Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 17 Bagian 8
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
"Trang-cringgg-cringggg...!!"
Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dalam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan besar-besaran, sudah menggunakan ginkangnya yang amat hebat, tubuhnya meluncur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan pengawalnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti "terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiltki pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan begitu pedangnya tercabut, sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke tombak yang mengurungnya dengan tombak.
"Trakkk!"
Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakkan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok!
Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak marah karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka, "Serbu mereka! Basmi mereka sernua, jangan beri ampun seorangpun juga!"
An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas.
Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.
Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biarpun menggiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah, pedang mereka berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu roboh dalam keadaan mengerikan sekali, terrobek perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan.
Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali dan cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lihai, sebagaian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Dan kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok musuh.
Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang kang-ouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang!
Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir dan, setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang biasanya menjadi tempat pertentuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hari itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu siiat lebih tinggi daripada tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan. Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan nekat.
Akhirnya, sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga, orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini.
Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkangnya, disusul dengan berkelebatnya Tiong-gi-kiam di tangannya membuat belasan batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu.
"An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka.
Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa!
"Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya.
Kembali semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan?
Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!"
Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua. Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal sebagai Kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamati-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian kok yang mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika melihat seorang kkek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan di pinggangnya tergantung sebuah kepis bambu, dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai, maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tangan An Lu Shan pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok. (Bersambung)
"Trang-cringgg-cringggg...!!"
Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dalam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan besar-besaran, sudah menggunakan ginkangnya yang amat hebat, tubuhnya meluncur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan pengawalnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti "terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiltki pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan begitu pedangnya tercabut, sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke tombak yang mengurungnya dengan tombak.
"Trakkk!"
Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakkan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok!
Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak marah karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka, "Serbu mereka! Basmi mereka sernua, jangan beri ampun seorangpun juga!"
An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas.
Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.
Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biarpun menggiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah, pedang mereka berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu roboh dalam keadaan mengerikan sekali, terrobek perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan.
Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali dan cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lihai, sebagaian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Dan kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok musuh.
Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang kang-ouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang!
Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir dan, setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang biasanya menjadi tempat pertentuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hari itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu siiat lebih tinggi daripada tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan. Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan nekat.
Akhirnya, sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga, orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini.
Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkangnya, disusul dengan berkelebatnya Tiong-gi-kiam di tangannya membuat belasan batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu.
"An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka.
Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa!
"Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya.
Kembali semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan?
Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!"
Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua. Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal sebagai Kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamati-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian kok yang mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika melihat seorang kkek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan di pinggangnya tergantung sebuah kepis bambu, dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai, maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tangan An Lu Shan pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok. (Bersambung)
(dwi)