Empat Poin yang Membuat Koalisi Nasional Tegas Menolak RUU Permusikan
A
A
A
JAKARTA - Musisi indie Danila Riyadi dan Rara Sekar Larasati serta penyanyi, pencipta lagu hingga para pengamat musik membentuk Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan.
Dalam koalisi tersebut terdapat 262 pelaku musik yang menyatakan secara tegas menolak RUU Permusikan dan membuat empat poin petisi yang tegas menolak RUU tersebut. Dan berikut empat poin yang mereka sampaikan pada awal pekan kemarin di kawasan Cilandak, Jakarta.
Pertama, koalisi menemukan ada sejumlah pasal karet yang terselip dalam racangan aturan tersebut, salah satunya ada di pasal 5. Menurut frontman Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, beleid itu memuat kalimat yang multi tafsir.
Dalam pasal 5 RUU Permusikan disebutkan, seorang musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi. Cholil melihat rancangan pasal ini membuka ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai.
Selain itu, pasal ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI yaitu UUD 1945. Dalam konteks ini, penyusun RUU Permusikan telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalam negara demokrasi.
Kedua, RUU Permusikan meminggirkan musik independen dan berpihak pada industri besar. Endah Widiastuti dari Endah n Resa mengatakan, RUU Permusikan ini tidak memahami gerakan musik bawah tanah. Alasannya, beberapa pasal di dalam draf aturan ini malah terkesan mendukung industri besar.
Musisi Jason Ranti mengatakan, salah satu indikasinya adalah adanya beleid yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik. Selain itu, pasal 10 aturan ini juga mengatur distribusi musik yang malah mendukung industri besar, karena tidak memberikan ruang kepada musisi untuk mendistribusikan karya secara mandiri.
Pasal ini sangat berpotensi meminggirkan musisi independen. Menurut Jason Ranti, pasal ini menegasikan praktik distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar. "Ini kan curang," tegas Jason.
Ketiga, memaksakan kehendak dan mendiskriminasi. Salah satu beleid di dalam RUU Permusikan ini adalah adanya uji kompetensi dan sertifikasi bagi musisi. Komposer Mondo Gascoro mengatakan, beberapa negara memang menerapkan uji kompetensi. "Namun, lembaga sertifikasi tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan," tegas dia.
Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.
Lalu yang keempat atau yang terakhir, memuat informasi umum dan mengatur hal yang tak perlu.
Beberapa pasal memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur. Misalnya, pasal 11 dan 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktikkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya. Kedua pasal ini tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat Undang-Undang.
Demikian pula dengan pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia. Wilayah karya musik merupakan karya seni. "Seni itu sendiri merupakan bahasa, sehingga penggunaan label berbahasa Indonesia pada karya seni seharusnya tidak perlu diatur," kata musisi, Puti Chitara.
Dalam koalisi tersebut terdapat 262 pelaku musik yang menyatakan secara tegas menolak RUU Permusikan dan membuat empat poin petisi yang tegas menolak RUU tersebut. Dan berikut empat poin yang mereka sampaikan pada awal pekan kemarin di kawasan Cilandak, Jakarta.
Pertama, koalisi menemukan ada sejumlah pasal karet yang terselip dalam racangan aturan tersebut, salah satunya ada di pasal 5. Menurut frontman Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, beleid itu memuat kalimat yang multi tafsir.
Dalam pasal 5 RUU Permusikan disebutkan, seorang musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi. Cholil melihat rancangan pasal ini membuka ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai.
Selain itu, pasal ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI yaitu UUD 1945. Dalam konteks ini, penyusun RUU Permusikan telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalam negara demokrasi.
Kedua, RUU Permusikan meminggirkan musik independen dan berpihak pada industri besar. Endah Widiastuti dari Endah n Resa mengatakan, RUU Permusikan ini tidak memahami gerakan musik bawah tanah. Alasannya, beberapa pasal di dalam draf aturan ini malah terkesan mendukung industri besar.
Musisi Jason Ranti mengatakan, salah satu indikasinya adalah adanya beleid yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik. Selain itu, pasal 10 aturan ini juga mengatur distribusi musik yang malah mendukung industri besar, karena tidak memberikan ruang kepada musisi untuk mendistribusikan karya secara mandiri.
Pasal ini sangat berpotensi meminggirkan musisi independen. Menurut Jason Ranti, pasal ini menegasikan praktik distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar. "Ini kan curang," tegas Jason.
Ketiga, memaksakan kehendak dan mendiskriminasi. Salah satu beleid di dalam RUU Permusikan ini adalah adanya uji kompetensi dan sertifikasi bagi musisi. Komposer Mondo Gascoro mengatakan, beberapa negara memang menerapkan uji kompetensi. "Namun, lembaga sertifikasi tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan," tegas dia.
Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.
Lalu yang keempat atau yang terakhir, memuat informasi umum dan mengatur hal yang tak perlu.
Beberapa pasal memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur. Misalnya, pasal 11 dan 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktikkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya. Kedua pasal ini tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat Undang-Undang.
Demikian pula dengan pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia. Wilayah karya musik merupakan karya seni. "Seni itu sendiri merupakan bahasa, sehingga penggunaan label berbahasa Indonesia pada karya seni seharusnya tidak perlu diatur," kata musisi, Puti Chitara.
(nug)