Dua Pasang Hati
A
A
A
Alih-alih marah, Lara memukul pelan lengan sobatnya, “Lo ngeselin banget ya emang dari dulu!!!” “Jadi waktu itu, lo pura-pura marah sama gue, Cha? Ih elo mah!!!”
Eh, si Echa malah nyengir. “Tapi...bener kan, si Keenan saking cemasnya sampe nyusul, pas tahu kalo lo ngejar gue ke tempat biasa kita cerita-cerita? Lo aja yang oon, malah si Keenan diomelin lagi abis itu.” Cewek itu menoyor pelan kepala Echa, heran pada kelakuan sahabatnya itu. “Ketiga...gue waktu itu yang nyuruh pelayan ngasih lo minum wine dengan kadar tinggi, walopun gue kasih gelasnya kecil.
Tapi ampuh, kan sampe Keenan nolongin lo lagi. Iya nggak, Yang?” ucap Ardio dengan nada bangga. “Kalo aja gue bisa kasih penghargaan, gue kasih nih sekarang! bener-bener lo berdua ya, ngeselinnya ampun-ampun!!!” Lara menggeleng sebal, dikit. “Keempat...Gavin, Ra..” Suara Echa sedikit ngerasa bersalah, sesudahnya.
“Gavin? Kenapa sama dia?” “Gue yang calling dia buat balik Indo, masuk ke Magenta dan...macarin lo.” Ardio mengakui akal bulusnya. Kali ini Lara sebenernya mau marah sejujurnya, tapi udah kehabisan tenaga gara-gara nangis sejadi-jadinya. “Si Gavin nggak bener-bener sayang sama gue?” tatap Lara bingung. “Awalnya sih enggak, Ra.. tapi lama-lama gue beneran cinta sama lo!”
Suara itu mengejutkan ketiganya, dia tersenyum lega menatap cewek itu setelahnya. Lara membalikkan badannya, menatap adik Keenan itu sebal. “Ngeselin banget sih kalian semuaaaa!!!” Lara berteriak kencangkencang, yang disertai uraian tawa dari ketiganya.
“Ra, jangan ngambek dulu! Gue juga tau kali, kalo dari awal lo cintanya cuma sama kakak gue. Ya mana tega gue liat kakak gue nggak bahagia di hidupnya. Makanya itu.. gue setuju ngebantu Kak Ardio, itung-itung kan dapet pahala, bisa bantu kakak sendiri dapetin calon yang baik,” jelas Gavin sambil tertawa- tawa.
“Ya walaupun, gue sempet beneran jatuh cinta sama lo, Ra. Tapi...gue belajar nggak egois, dari lo. Makanya gue ngalah aja.” Lara tak mampu lagi menyembunyikan rasa senang, haru, sedih, kecewa, bahagia yang berkecamuk dalam hatinya. Ia cuma bisa menangis sambil menahan senyum bahagianya. Tapi.. tunggu, kenapa Keenan dari tadi nggak nongol-nongol?
Emangnya dia nggak tahu ya, kalo acara ini sebenernya kejutan buat dia juga? Lara mulai waswas mencari keberadaan cowok itu. “Keenan mana...?” Ketiganya sepakat mengangkat bahu, ogah memberi tahu di mana keberadaan cowok itu. Pria bertubuh tinggi tegap itu, menendang-nendang pasir putih di bawah kakinya yang terletak tak jauh dari belakang vilanya.
Tangan kanannya mungkin masih terasa sedikit sakit, namun entah mengapa... ia tidak mempermasalahkannya. Bahkan, jauh lebih baik rasanya, ketimbang tangannya sehat-sehat saja seperti sedia kala. Dan bahkan, cowok itu sudah melepaskan bebatan tangannya yang seharian membalut lengannya. Di tangan kirinya, pria tampan itu menegak secangkir white wine , favoritnya.
Ia menengadahkan kepalanya, dan menatap langit malam yang begitu cerah. Bagus banget langitnya... Dalam hati kecilnya, ia berharap seandainya gadis yang amat dicintainya itu, saat ini berada di sampingnya. Dia pasti akan jauh lebih bahagia. Sambil berjalan di plesir pantai, Keenan tersenyum kecil di kala mengingat kejadian ketika Lara mabuk, usai acara syukuran rumah sakitnya.
Hari itu, begitu ia menginjakkan kaki di ruang depan apartemennya, Keenan meletakkan Lara dengan segera di kursi panjang di ruang tamunya. Dalam heningnya, ia mendapati wajah gadis itu nampak begitu sedih dan tak berbinar-binar seperti biasanya, ketika mereka saling adu mulut atau saat Lara marah-marah padanya.
Ia jelas tahu kenapa Lara bisa sampai seperti itu lagi, sejak ia sadar gadis itu memergokinya dicium Ratna, wanita yang sempat dikabarkan dekat dengannya. Pemandangan itu jelas menohok hati Keenan, mengingatkannya pada sembilan tahun lalu, ketika ia tahu Lara tak sengaja memergokinya dicium Feli. Keenan hanya diam menatap raut muka Lara yang tampaknya begitu kecewa pada dirinya.
