Djarum Foundation-Yayasan Bali Purnati Pentas I La Galigo

Minggu, 16 Juni 2019 - 09:17 WIB
Djarum Foundation-Yayasan Bali Purnati Pentas I La Galigo
Djarum Foundation-Yayasan Bali Purnati Pentas I La Galigo
A A A
Kolaborasi Bakti Budaya Djarum Foundation, Yayasan Bali Purnati, dan Ciputra Artpreneur akan menghadirkan pertunjukan teater kelas dunia I La Galigo yang naskahnya diadaptasi dari Sureq Galigo. Naskah Bugis kuno abad ke-14 ini siap dipentaskan di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, pada 3, 5, 6, 7 Juli.

I La Galigo merupakan salah satu pertunjukan teater kelas dunia asal Indonesia yang sudah menyita perhatian di beberapa negara. Derasnya apresiasi yang diberikan terhadap pertunjukan I La Galigo baik di dalam maupun luar negeri menjadi bukti bahwa budaya Indonesia luar biasa di mata dunia.

Sumber utama pertunjukan, yakni Sureq Galigo, adalah wiracarita mitos penciptaan suku Bugis (circa abad ke-13 dan ke-15) yang terabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah dan kemudian dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis kuno.

Dalam adaptasi naskah panggung ini Sureq Galigo menjadi dasar dari sebuah kisah yang menggambarkan petualangan perjalanan, peperangan, kisah cinta terlarang, pernikahan yang rumit, dan pengkhianatan. Elemen-elemen ini dirangkai menjadi cerita besar yang begitu menarik, dinamis, dan ternyata masih memiliki relevansi dengan kehidupan modern zaman sekarang.

Karya musik teater I La Galigo ini bercerita melalui tarian, gerak tubuh, soundscape, dan penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah di bawah penyutradaraan salah satu sutradara teater kontemporer terbaik dunia saat ini, Robert Wilson. Pertunjukan berdurasi dua jam ini akan amat memukau karena tata cahaya dan tata panggung yang spektakuler.

Untuk menciptakan ekspresi yang lebih dramatis, sebanyak 70 instrumen musik, mulai dari instrumen tradisional Sulawesi, Jawa hingga Bali akan dimainkan 12 musisi yang mengiringi pertunjukan ini. Penataan bunyi dan musik ini merupakan sebuah hasil karya dan kerja intensif melalui riset yang tidak main-main dari Rahayu Supanggah. “Mulai 2001 naskah tua itu dipelajari.

"Setelah tiga tahun, akhirnya pada 2004 kami melakukan pementasan pertama I La Galigo di Esplanade, Singapura. Dan selepas pentas di 9 negara dan 18 tahun telah berlalu, I La Galigo kembali hadir di Jakarta untuk naik pentas di Ciputra Artpreneur,” ujar Restu I Kusumaningrum, Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo, kepada KORAN SINDO seusai konferensi pers di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, kawasan Thamrin, Kamis (13/6).

“Kami berharap pertunjukan yang telah kami rangkai secara modern ini dapat memperkenalkan naskah kuno asli Indonesia kepada generasi muda, sekaligus mengusik keingintahuan masyarakat untuk lebih mendalami seni budaya Indonesia sehingga tidak punah,” sambungnya.

Sementara itu untuk tata rias pertunjukan ini, sejak 2000, legenda Indonesia Martha Tilaar langsung turun tangan. Kata Wulan Tilaar, anak Martha Tilaar, ibundanya melakukan riset khusus untuk hal ini dan menjadi kebanggaan karena bisa bersanding dengan tata rias kelas dunia sekaligus keprihatinan akan minimnya tata rias profesional yang terjun untuk merias seni pertunjukan Tanah Air.

"Tantangannya bagaimana mengeluarkan karakteristik dari perannya, raut wajah. Robert itu (sang sutradara Robert Wilson) sangat detail. Saat make up test dia detail banget. Shading, kontur sampai sesuai. Dan kami punya 20 second magic, bagaimana ganti riasan dan tata rambut dalam 20 detik, dan ini pengalaman yang luar biasa bagi kami," ungkapnya.

