Tak Baik untuk Kesehatan, Hati-Hati dengan Makanan Berproses
A
A
A
MAKANAN berproses memang rasanya lebih enak. Namun, hati-hati terhadap risiko kesehatan yang bisa ditimbulkan, belum lagi kenaikan berat badan.
Dengan berat 228 kg, Steve Konzelman sudah diwanti-wanti dokter. Tekanan darahnya mencapai 190/140 (normal 120/80 atau lebih rendah). Dokter pun mengatakan bahwa dia berisiko besar terkena stroke kapan saja. Pada saat itu usianya sekitar 20-an, “Walau begitu, tetap saja saya tidak minum obat yang dianjurkan,” ucap Konzelman, dikutip dari Webmd. Orang tua dan kakak Konzelman memang obesitas.
Sebelumnya dia ingin menurunkan berat badan sendiri. Namun, memasuki usia 30 tahun, Konzelman tahu bahwa dia butuh pertolongan. Dokter lalu menyarankan melakukan operasi gastric bypass untuk menghilangkan berat badan dengan cara cepat. Operasi ini dilakukan dengan cara menstapler lambung, kemudian membuat kantong kecil pada lambung dan menghubungkannya ke usus kecil.
Seusai operasi, Konzelman harus berkomitmen pada diri sendiri untuk mengubah pola hidupnya. Pria yang bekerjadi Bank of America di Atlanta ini tidak lagi boleh mengonsumsi makanan tinggi kalori dan ultra processed foods guna menjaga berat badannya. Padahal, dia mengaku, untuk sarapan biasanya dia menyantap dua buah sandwich dan dua porsi kentang serta soda.
Makan siang dan malam tidak jauh berbeda. Ultra processed foods ini seperti minuman berkarbonasi, makanan ringan kemasan, es krim, cokelat, permen, roti dan kue, sereal, energy bar, minuman energi, ekstrak daging, saus instan, susu formula, susu pertumbuhan dan produk bayi, produk kesehatan atau produk pelangsing, makanan siap saji, dan lainnya.
Makanan olahan ultra meliputi beberapa langkah pembuatan. Produk makanannya juga ditambahkan bahan artifisial, baik pewarna maupun perasa, pengawet, dan bahan seperti emulsifier yang membuat tampilan makanan lebih menarik. “Bahan tambahanitu sebetulnya tidak diperlukan. Struktur makanan jadi berubah,” kata Qi Sun MD ScD,profesor nutrisi di Harvard University.
Meski ultra-processed food mengandung berbagai vitamin dan nutrisi, tetap saja tidak sebagus makanan yang tidak berproses. Maka itu, makanan kaya serat lebih baik ketimbang pil serat. Peneliti mengungkap ada hubungan antara ultra-processed foods dan masalah kesehatan. Orang yang makan makanan jenis ini dalam jumlah banyak cenderung obesitas, diabetes, penyakit jantung, atau gangguan pembuluh darah.
Bahkan, penelitian lain menyebut makanan tersebut berisiko kanker. Peneliti mengobservasi pola makan dan riwayat kesehatan partisipan selama lima tahun. Mereka yang makan banyak ultra-processed foods terkena kanker. Peneliti kemudian meneliti risiko kanker yang didapat dengan melihat sajian makanan per hari selama lima tahun.
Untuk setiap penambahan 10% asupan ultra processed food, ada peningkatan risiko kanker 12%. Bukan hanya itu, konsumsi makanan jenis tersebut rupanya juga memperpendek usia. Peneliti tidak bisa memastikan apakah bahan tambahan yang ada pada makanan berproses itu yang sebabkan ancaman kesehatan atau justru lantaran tidak adanya kandungan nutrisi di dalamnya. “Mungkin keduanya. Zat kimia tertentu, pengawet, pemanis, bisa mengganggu metabolisme,” ujar Sun.
Menurut pengamatan Katherine Zeratsky, ahli nutrisi dari Mayo Clinic in Rochester, individu yang mengonsumsi ultra-processed foods dalam jumlah banyak berarti asupan whole food lebih sedikit. Whole foods adalah makanan yang berasal dari bahan pangan alami. “Itu artinya kekurangan wholefood-lah yang akhirnya membuat tubuh terserang penyakit,” ungkapnya.
