Setelah Setan Jawa, Garin Nugroho Hadirkan Planet-Sebuah Lament

Sabtu, 21 Desember 2019 - 11:45 WIB
Setelah Setan Jawa, Garin Nugroho Hadirkan Planet-Sebuah Lament
Setelah Setan Jawa, Garin Nugroho Hadirkan Planet-Sebuah Lament
A A A
Sebuah karya yang berisikan doa pada alam dan jalan keselamatan hidup untuk mencintai alam tak lama lagi hadir dalam pentas bertajuk Planet-Sebuah Lament. Karya anyar dari sineas ternama Garin Nugroho ini, juga hendak mengajak masyarakat terutama penikmat seni Tanah Air melihat alam yang semakin rentan oleh pengrusakan.

Sebelumnya, Garin Nugroho sukses dengan karya Setan Jawa, sebuah film bergambar hitam putih dengan gamelan orchestra yang telah dipentaskan di berbagai ajang seni bergengsi dunia mulai dari Melbourne, Amsterdam, London, Glasgow, Singapura, dan Berlin. Film bisu ini dikisahkan pada awal abad ke-20, selaras dengan waktu tumbuhnya film hitam putih sekaligus merebaknya fashion, sastra, dan berbagai bentuk seni hiburan di puncak kolonialisme Belanda.

Adapun pertunjukan Planet-Sebuah Lament yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation, Arts Centre Melbourne, dan Asia TOPA, berkisah tentang sebuah ratapan (lament) dalam nyanyian mencari sebuah planet, di mana peradaban dituntut mencari pangan dan energi baru.

Kisah dimulai setelah tsunami, hilangnya peradaban yang menyisakan seorang manusia yang mencari harapan. Pada akhir perjalanan, lahir sebuah planet baru lewat jalan panjang penebusan seusai tsunami. Sebuah perjalanan penebusan untuk mendapatkan kembali keseimbangan alam.

“Pertunjukan ini mengisahkan ratapan alam karena keserakahan manusia yang menghancurkan alam, era ketika bumi dipenuhi benda-benda perusak lingkungan dan menjadi monster yang tidak pernah mati. Sebagai konsep visual, pertunjukan ini akan berkolaborasi dengan perupa dari Yogjakarta Samuel Indratma, dan dinarasikan lewat paduan suara serta nyanyian ratapan yang menjadi kekuatan utama sebagai narasi maupun sebagai ekspresi,” ungkap Garin Nugroho yang juga sutradara pementasan Planet – Sebuah Lament.

Mengusung perpaduan budaya dari Indonesia Timur (Melanesia), dalam karyanya kali ini Garin Nugroho mengombinasikan elemen pergerakan tubuh dari tradisi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Papua dengan gerak tablo dan tubuh kontemporer yang dikoreografi Otniel Tasman dan Boogie Papeda.

Pertunjukan ini juga menampilkan para penari dari berbagai daerah, antara lain Boogie Papeda, Douglas D’Krumpers, Pricillia EM Rumbiak dan Bekham Dwaa dari Papua, dan Rianto (Solo). Gerakan ritmik dari para penari ini akan diiringi musik yang digarap oleh tiga komposer muda berbakat, yaitu Septina Layan, Taufik Adam, dan Nursalim Yadi Anugerah.

Pertunjukan ini juga dilengkapi dengan lantunan suara indah dari Mazmur Chorale Choir asal Kupang yang dipilih melalui proses seleksi sejak akhir 2018 yang lalu. Paduan suara yang sempat menjadi juara World Choir Games 2014 di Latvia ini akan mengelola musik dari Flores, yang dalam kajian musik dunia disebut sebagai salah satu kekayaan musikal yang ada.

Kostum para pemain digarap Anna Tregloan dari Australia, yang sekaligus juga berperan sebagai scenographer dalam pertunjukan kali ini. Para pemeran utama mengeksplorasi kostum tradisional Indonesia Timur digabungkan dengan elemen kontemporer. Begitupun paduan suara juga mengenakan kostum yang ditata khusus untuk menggambarkan ekspresi yang terjadi pada lakon di atas panggung.

Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari Adrian mengungkapkan, sebagai seorang sineas, Garin Nugroho tidak berhenti membuat terpukau akan beragam kreativitas, pikiran, dan sudut pandang yang dituangkan dalam karya-karyanya.

“Dan tema ini diangkat dengan indah dalam pertunjukan seni yang memadukan gerak tubuh, musik, dan vokal. Perpaduan budaya Melanesia yang diangkat oleh Garin Nugroho juga sekaligus dapat menjadi diplomasi kebudayaan dari Indonesia Timur dengan menyuarakan pesan perdamaian dan penyelamatan alam,” ujar Renitasari.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5657 seconds (0.1#10.140)