Menghindarkan Anak dan Remaja dari Intimidasi
A
A
A
TIDAK ada seorang pun yang ingin diintimidasi serta dilecehkan, dan tak ada satu orang pun yang berhak melakukannya. Secara langsung dan tidak langsung, tindakan ini memberikan dampak terhadap korbannya terutama bagi anak dan remaja.
Dalam beberapa kasus, para korban akan mengalami tekanan berat atau depresi, bahkan sampai berujung kematian. Namun, hal ini masih kurang jadi perhatian khususnya bagi masyarakat di Indonesia.
”Berdasarkan hasil survei, Indonesia menempati posisi kedua terbanyak atas tindakan intimidasi dan pelecehan setelah Jepang,” ujar Dr Livia Iskandar Msc, psikolog, di sela acara media gathering ”Anti Intimidasi dan Pelecehan” di Hotel Aryaduta beberapa waktu lalu. Tindakan intimidasi bisa dalam beberapa bentuk, yakni intimidasi secara fisik dan psikologis yang dilakukan secara terusmenerus dan berkepanjangan.
Keduanya mempunyai risiko yang sama besar. Adapun yang patut disayangkan, tindakan ini dilakukan justru oleh orang terdekat subjek yang terintimidasi. Misalnya saja keluarga, guru, dan teman-temannya. Sekolah yang dipercaya para orang tua sebagai tempat paling aman kini justru kerap dijadikan sebagai tempat terjadinya intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh temanteman sebaya atau bahkan gurunya sendiri.
Oleh karena itu, sebagai seorang tua atau orang terdekat diharapkan untuk tetap waspada terhadap sikap anak yang mulai berubah, misalnya anak yang terlihat lebih murung atau mogok untuk berangkat ke sekolah. Hal ini dikarenakan tidak semua anak menceritakan tindakan kekerasan yang terjadi padanya. Tindakan intimidasi ini kerap terjadi pada anak remaja yang mulai beranjak dewasa.
Pada usia ini anak rentan menjadi subjek intimidasi atau bahkan pelaku intimidasi. Namun, tidak menutup kemungkinan tindakan kekerasan dan intimidasi terjadi pada anak usia dini. Motif di balik tindakan intimidasi sangat beragam dan nyaris sulit dihindari. Masa remaja adalah masa anak mulai belajar mengambil keputusan dan mengenali perbedaan.
Dr Livia Iskandar menambahkan, pada dasarnya anak-anak sudah terbiasa dengan keseragaman sebelum mereka masuk ke dalam lingkungan sekolah. Bagi orang tua yang tidak pernah memberikan pengertian kepada anaknya tentang perbedaan, akan memicu seorang anak untuk melakukan tindakan intimidasi terhadap temannya yang tampak berbeda. Selain itu, juga memicu anak untuk melakukan intimidasi terhadap orang lain yang lebih lemah.
Hal ini juga sering terjadi jika ada salah satu temannya mengalami disabilitas. Penelitian menyebutkan, kekerasan yang kerap dilakukan oleh anak laki-laki lebih mengarah kepada kekerasan fisik dan anak perempuan kepada serangan psikologis seperti lewat perkataan. Penyebab tindakan intimidasi ini, selain orang tua yang tidak mengajarkan perbedaan, ternyata ini terjadi juga karena keluarganya yang bermasalah.
Keluarga yang terbiasa dengan kekerasan menjadikan anak berpikir dengan perbuatan kasar adalah tindakan wajar. Padahal, masalah yang timbul bukan berdampak pada keluarga di rumah. Tanpa disadari, anak akan hidup di kesehariannya dan berpikir kekerasan adalah hal yang wajar. Patut bagi orang tua yang terlanjur melakukannya untuk memutus rantai kebiasaan buruk ini.
Tanamkan bahwa kekerasan bukanlah cara untuk menghadapi situasi apa pun. Selain itu, kemajuan teknologi membuat keadaan justru lebih buruk. Memang membuat yang jauh menjadi dekat, namun membuat yang dekat menjadi jauh. Semua bisa didapat dengan cara yang instan. Fenomena ini kerap ditemui saat duduk di meja makan, tapi banyak yang saling berkomunikasi dengan yang jauh dengan menggunakan gadget -nya dari pada sekadar berbincang dengan orang yang ada di dekatnya.
Teknologi juga turut menggiring tindakan intimidasi melalui dunia maya (cyberbullying ). Tujuannya masih sama, yakni untuk menjatuhkan nama baik orang yang menjadi subjeknya. Salah satu cara yang terbaik untuk menghindari adalah menambah porsi pengawasan orang tua.
