Dua Pasang Hati
A
A
A
“Mau ke mana lagi sih, Cha? Pegel nih gue...” rutuk Lara. Ia menatap rambut Lara yang cuma lurus aja kayak orang sakit.
“Bawel lo ah!” Echa tak peduli, dan malah menarik lengan sahabatnya beranjak dari distro itu.
Dua puluh Satu
“LCD... check list ! Layar proyektor... check list !” Ardio mengecek semua peralatan acara yang sudah direncanakannya beberapa minggu yang lalu, kemudian tersenyum puas memandang keberhasilan pekerjaan sampingannya, selain sebagai dokter. Penjaga vila keluarga Gavin juga sudah diperintahkannya untuk memastikan kekasih dan sahabat, serta salah satu pemilik dari vila itu belum kembali dari jalan-jalannya.
Selain itu, vila itu kini diubahnya menjadi lebih hidup dari biasanya. Pertama, pintu masuk vila keluarga Bagaskara itu sengaja dimatikan listriknya dan hanya ada karpet merah yang terjulur indah di lantai masuknya. Pada dinding yang dibalut dengan kertas krep berwarna merah muda itu, terdapat lampulampu hias yang di bawahnya digunakan untuk menerangi sejumlah foto-foto rahasia yang sudah dibidiknya, hasil jepretannya sendiri.
Selain itu, menjelang masuk ke ruang tamunya, ia menggantungkan rangkaian mawar putih yang melilit cantik di rail tangga lantai duanya. Selanjutnya, di lantai dua tersebut, ia memasang LCD dan layar proyektor untuk menampilkan foto-foto serta karya-karya lain dari hasil jepretan tangan dingin kekasihnya serta kawan setianya itu. Sang penjaga pintu rumah sampai-sampai ternganga dibuatnya karena dokter bedah itu berhasil mengubah suasana vila itu dengan nuansa penuh kasih sayang.
Mereka tentunya begitu senang hati membantu rencana pria itu yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari. “Bli, ini konsepnya keren sekali. Saya sampe ndak percaya, Bli...” Ia berdecak kagum, memuji hasil karya dari tangan dingin sahabat sang tuan rumah ini. “Makasih Bli Nyoman. Ah, ini nggak seberapa. Yang penting niat baik kami tulus, Bli..” sahut Ardio, tersenyum tulus.
“Pasti berhasil, Bli! Saya yakin itu.” Bli Nyoman balas tersenyum kemudian. Nggak beberapa lama kemudian, suara mesin mobil milik kekasihnya menggema dari arah luar. Ardio sudah memberi abaaba pada dua penjaganya itu untuk mematikan semua lampu ruangan, dan menyalakan lampu hias yang sudah digantungnya. Sementara itu di luar vila, Echa memapah Lara yang pelan-pelan berjalan saat masuk ke dalam vila tersebut. Lara sempat terkejut saat tahu semua lampu mati tiba-tiba.
“Gardu listrik di Denpasar lagi dimatiin PLN ya, Cha?” tanya gadis itu bingung. Echa hanya tersenyum kemudian menggeleng. Kalau saja sekarang bukan momen sakral, pasti Echa nggak akan segan menertawai komentar lugu sahabatnya itu. “Cha, ini apa-apaan... kok gelap gini sih? Eh, gue nggak bisa jalan kalo gelap-gelap begini...” protes Lara. Ia sempat menjerit ketakutan saat menginjak red carpet yang menjulur di bawah kakinya, baginya itu sedikit keras dan berbatuan.
Sayangnya Echa masih saja bungkam dan nggak mau membocorkan apa motifnya, menyulap Lara jadi kayak putri begini. Tiba-tiba saja, sejumlah lampu hias di samping lorong vila menyala satu persatu. Dengan bingung Lara menoleh ke samping. Dan... Ia terkejut saat mendapati banyak fotofoto yang memamerkan wajahnya mulai dari dia masih cupu sampe sekarang. Dan satu lagi, ada satu fotonya bersama Keenan. Di foto itu, wajah Keenan dipasang dingin sambil melipat tangannya.
Rambutnya aja masih jadul banget, jabrik-jabrik dengan kacamata bening yang waktu itu masih eksis pada era-nya. Di foto itu, malah Lara yang tersenyum tanpa memerhatikan wajah kecut Keenan. Tunggu... Ini acara, acaranya si Echa kan? Kenapa jadi majang foto-foto gue? Apa-apaan nih? Batin Lara tertegun. Di bagian ujung, Lara mendapati satu foto, ketika Keenan berada di rumah sakit.
Ia tersenyum begitu tulus saat sedang melayani seorang ibu-ibu berjilbab yang sedang hamil. Badan tinggi cowok itu setengah membungkuk, demi menyalami sang pasien. Hangat langsung membara di sekujur tubuh Lara, saat pertama kali melihat senyum tulus Keenan mengembang di wajah dingin cowok itu.
Dan ada lagi...Kenapa ada foto Keenan di gudang rumah sakit? Pikir Lara. Dia ingat betul, hari itu tepat insiden terkurung itu menimpa dirinya. Di foto itu, Keenan tampak mengevakuasi... dirinya? Astaga... air mata Lara tiba-tiba terjatuh, saat melihat foto itu. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
“Bawel lo ah!” Echa tak peduli, dan malah menarik lengan sahabatnya beranjak dari distro itu.
