Dua Pasang Hati

Senin, 20 April 2015 - 08:21 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
“Gimana-gimana, Nan? Lara baikbaik aja kan?” Echa kembali khawatir, ia menggigit jari telunjuknya. Sementara Ardio menyapu-nyapu lengan kanannya, memberi ketenangan.

“Dia nggak akan kenapanapa, Sayang.” “Sebelum kesini lo makan dulu nggak?” tanya Keenan dingin. Lara menggeleng lemah. “Bagus. Kelakuan lo emang belum berubah ya dari dulu? Selalu aja sengaja telat makan. Liat ini, garagara kelakuan lo, lo hampir aja meregang nyawa,” ketus cowok itu sambil memandang Lara. “Nggak usah sok tahu deh, lo,” cibir Lara nggak percaya.

“Maag akut yang udah lo derita sejak zaman SMA belum sembuh juga, ya karena lo nggak bisa jaga diri sendiri,” balas Keenan tak kalah sengit. “Belagu banget lagi, sok mabok-mabokan.” Lara bangkit berdiri, mata sayunya mendelik tajam pada Keenan. “Dan elo, dokter paling brengsek yang pernah gue kenal. Nggak perlu priksa-priksa gue!” Cewek itu menepis tangan Keenan yang hendak melanjutkan pemeriksaannya. Sikap Lara membuat dua sahabat dekatnya bingung.

Ada apa yang terjadi dengan mereka berdua sebenernya sih? Lantas, keduanya hendak melerai pertengkaran sengit yang terjadi diantara keduanya. Namun sayangnya, fisik Lara nggak bisa menipu, ia hampir saja terkulai lemas. Untung saja Keenan sempat menahannya. “Lepas–” BUKK! Lara jatuh pingsan. Ardio dan Echa segera meminta Keenan untuk membopongnya ke dalam mobil. “Nan, I’m sorry for this, ya. Sumpah, gue nggak nyangka kejadiannya bakal kayak gini,” ujar Ardio sambil memandang Keenan tak enak hati.

“Nggak apa-apa, Bro. Udahlah, ini cewek emang ngerepotin banget,” gumamnya dengan napas terengah-engah, setelah memasukkan Lara ke mobilnya. “Nan, Lara siapanya elo sih? Kok sepertinya kalian pernah kenal?” Ardio memicingkan matanya. “Bukan siapa-siapa gue. Gue pernah kenal dia pas dia masih SMA dulu. Udahlah, jangan dibahas. Gue bawa pulang dulu nih anak.” Ardio mengangguk ngerti, walau batinnya tahu kalo sobatnya ini menyembunyikan sesuatu dari dirinya.

“Ehm, Nan. Gue minta tolong jagain Lara, ya. Anterin dia sampe rumahnya,” pinta Echa, sebelum Keenan siap menancapkan gas. Cowok itu mengangguk paham dengan bibir terkatup. Keenan emang tipe yang serius-serius dingin gitu, sih. Bicaranya irit, untung rezekinya nggak ikut irit. “Nanti gue sms alamatnya Lara ke elo ya. Yang penting kabarin gue, gitu kalian sampe,” kata Echa lagi.

“Thanksya, Bro. Take care!” Ardio gentian membuka mulut. Cowok itu mengacungkan jari jempolnya dan segera menancapkan gasnya.

Ding! Handphone Keenan berdering, tanda sms masuk dari Echa yang menerangkan alamat rumah Lara. Dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan, dan membacanya dengan hati-hati. “Ehm…” suara erangan terdengar dari sebelahnya. Lara membuka matanya perlahan-lahan, ditatapnya jalan-jalan sepi di bawah jalan tol, di pinggir jalan.

Ia lantas mengalihkan pandangannya pada safety-belt yang terpasang rapih di bahu kirinya. Lho, kok gue duduk di depan? Batinnya berkata. Lara menolehkan kepalanya ke kanan, dan terperanjat melihat sosok yang tak asing lagi di hidupnya. “Kenapa gue ada di sini? Mana Ardio sama Echa?” tanyanya gusar.

“Mereka pulanglah. Lagian ngapain lo di mobil sana, gangguin orang pacaran?” ketus cowok itu sambil terus menatap layar handphone-nya. Kedua matanya memandang Lara dingin, tangan kanannya terjulur menunjukkan layar handphone-nya. “Bener ini alamat lo?” “…Iya.” (bersambung)

Oleh:
VANIA M. BERNADETTE
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0894 seconds (0.1#10.140)