Kendati tidak semua, ultra processed foods cenderung rendah serat dan nutrisi penting lainnya. Jika makanan ini dominan dalam pola makan harian, Anda akan kehilangan nutrisi penting yang berujung ancaman kesehatan. Protein dan serat, misalnya, membantu tubuh merasa kenyang. Dengan begitu, makanan yang mengandung zat gizi tersebut dapat mengontrol asupan kalori harian sehingga berat badan pun terjaga. (Sri Noviarni)
Dengan berat 228 kg, Steve Konzelman sudah diwanti-wanti dokter. Tekanan darahnya mencapai 190/140 (normal 120/80 atau lebih rendah). Dokter pun mengatakan bahwa dia berisiko besar terkena stroke kapan saja. Pada saat itu usianya sekitar 20-an, “Walau begitu, tetap saja saya tidak minum obat yang dianjurkan,” ucap Konzelman, dikutip dari Webmd. Orang tua dan kakak Konzelman memang obesitas.
Sebelumnya dia ingin menurunkan berat badan sendiri. Namun, memasuki usia 30 tahun, Konzelman tahu bahwa dia butuh pertolongan. Dokter lalu menyarankan melakukan operasi gastric bypass untuk menghilangkan berat badan dengan cara cepat. Operasi ini dilakukan dengan cara menstapler lambung, kemudian membuat kantong kecil pada lambung dan menghubungkannya ke usus kecil.
Seusai operasi, Konzelman harus berkomitmen pada diri sendiri untuk mengubah pola hidupnya. Pria yang bekerjadi Bank of America di Atlanta ini tidak lagi boleh mengonsumsi makanan tinggi kalori dan ultra processed foods guna menjaga berat badannya. Padahal, dia mengaku, untuk sarapan biasanya dia menyantap dua buah sandwich dan dua porsi kentang serta soda.
Makan siang dan malam tidak jauh berbeda. Ultra processed foods ini seperti minuman berkarbonasi, makanan ringan kemasan, es krim, cokelat, permen, roti dan kue, sereal, energy bar, minuman energi, ekstrak daging, saus instan, susu formula, susu pertumbuhan dan produk bayi, produk kesehatan atau produk pelangsing, makanan siap saji, dan lainnya.
Makanan olahan ultra meliputi beberapa langkah pembuatan. Produk makanannya juga ditambahkan bahan artifisial, baik pewarna maupun perasa, pengawet, dan bahan seperti emulsifier yang membuat tampilan makanan lebih menarik. “Bahan tambahanitu sebetulnya tidak diperlukan. Struktur makanan jadi berubah,” kata Qi Sun MD ScD,profesor nutrisi di Harvard University.
Meski ultra-processed food mengandung berbagai vitamin dan nutrisi, tetap saja tidak sebagus makanan yang tidak berproses. Maka itu, makanan kaya serat lebih baik ketimbang pil serat. Peneliti mengungkap ada hubungan antara ultra-processed foods dan masalah kesehatan. Orang yang makan makanan jenis ini dalam jumlah banyak cenderung obesitas, diabetes, penyakit jantung, atau gangguan pembuluh darah.
Bahkan, penelitian lain menyebut makanan tersebut berisiko kanker. Peneliti mengobservasi pola makan dan riwayat kesehatan partisipan selama lima tahun. Mereka yang makan banyak ultra-processed foods terkena kanker. Peneliti kemudian meneliti risiko kanker yang didapat dengan melihat sajian makanan per hari selama lima tahun.
Untuk setiap penambahan 10% asupan ultra processed food, ada peningkatan risiko kanker 12%. Bukan hanya itu, konsumsi makanan jenis tersebut rupanya juga memperpendek usia. Peneliti tidak bisa memastikan apakah bahan tambahan yang ada pada makanan berproses itu yang sebabkan ancaman kesehatan atau justru lantaran tidak adanya kandungan nutrisi di dalamnya. “Mungkin keduanya. Zat kimia tertentu, pengawet, pemanis, bisa mengganggu metabolisme,” ujar Sun.
Menurut pengamatan Katherine Zeratsky, ahli nutrisi dari Mayo Clinic in Rochester, individu yang mengonsumsi ultra-processed foods dalam jumlah banyak berarti asupan whole food lebih sedikit. Whole foods adalah makanan yang berasal dari bahan pangan alami. “Itu artinya kekurangan wholefood-lah yang akhirnya membuat tubuh terserang penyakit,” ungkapnya.
Kendati tidak semua, ultra processed foods cenderung rendah serat dan nutrisi penting lainnya. Jika makanan ini dominan dalam pola makan harian, Anda akan kehilangan nutrisi penting yang berujung ancaman kesehatan. Protein dan serat, misalnya, membantu tubuh merasa kenyang. Dengan begitu, makanan yang mengandung zat gizi tersebut dapat mengontrol asupan kalori harian sehingga berat badan pun terjaga. (Sri Noviarni)
(ysw)