Adapun pentas pertunjukan teater I La Galigo ini merupakan sebuah harta seni budaya Indonesia. Penghargaan masyarakat internasional pada karya ini sudah terbukti sehingga kini sudah selayaknya masyarakat Indonesia juga dapat menyaksikan sebuah pentas mahakarya asli Indonesia yang tak kalah menarik dengan kisah Mahabharata maupun Ramayana.

Sejak pentas perdananya di Esplanade Theatres on the Bay (Singapura) pada 2004, lakon ini terus menuai pujian saat digelar di kota-kota besar dunia seperti Lincoln Center Festival di New York, Het Muziektheater di Amsterdam, Fòrum Universal de les Cultures di Barcelona, Les Nuits de Fourvière di Prancis, Ravenna Festival di Italia, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival di Taipei, Melbourne International Arts Festival di Melbourne, dan Teatro Arcimboldi di Milan sebelum kembali ke Makassar untuk dipentaskan di Benteng Rotterdam.

I La Galigo juga terpilih sebagai pementasan khusus berkelas dunia pada saat Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali. Bahkan media sekelas The New York Times pun tak segan menyebutnya sebagai stunningly beautiful music-theater work ketika I La Galigo menjadi pembuka pada Lincoln Center Festival 2005.

Keberhasilan membawa I La Galigo di Indonesia tak lepas dari Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali. I La Galigo terpilih sebagai acara pementasan khusus. Dengan begitu kendala distribusi properti yang berjumlah 10 kontainer dan selama ini disimpan di Milan, Italia, bisa diatasi. Sukses dipentaskan di mancanegara selama 20 tahun, Yayasan Bali Purnanti memboyongnya ke Jakarta untuk kedua kalinya.

Danis Sugianto, perwakilan pemusik I La Galigo, menuturkan bahwa riset adalah kerja terpenting dari tim musik yang berjumlah 15 orang. "Ada 3 kunci besar dalam musik di I La Galigo. Pertama, gimana merevitalisasi repertoar, lagu, ensembel yang tidak banyak digunakan lagi, yang ada tapi sudah tiada. Kedua, reinterpretasi atau mengaransemen. Ketiga, kreasi baru," tutur Danis.

Kristiono Soewardjo dan Satriani yang menjadi coach movement pun merasa terpanggil untuk ikut andil dalam I La Galigo. "Saya merasa harus ikut karena ini tuh kekayaan Indonesia. Saya sudah bergabung sejak 2000 dan ikut latihan 8 jam dalam sehari bersama Robert Wilson," kata pria yang akrab dengan sapaan Kris itu. Rata-rata penari andal yang ikut I La Galigo berasal dari Papua, Yogyakarta, Bali, Jakarta, dan tentunya dari Sulawesi. Kami berlatih keras bersama dan masing-masing berbaur," timpal Satriani.

Terwujudnya rencana penyelenggaraan I La Galigo tak lepas dari peran Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Rina Ciputra Sastrawinata. Bersama Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, Rina berhasil meyakinkan Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo Restu I Kusumaningrum untuk mementaskan pertunjukan ini di Jakarta yang kemudian disokong Bhakti Budaya Djarum Foundation. “Banyaknya apresiasi yang diberikan terhadap pertunjukan I La Galigo baik di dalam maupun luar negeri.

"Ini membuktikan bahwa budaya kita luar biasa indahnya di mata dunia. Ini menjadi komitmen bagi Bakti Budaya Djarum Foundation untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap kekayaan dan keberagaman budaya Tanah Air. Ini bentuk dukungan kami pada industri seni kreatif Indonesia agar kekayaan budaya Indonesia semakin dikenal, baik di dalam negeri maupun di lingkup internasional,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Sebagai informasi, pementasan I La Galigo berkisah tentang epos petualangan, dongeng moral, dan pencarian cinta sejati yang dilakukan dengan penuh keberanian oleh keturunan para dewa. Inti cerita tentang cinta yang tabu antara tokoh utamanya, Sawerigading, dengan saudari kembarnya, We Tenriabeng; pertarungan untuk mengusir nafsu yang dapat menghancurkan kerajaan mereka; dan pencarian cinta yang sempurna dan tak bermasalah kepada sepupu mereka, We Cudaiq.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6006 seconds (0.1#10.140)