Mencintai Negeri

Senin, 08 Desember 2014 - 12:30 WIB
Mencintai Negeri
Mencintai Negeri
A A A
Ada momen lain mengingat Sumpah Pemuda pada Oktober dan Hari Pahlawan pada November. Sesuatu yang membuat kita ingin mencintai negeri lebih dari sebelumnya, dengan apa yang sudah kita punya dan memberi dengan setulus hati.

Misalnya saat karya-karya kreatif dan seni diapresiasi publik kita sendiri atau memenangkan kompetisi di mancanegara. Dengan cara apa pun dan upaya apa saja, hal itu memberi penanda bahwa Indonesia masih tak tergantikan di hati. Bisa dengan cara heroik, misalnya memberi nama label “Damn I Love Indonesia” milik Daniel Mananta untuk clothing line.

Yang lain, bisa dengan gaya kalem seperti selarik bait puisi Sapardi Djoko Damono “aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”.

Contohnya program kreatif yang dijalankan di komunitasnya sendiri. KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) adalah salah satunya yang seminggu sekali selama bertahun-tahun melakukan empowering community kelas kreatif art therapyuntuk keluarga dan penderita penyakit skizofrenia di sekretariatnya di Kampung Bali Mester, Jatinegara, Jakarta Timur.

Sebuah museum yang memamerkan karya seni penderita skizofrenia di Australia sempat memberi penghargaan karena kegigihan komunitas ini. Anak muda lain adalah desainer asal Bandung Adi Panuntun yang pada pertengahan bulan lalu membanggakan kita di Circle of Light Moscow International Festival 2014.

Dia dan kelompoknya, Sembilan Matahari, mampu membuat imagebendera Indonesia terpampang di kotak kubus digital raksasa di Lapangan Merah. Adi meraih juara I, mengalahkan partisipan dari negara maju, seperti Spanyol, AS, dan Jepang dalam kontes Art Vision. Untuk dunia fotografi kita menemui Jerry Aurum.

Meski bukunya On White(2014)sempat menuai kritik karena fotonya yang nyeleneh tentang gambar setengah bugil anggota grup musik Slank, sebenarnya Jerry memberi yang paling dia miliki untuk dunia seni fotografi, yaitu bakat-bakat genuineliarnya. Kreativitas memang membutuhkan nyali yang kelak menuai empati.

Ekshibisi dan Kompetisi

Di Jakarta, beberapa bulan terakhir penuh energi kreatif. Catatan saya tidak mungkin merangkum semua. Minimal ada tiga ekshibisi dan satu kompetisi bisa ditulis.

Pertama, The 3rd Jakarta Contemporary Ceramics Biennaledi Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang mempresentasikan seniman keramik kita tampil dengan partisipan internasional dari hampir seluruh benua di dunia. Kita makin tahu bagaimana para desainer, perajin keramik, sampai seniman kontemporer menggali potensi terhebatnya dan mereka sama sekali tak ketinggalan ide dan skilldibanding seniman luar.

Malahan, eventini menunjukkan potensi industri dari kantong komunitas seni berbasis materi keramik Tanah Air yang mengagumkan. Di tempat yang sama digelar juga Triennale Patungyang kedua. Pameran ini mengentak, terutama kemampuan pematung kita menginterpretasikan budaya visual hari ini dengan menggunakan medium dan teknologi paling mutakhir.

Eventlain di Kemang, Jakarta Selatan, kita bersua hajatan tahunan akbar Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD),yang digelar di kompleks Hotel Grand Kemang. Cukup membanggakan karena kecakapan sang penyelenggara, Artura Insanindo yang menghelat acara memasuki tahun kelima. Tidak banyak eventsekonsisten ini yang menunjukkan kualitas manajemen seni yang prima.

Tema besarnya “Ayatana”, hendak menuturkan bagaimana makna panca indra sebagai sumber produksi estetika manusia. Acara ini memadukan kolaborasi seni kontemporer, desain, festival film, sampai industri perhotelan yang bisa mewakili bagaimana sebuah acara seni bisa digulirkan selama berbulanbulan dengan cukup sukses menarik minat publik. Terakhir, acara kompetisi seni lukis yang disebut The UOB painting of The Year 2014.

Medium lukisan yang beberapa tahun terakhir konon mengalami kelesuan pasar –untuk yang “bergenre tertentu”, nyatanya tak tampak sama sekali di sini. Kompetisi UOB memberi rasa percaya diri dunia seni lukis masih menggeliat dengan paras-paras muda yang menghasilkan jawara anyar.

Di wilayah industri kreatif berbasis seni dan budaya tak ada kebingungan mencari sumbersumber alam yang bisa diperbarui karena krisis energi. Bahkan, tak harus mencari rekanan investor raksasa luar negeri dan alih transformasi teknologi berbiaya tinggi.

(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6810 seconds (0.1#10.140)