Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jiild 16 Bagian 9

Sabtu, 01 April 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu

Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main.

Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun terheran-heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap.

Ketika mendaki sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali. "Apa... apa yang terjadi...? Ohhhh... mereka semua ke mana? Dan bangunan-bangunan mereka... mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak.... ahhh..." Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana, tetap diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali.

Seperti seorang mabok, Liu Bwee berteriak-teriak memanggili orang-orang dan berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

"Ke mana...? Mereka semua ke mana ...?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari istana.

Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata suaranya tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai."

Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikkan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh...! Kau benar...! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan...!" Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan.

"Aku khawatir sekali, Toanio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. Kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?"

"Kau benar... ah... suamiku... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.

"Ohhh... mereka semua tewas? Semua tewas...? Siapa percaya... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu.

Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang di kenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangan!

"Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong,"

"Ohhh...!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya.

Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali. Raja Pulau Es benar-benar hebat, dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu.

"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati.

Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi.

"Duhai suamiku... betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0460 seconds (0.1#10.140)