Pentas Lakon JJ Sampah-Sampah Kota yang Menjengahkan

Sabtu, 09 November 2019 - 14:10 WIB
Pentas Lakon JJ Sampah-Sampah...
Pentas Lakon JJ Sampah-Sampah Kota yang Menjengahkan
A A A
Jauh berbeda dengan pementasan Teater Koma sebelumnya yang terbilang sangat perfect dan teratur rapi, sejumlah penonton justru dibuat “jengah” selepas menonton JJ Sampah-Sampah Kota yang berlangsung Kamis (7/11) malam, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Bisa dikatakan pementasan ini sebuah mimpi buruk bagi penikmat seni yang mencintai keindahan dan keteraturan.

Jika sempat menyaksikan pementasan Teater Koma sebelumnya, terutama di lakon Mahabrata; Goro-Goro 1 dan Goro-Goro 2, begitu spektakuler, megah, dan teratur rapi. Bahkan, permainan lighting, latar animasi dan multimedianya sangat memanjakan penonton. Sebaliknya, dalam lakon JJ Sampah-Sampah Kota, selama dua jam lebih penonton berhasil dibuat jengah dengan menyaksikan gubuk-gubuk reyot dan kekumuhan di bawah kolong jembatan yang sebagian propertinya dari barang-barang bekas.

Cerita konyol orang-orang miskin hingga orang gila di dalamnya serta setting panggung yang tak berubah sejak awal hingga akhir pertunjukan, juga semakin membuat tak nyaman. Kendati ada kemegahan lighting dan multimedia, terasa jomplang dengan narasi dan gambaran kemiskinan yang ditampilkan di atas panggung. Terkesan dipaksakan.

Belum lagi setting dan karya instalasi panggung yang dibagi dua, dibatasi jembatan yang membentang membelah panggung. Di bawahnya kehidupan kaum miskin, dan atas jembatan yang menggambarkan kesombongan aparat dan penguasa, membuat penonton menjadi tak fokus menyaksikan pertunjukan. Kondisi ini juga membuat tidak leluasa untuk pengambilan foto keseluruhan panggung, karena akan terpotret dua sisi kehidupan berbeda.

Sebenarnya cerita lakon ini sangat sederhana, soal kemiskinan, konflik sosial, kemanusiaan, kesombongan dan kesewenang-wenangan penguasa yang disebut dalam pentas ini orang-orang atas jembatan. Cerita lakon ini pun berputar-putar di situ-situ saja, terkhusus soal potret kemiskinan dan keprihatinan hidup Jian dan Juhro, dua tokoh utama dalam lakon ini.

“Maaf, buat aku agak boring ya, kurang menghibur karena bercerita mengenai kepahitan hidup segolongan masyarakat penghuni kolong jembatan, dan kisah yang pernah dipentaskan sebelumnya kurang mulus dieksekusi. Tapi melihat regenerasinya banyak anak muda di dalamnya, semoga terus menampilkan kemasan yang semakin baik dan enak dinikmati lagi,” kata Yan Widjaja, pengamat sekaligus wartawan film dan teater.

Namun terlepas dari itu semua, harus diakui JJ Sampah-Sampah Kota mampu menyadarkan betapa hinanya kehidupan manusia, terutama yang tinggal di kolong jembatan seperti yang diceritakan dalam lakon ini. Kita dengan sengaja dan dengan kesadaran penuh telah membiarkan mereka dengan kemiskinan dan kemelaratan. Kita, manusia, secara sadar membiarkan bumi ini dan makhluk-makhluk ciptaan tuhan lain terluka karena ulah kita.

Dan tanpa sadar pula, kejengahan yang tadi dirasakan kian membuncah. Jengah dengan potret kemiskinan yang dialami orang-orang dalam lakon itu, jengah dengan kekotorannya, jengah dengan ketidakteraturan dan intrik-intrik kotor di dalamnya, jengah akan kesombongan dan kesewenang-wenangan aparat dan penguasa. Kejengahan ini bahkan menyelisik lebih dalam ke perilaku diri yang ternyata kalah jauh dari sosok luhur Jian dan Juhro, yang walau hidup melarat yang di tengah kehinaannya, tetap bekerja keras, jujur, dan peduli akan nilai-nilai kemanusiaan.

Inspirasi dari Orang Gila

Lakon JJ Sampah-Sampah Kota produksi ke-159 Teater Koma dipentaskan ulang setelah 43 tahun lakon ini tayang perdana pada 1979. Meski hadir dengan sentuhan baru yang lebih milenial, keutuhan cerita JJ Sampah-Sampah Kota yang disutradarai Rangga Riantiarno (putra Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno) tetap dipertahankan.

Pementasan kali ini didukung aktor-aktor kawakan seperti Idries Pulungan, Budi Ros, Daisy Lantang, Ratna Ully, Ohan Adiputra, Tuti Hartati, Ade Firman Hakim, Raheli Dharmawan. Sementara untuk tata busana dikerjakan Alex Fatahillah bersama tata rias Subarkah Hadisarjana dan tata rambut Sena Sukarya, dengan dukungan PAC Martha Tilaar. Semua itu berpadu dengan tata artistik garapan Idries Pulungan, tata cahaya besutan Deray Setyadi, latar animasi dan multimedia olahan Deden Bulqini.

Menurut sang sutradara, Rangga, 43 tahun waktu yang cukup lama untuk mementaskan kembali lakon ini dengan para pemain yang tentu berbeda. Soal cerita, Rangga menegaskan bahwa cerita JJ Sampah-Sampah Kota selalu relevan dengan kehidupan masyarakat dan tak pernah lekang oleh waktu.

"Saya memilih untuk mementaskan kembali lakon ini karena kisah para pemegang kekuasaan mempermainkan orang-orang kecil, dan ironisnya tidak lekang oleh waktu. Selalu terulang kembali, tak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Jadi, cerita ini tetap relevan dengan kondisi saat ini," kata Rangga saat jumpa pers persiapan pementasan, belum lama ini.

Lakon JJ Sampah-Sampah Kota berasal dari dua karakter Jian dan Juhro, dua orang gila yang ditemui Nano Riantiarno di Cirebon, Jawa Barat. Jian dan Juhro yang merupakan pasangan suami-istri ini tinggal di sebuah gubuk di bawah kolong jembatan. Jian bekerja sebagai kuli pengangkut sampah, digaji harian dan tidak punya jaminan masa depan. Meski begitu, bersama Juhro yang tengah hamil tua, Jian tetap bekerja giat, jujur, rajin, dan gembira.

Lakon JJ Sampah-Sampah Kota ditulis Nano Riantiarno, saat dirinya diundang ke Amerika Serikat pada 1978. Sebelum menulis naskah lakon ini, cetus Nano, dia menulis skenario film Jakarta Jakarta, dan mendapatkan Piala Citra di Makassar pada 1978. Tapi karena ada yang belum selesai dari skenario lakon JJ Sampah Sampah Kota, sehingga sepulang dari Amerika, Nano menuliskan naskah teater untuk lakon ini, lalu menggelar pertunjukannya pada 1979.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2911 seconds (0.1#10.140)