Selanjutnya, cowok itu memutuskan untuk membawa Lara ke kamar tamu, di samping kanan kamarnya. Ia membaringkan tubuh mungil gadis itu, dan meminta salah satu penjaganya untuk mengganti baju Lara dengan pakaian Keenan, meski kebesaran. (bersambung)
VANIA M. BERNADETTE
Eh, si Echa malah nyengir. “Tapi...bener kan, si Keenan saking cemasnya sampe nyusul, pas tahu kalo lo ngejar gue ke tempat biasa kita cerita-cerita? Lo aja yang oon, malah si Keenan diomelin lagi abis itu.” Cewek itu menoyor pelan kepala Echa, heran pada kelakuan sahabatnya itu. “Ketiga...gue waktu itu yang nyuruh pelayan ngasih lo minum wine dengan kadar tinggi, walopun gue kasih gelasnya kecil.
Tapi ampuh, kan sampe Keenan nolongin lo lagi. Iya nggak, Yang?” ucap Ardio dengan nada bangga. “Kalo aja gue bisa kasih penghargaan, gue kasih nih sekarang! bener-bener lo berdua ya, ngeselinnya ampun-ampun!!!” Lara menggeleng sebal, dikit. “Keempat...Gavin, Ra..” Suara Echa sedikit ngerasa bersalah, sesudahnya.
“Gavin? Kenapa sama dia?” “Gue yang calling dia buat balik Indo, masuk ke Magenta dan...macarin lo.” Ardio mengakui akal bulusnya. Kali ini Lara sebenernya mau marah sejujurnya, tapi udah kehabisan tenaga gara-gara nangis sejadi-jadinya. “Si Gavin nggak bener-bener sayang sama gue?” tatap Lara bingung. “Awalnya sih enggak, Ra.. tapi lama-lama gue beneran cinta sama lo!”
Suara itu mengejutkan ketiganya, dia tersenyum lega menatap cewek itu setelahnya. Lara membalikkan badannya, menatap adik Keenan itu sebal. “Ngeselin banget sih kalian semuaaaa!!!” Lara berteriak kencangkencang, yang disertai uraian tawa dari ketiganya.
“Ra, jangan ngambek dulu! Gue juga tau kali, kalo dari awal lo cintanya cuma sama kakak gue. Ya mana tega gue liat kakak gue nggak bahagia di hidupnya. Makanya itu.. gue setuju ngebantu Kak Ardio, itung-itung kan dapet pahala, bisa bantu kakak sendiri dapetin calon yang baik,” jelas Gavin sambil tertawa- tawa.
“Ya walaupun, gue sempet beneran jatuh cinta sama lo, Ra. Tapi...gue belajar nggak egois, dari lo. Makanya gue ngalah aja.” Lara tak mampu lagi menyembunyikan rasa senang, haru, sedih, kecewa, bahagia yang berkecamuk dalam hatinya. Ia cuma bisa menangis sambil menahan senyum bahagianya. Tapi.. tunggu, kenapa Keenan dari tadi nggak nongol-nongol?
Emangnya dia nggak tahu ya, kalo acara ini sebenernya kejutan buat dia juga? Lara mulai waswas mencari keberadaan cowok itu. “Keenan mana...?” Ketiganya sepakat mengangkat bahu, ogah memberi tahu di mana keberadaan cowok itu. Pria bertubuh tinggi tegap itu, menendang-nendang pasir putih di bawah kakinya yang terletak tak jauh dari belakang vilanya.
Tangan kanannya mungkin masih terasa sedikit sakit, namun entah mengapa... ia tidak mempermasalahkannya. Bahkan, jauh lebih baik rasanya, ketimbang tangannya sehat-sehat saja seperti sedia kala. Dan bahkan, cowok itu sudah melepaskan bebatan tangannya yang seharian membalut lengannya. Di tangan kirinya, pria tampan itu menegak secangkir white wine , favoritnya.
Ia menengadahkan kepalanya, dan menatap langit malam yang begitu cerah. Bagus banget langitnya... Dalam hati kecilnya, ia berharap seandainya gadis yang amat dicintainya itu, saat ini berada di sampingnya. Dia pasti akan jauh lebih bahagia. Sambil berjalan di plesir pantai, Keenan tersenyum kecil di kala mengingat kejadian ketika Lara mabuk, usai acara syukuran rumah sakitnya.
Hari itu, begitu ia menginjakkan kaki di ruang depan apartemennya, Keenan meletakkan Lara dengan segera di kursi panjang di ruang tamunya. Dalam heningnya, ia mendapati wajah gadis itu nampak begitu sedih dan tak berbinar-binar seperti biasanya, ketika mereka saling adu mulut atau saat Lara marah-marah padanya.
Ia jelas tahu kenapa Lara bisa sampai seperti itu lagi, sejak ia sadar gadis itu memergokinya dicium Ratna, wanita yang sempat dikabarkan dekat dengannya. Pemandangan itu jelas menohok hati Keenan, mengingatkannya pada sembilan tahun lalu, ketika ia tahu Lara tak sengaja memergokinya dicium Feli. Keenan hanya diam menatap raut muka Lara yang tampaknya begitu kecewa pada dirinya.
Selanjutnya, cowok itu memutuskan untuk membawa Lara ke kamar tamu, di samping kanan kamarnya. Ia membaringkan tubuh mungil gadis itu, dan meminta salah satu penjaganya untuk mengganti baju Lara dengan pakaian Keenan, meski kebesaran. (bersambung)
VANIA M. BERNADETTE
(ftr)