Terutama pada anakanak mudah terekspos dengan tindakan ekstrem lewat gadget yang diberikan pada anak. Pada anak-anak di bawah 5 tahun mudah terpengaruh dari apa yang dia lihat dari gadget . Perlu dibatasi penggunaannya. Batasi screen time anak, seperti menonton televisi atau bermain gadget hanya diperbolehkan dua jam dalam sehari. Selain itu, jika anak mengalami kekerasan di sekolah, jangan biarkan anak menyelesaikannya sendiri.
Perlu ada intervensi dari pihak lain, seperti peraturan di sekolah yang terus memantau sikap dan tingkah laku siswanya. Karena anak sulit menerima perbedaan, orang tua muali mengajarkan bahwa perbedaan itu wajar adanya. Bukan sesuatu hal yang patut dijauhi dan perlu mengenali tentang pluralitas. Masyarakat terbiasa dengan keadaan yang serbainstan. Tidak semua memiliki gangguan.
Harus menanamkan bahwa hal instan bukan hal yang baik. Media juga dapat membantu mengurangi risiko tindakan intimidasi dengan mulai membiasakan menyampaikan hal-hal yang positif dengan tidak terlalu mengekspos hal-hal yang buruk tanpa didukung rasa empati. Hindari pemberitaan yang sifatnya mendramatisasi. Dr Livia Iskandar Msc, psikolog yang saat ini sedang gencar mengampanyekan ”Gerakan Lima Jari”, yakni untuk tidak melakukan tindakan kekerasan.
Misalnya dengan tidak melakukan tindakan kekerasan dalam pacaran. Hal ini dikarenakan 90% pelakunya orang terdekat sendiri. Hal ini tentunya membutuhkan kerja banyak pihak. ”Perlindungan anak yang baik adalah melalui orang terdekatnya, yakni di bawah pengawasan orang tuanya. Bagaimana pun, orang tua harus dapat membimbing dan mendidik anak untuk menghargai hak-hak orang lain,” ujar Lukman Sardi yang turut hadir dalam media gathering Anti Intimidasi dan Pelecehan.
Kasus yang menimpa Chelsea Islan beberapa hari ini terkait videonya merupakan salah satu contoh lain dari tindakan intimidasi terhadapnya. Atas kejadian ini, salah satu pemain film Di balik Di balik 98 ini menyuarakan untuk menghentikan tindakan intimidasi terhadap perempuan dan anak.
Larissa huda
Dalam beberapa kasus, para korban akan mengalami tekanan berat atau depresi, bahkan sampai berujung kematian. Namun, hal ini masih kurang jadi perhatian khususnya bagi masyarakat di Indonesia.
”Berdasarkan hasil survei, Indonesia menempati posisi kedua terbanyak atas tindakan intimidasi dan pelecehan setelah Jepang,” ujar Dr Livia Iskandar Msc, psikolog, di sela acara media gathering ”Anti Intimidasi dan Pelecehan” di Hotel Aryaduta beberapa waktu lalu. Tindakan intimidasi bisa dalam beberapa bentuk, yakni intimidasi secara fisik dan psikologis yang dilakukan secara terusmenerus dan berkepanjangan.
Keduanya mempunyai risiko yang sama besar. Adapun yang patut disayangkan, tindakan ini dilakukan justru oleh orang terdekat subjek yang terintimidasi. Misalnya saja keluarga, guru, dan teman-temannya. Sekolah yang dipercaya para orang tua sebagai tempat paling aman kini justru kerap dijadikan sebagai tempat terjadinya intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh temanteman sebaya atau bahkan gurunya sendiri.
Oleh karena itu, sebagai seorang tua atau orang terdekat diharapkan untuk tetap waspada terhadap sikap anak yang mulai berubah, misalnya anak yang terlihat lebih murung atau mogok untuk berangkat ke sekolah. Hal ini dikarenakan tidak semua anak menceritakan tindakan kekerasan yang terjadi padanya. Tindakan intimidasi ini kerap terjadi pada anak remaja yang mulai beranjak dewasa.
Pada usia ini anak rentan menjadi subjek intimidasi atau bahkan pelaku intimidasi. Namun, tidak menutup kemungkinan tindakan kekerasan dan intimidasi terjadi pada anak usia dini. Motif di balik tindakan intimidasi sangat beragam dan nyaris sulit dihindari. Masa remaja adalah masa anak mulai belajar mengambil keputusan dan mengenali perbedaan.