Dua puluh Satu
“LCD... check list ! Layar proyektor... check list !” Ardio mengecek semua peralatan acara yang sudah direncanakannya beberapa minggu yang lalu, kemudian tersenyum puas memandang keberhasilan pekerjaan sampingannya, selain sebagai dokter. Penjaga vila keluarga Gavin juga sudah diperintahkannya untuk memastikan kekasih dan sahabat, serta salah satu pemilik dari vila itu belum kembali dari jalan-jalannya.
Selain itu, vila itu kini diubahnya menjadi lebih hidup dari biasanya. Pertama, pintu masuk vila keluarga Bagaskara itu sengaja dimatikan listriknya dan hanya ada karpet merah yang terjulur indah di lantai masuknya. Pada dinding yang dibalut dengan kertas krep berwarna merah muda itu, terdapat lampulampu hias yang di bawahnya digunakan untuk menerangi sejumlah foto-foto rahasia yang sudah dibidiknya, hasil jepretannya sendiri.
Selain itu, menjelang masuk ke ruang tamunya, ia menggantungkan rangkaian mawar putih yang melilit cantik di rail tangga lantai duanya. Selanjutnya, di lantai dua tersebut, ia memasang LCD dan layar proyektor untuk menampilkan foto-foto serta karya-karya lain dari hasil jepretan tangan dingin kekasihnya serta kawan setianya itu. Sang penjaga pintu rumah sampai-sampai ternganga dibuatnya karena dokter bedah itu berhasil mengubah suasana vila itu dengan nuansa penuh kasih sayang.
Mereka tentunya begitu senang hati membantu rencana pria itu yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari. “Bli, ini konsepnya keren sekali. Saya sampe ndak percaya, Bli...” Ia berdecak kagum, memuji hasil karya dari tangan dingin sahabat sang tuan rumah ini. “Makasih Bli Nyoman. Ah, ini nggak seberapa. Yang penting niat baik kami tulus, Bli..” sahut Ardio, tersenyum tulus.
“Pasti berhasil, Bli! Saya yakin itu.” Bli Nyoman balas tersenyum kemudian. Nggak beberapa lama kemudian, suara mesin mobil milik kekasihnya menggema dari arah luar. Ardio sudah memberi abaaba pada dua penjaganya itu untuk mematikan semua lampu ruangan, dan menyalakan lampu hias yang sudah digantungnya. Sementara itu di luar vila, Echa memapah Lara yang pelan-pelan berjalan saat masuk ke dalam vila tersebut. Lara sempat terkejut saat tahu semua lampu mati tiba-tiba.
“Gardu listrik di Denpasar lagi dimatiin PLN ya, Cha?” tanya gadis itu bingung. Echa hanya tersenyum kemudian menggeleng. Kalau saja sekarang bukan momen sakral, pasti Echa nggak akan segan menertawai komentar lugu sahabatnya itu. “Cha, ini apa-apaan... kok gelap gini sih? Eh, gue nggak bisa jalan kalo gelap-gelap begini...” protes Lara. Ia sempat menjerit ketakutan saat menginjak red carpet yang menjulur di bawah kakinya, baginya itu sedikit keras dan berbatuan.
Sayangnya Echa masih saja bungkam dan nggak mau membocorkan apa motifnya, menyulap Lara jadi kayak putri begini. Tiba-tiba saja, sejumlah lampu hias di samping lorong vila menyala satu persatu. Dengan bingung Lara menoleh ke samping. Dan... Ia terkejut saat mendapati banyak fotofoto yang memamerkan wajahnya mulai dari dia masih cupu sampe sekarang. Dan satu lagi, ada satu fotonya bersama Keenan. Di foto itu, wajah Keenan dipasang dingin sambil melipat tangannya.
Rambutnya aja masih jadul banget, jabrik-jabrik dengan kacamata bening yang waktu itu masih eksis pada era-nya. Di foto itu, malah Lara yang tersenyum tanpa memerhatikan wajah kecut Keenan. Tunggu... Ini acara, acaranya si Echa kan? Kenapa jadi majang foto-foto gue? Apa-apaan nih? Batin Lara tertegun. Di bagian ujung, Lara mendapati satu foto, ketika Keenan berada di rumah sakit.
Ia tersenyum begitu tulus saat sedang melayani seorang ibu-ibu berjilbab yang sedang hamil. Badan tinggi cowok itu setengah membungkuk, demi menyalami sang pasien. Hangat langsung membara di sekujur tubuh Lara, saat pertama kali melihat senyum tulus Keenan mengembang di wajah dingin cowok itu.
Dan ada lagi...Kenapa ada foto Keenan di gudang rumah sakit? Pikir Lara. Dia ingat betul, hari itu tepat insiden terkurung itu menimpa dirinya. Di foto itu, Keenan tampak mengevakuasi... dirinya? Astaga... air mata Lara tiba-tiba terjatuh, saat melihat foto itu. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)