Tulola Jewelry, Storytelling Budaya dalam Perhiasan

Jum'at, 15 November 2019 - 09:56 WIB
Tulola Jewelry, Storytelling Budaya dalam Perhiasan
Tulola Jewelry, Storytelling Budaya dalam Perhiasan
A A A
STORYTELLING menjadi hal kuat yang membedakan Tulola Jewelry dengan label perhiasan lain. Siapa sangka rangkaian kata-kata sebuah novel dapat diwujudkan dalam karya perhiasan yang indah.

Salah satu pendiri Tulola Jewelry, Happy Salma, menuturkan, brand perhiasan ini mengangkat nilai budaya Tanah Air yang senantiasa mengeksplorasi tradisi perhiasan Indonesia. Tidak hanya itu, proses penciptaan perhiasan ini mengambil ide dasar dari cerita, kisah, mitos, bahkan semangat kekayaan Ibu Pertiwi. “Sebelum mendesain, kami buatkan dulu konsepnya yang memang lahir dari kekayaan Indonesia,baik dari sastra maupun ideologi Indonesia, yang kami tuangkan dalam sebuahperhiasan,” ujar Happy di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (30/10).

Happy meyakini, tidak ada seseorang yang pernah membayangkan sebuah kalimat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer diadaptasi menjadi sebuah perhiasan. Dialog antara Minke dan Annelies berhasil ditransformasi menjadi sebuah perhiasan yang unik. “Kami mendefinisikan perhiasan bukan hanya sebuah benda fungsional untuk menghiasi penampilan, melainkan ada ideologi bangsa yang bisa ditanam dalam perhiasan,” ungkap Happy.

Brand perhiasan ini bahkan mengadopsi font Tanah Air dari buku karya Douwes Dekker menjadi sebuah anting. Anting itu sempat viral setelah dikenakan Franka Franklin, istri Mendikbud Nadiem Makarim, dalam pelantikan Kabinet Indonesia Maju beberapa waktu lalu. “Itu konsep awal nyadari sebuah buku Tanah Air karya DouwesDekker, di mana kekayaan Indonesia menjelang merdeka itu beragam. Budaya, tradisi, kekayaan seni, sosial, politik ada saat itu,” tutur Happy.

Pendiri Tulola, Dewi Sri, mengatakan, menerjemahkan konsep berupa karya sastra atau nilai perilaku masyarakat dalam sebuah perhiasan menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab tersendiri. Sebab, tidak mudah menerjemahkan dari konsep yang intangible menjadi wujud perhiasan atau tangible. “Saya selalu mencoba menyelami pesan apa yang paling ingin disampaikankepada khalayak, lalu mencoba mentransformasi itu, bentuk atau komposisi seperti apa yang bisa merepresentasikan pesan itu,” beber Dewi Sri.

Hasil terjemahan dan interpretasi tersebut kemudian dibicarakan dengan perajin. Menurut Dewi, pihaknya memiliki 10 perajin profesional yang sudah tersertifikasi. “Mengapa hanya 10 orang? Karena jujur saya sangat terobsesi dengan kualitas, jadi mereka inilah yang sejauh ini mampu memenuhi standar kualitas kami,” ucapnya.

Perhiasan ini senantiasa menampilkan motif komunal dengan teknik seni murni. Bahan perhiasan ini adalah campuran perak murni dan alloy. Sepuhan yang digunakan adalah emas 18K untuk perhiasan emas. Sedangkan untuk perhiasan perak, sepuhan yang digunakan adalah white platinum . “Pada awal 2020, kami akan mulai membuat perhiasan dari emas murni sebagai bahan baku,” kata Happy. (Dwi Nur Ratnaningsih)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6661 seconds (0.1#10.140)