Dr Livia Iskandar menambahkan, pada dasarnya anak-anak sudah terbiasa dengan keseragaman sebelum mereka masuk ke dalam lingkungan sekolah. Bagi orang tua yang tidak pernah memberikan pengertian kepada anaknya tentang perbedaan, akan memicu seorang anak untuk melakukan tindakan intimidasi terhadap temannya yang tampak berbeda. Selain itu, juga memicu anak untuk melakukan intimidasi terhadap orang lain yang lebih lemah.
Hal ini juga sering terjadi jika ada salah satu temannya mengalami disabilitas. Penelitian menyebutkan, kekerasan yang kerap dilakukan oleh anak laki-laki lebih mengarah kepada kekerasan fisik dan anak perempuan kepada serangan psikologis seperti lewat perkataan. Penyebab tindakan intimidasi ini, selain orang tua yang tidak mengajarkan perbedaan, ternyata ini terjadi juga karena keluarganya yang bermasalah.
Keluarga yang terbiasa dengan kekerasan menjadikan anak berpikir dengan perbuatan kasar adalah tindakan wajar. Padahal, masalah yang timbul bukan berdampak pada keluarga di rumah. Tanpa disadari, anak akan hidup di kesehariannya dan berpikir kekerasan adalah hal yang wajar. Patut bagi orang tua yang terlanjur melakukannya untuk memutus rantai kebiasaan buruk ini.
Tanamkan bahwa kekerasan bukanlah cara untuk menghadapi situasi apa pun. Selain itu, kemajuan teknologi membuat keadaan justru lebih buruk. Memang membuat yang jauh menjadi dekat, namun membuat yang dekat menjadi jauh. Semua bisa didapat dengan cara yang instan. Fenomena ini kerap ditemui saat duduk di meja makan, tapi banyak yang saling berkomunikasi dengan yang jauh dengan menggunakan gadget -nya dari pada sekadar berbincang dengan orang yang ada di dekatnya.
Teknologi juga turut menggiring tindakan intimidasi melalui dunia maya (cyberbullying ). Tujuannya masih sama, yakni untuk menjatuhkan nama baik orang yang menjadi subjeknya. Salah satu cara yang terbaik untuk menghindari adalah menambah porsi pengawasan orang tua.
Terutama pada anakanak mudah terekspos dengan tindakan ekstrem lewat gadget yang diberikan pada anak. Pada anak-anak di bawah 5 tahun mudah terpengaruh dari apa yang dia lihat dari gadget . Perlu dibatasi penggunaannya. Batasi screen time anak, seperti menonton televisi atau bermain gadget hanya diperbolehkan dua jam dalam sehari. Selain itu, jika anak mengalami kekerasan di sekolah, jangan biarkan anak menyelesaikannya sendiri.
Perlu ada intervensi dari pihak lain, seperti peraturan di sekolah yang terus memantau sikap dan tingkah laku siswanya. Karena anak sulit menerima perbedaan, orang tua muali mengajarkan bahwa perbedaan itu wajar adanya. Bukan sesuatu hal yang patut dijauhi dan perlu mengenali tentang pluralitas. Masyarakat terbiasa dengan keadaan yang serbainstan. Tidak semua memiliki gangguan.
Harus menanamkan bahwa hal instan bukan hal yang baik. Media juga dapat membantu mengurangi risiko tindakan intimidasi dengan mulai membiasakan menyampaikan hal-hal yang positif dengan tidak terlalu mengekspos hal-hal yang buruk tanpa didukung rasa empati. Hindari pemberitaan yang sifatnya mendramatisasi. Dr Livia Iskandar Msc, psikolog yang saat ini sedang gencar mengampanyekan ”Gerakan Lima Jari”, yakni untuk tidak melakukan tindakan kekerasan.
Misalnya dengan tidak melakukan tindakan kekerasan dalam pacaran. Hal ini dikarenakan 90% pelakunya orang terdekat sendiri. Hal ini tentunya membutuhkan kerja banyak pihak. ”Perlindungan anak yang baik adalah melalui orang terdekatnya, yakni di bawah pengawasan orang tuanya. Bagaimana pun, orang tua harus dapat membimbing dan mendidik anak untuk menghargai hak-hak orang lain,” ujar Lukman Sardi yang turut hadir dalam media gathering Anti Intimidasi dan Pelecehan.
Kasus yang menimpa Chelsea Islan beberapa hari ini terkait videonya merupakan salah satu contoh lain dari tindakan intimidasi terhadapnya. Atas kejadian ini, salah satu pemain film Di balik Di balik 98 ini menyuarakan untuk menghentikan tindakan intimidasi terhadap perempuan dan anak.
Larissa huda
(ars)