyeluruh sampai ke jantung hatinya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)