Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 4 Bagian 2

Jum'at, 17 Februari 2017 - 15:35 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Dengan pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan tetapi setiap kali menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus itu digerakkan oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan mengandung tenaga mujijat sehingga biarpun dia mengenal jurusnya sendiri, dia tidak sempat lagi mengelak atau menangkis! Setelah sepuluh kali dia terkena sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang lihai ini dia menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Saya menerima penawaran Paduka!"

Han Ti Ong memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan wajah raja itu berseri melihat betapa wajah Kwat Lin menjadi merah sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi di balik kemerahan wajah karena malu itu. Dengan mesra Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahen itu dan berkata lirih, "Aku tahu, Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik terhadap pria dan muak terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan tetapi, aku bukanlah pria yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan menghapus kejijikan dan kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kauambil ini tepat sekali dan tidak akan mendatangkan sesal di kemudian hari. Mari, mari kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga engkau berbahagia." Han Ti Ong mencium dan mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke "Taman" itu.

Tentu saja tidak ada kehebohan terjadi ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusannya mengambil The Kwat Lin sebagai isteri ke dua, sungguhpun hal ini mendatangkan bermacam-macam tenggapan dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan, pesta yang sederhana saja tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka cita dan mengharapkan bahwa dari pernikahan ini, raja akan dikurniai seorang putera. juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan keluarga raja. Ada kekecewaan akan tetapi ada pula harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil "orang luar" sebagai selir, akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui isteri ke dua ini mereka dapat "memukul" Liu Bwee yang mereka benci.

Ternyata kemudian oleh Kwat Lin bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh Raja Pulau Es itu ketika meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar-benar jatuh cinta kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan dirinya menjadi seiir Raja Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya, Han Ti Ong mencurahkan kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga lambat laun dia pun jatuh cinta kepada suaminya ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan terutama dengan mengorban dan menyerahkan diri sebagai selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih yang amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi selir, dia melahirkan seorang anak laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama sekali, kalau dulu dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali menghadapi banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang yang mulia dan terhormat, bahkan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya! Timbullah keinginan hanya untuk mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia merasa berhak karena bukankah dia yang mempunyai keturunan laki-laki, dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan mencari dan membunuh Pat-Jiu Kai-ong. Kebenciannya tarhadap kakek iblis jembel itu kini menjadi tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa selama tiga hari tiga malam kakek itu mempermainkannya, merenggut kehormatan dengan memperkosa secara amat menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diamdiam berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu, agaknya selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi isterinya dan sekaligus pewaris ilmu-ilmu nya!

Sin Liong belajar ilmu silat tekun bersama sumoinya, Swat yang lincah jenaka. Dan mulai tampaklah yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau para tokoh kang-ouw memiliki bocah ini dan menjadikan Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena memang dia pantas disebut Sin-tong. Han Ti Ong sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan luar biasa dan memiliki kecerdasan disebut Kwee-bak-put-bong (Sekali melihat Tidak Bisa Lupa Lagi), diam-diam menjadi kagum sekali karena dia akui bahwa dalam hal kecerdaaan kekuatan pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang amat mengagumkan hatinya adalah betapa di balik semua bakat yang luar biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak penuh kehalusan, kelembutan dan sayang dan iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di samping watak yang wajar seadanya. Benar-benar bocah ajaib!

Diam-diam Sin Liong mengerti bahwa diangkatnya Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan mendatangkan banyak ketidakbaikan, terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan perubahan pada diri bekas pendekar wanita Bu-tong-pai itu. Akan tetapi karena dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan yang sama sekali tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu saja dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan keadaan dengan hati tidak enak.

Yang dikhawatirkan oleh anak yang belum tahu apa-apa ini memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai isteri ke dua, Liu Bwee menderita tekanan bat in yang amat hebat. Mula-mula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam di dalam kamarnya karena hal ini dianggapnya lumrah setelah suaminya mempunyai isteri lain yang baru. Akan tetapi perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan suaminya kepadanya. Dan terutama sekali setelah The Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap di kamarnya, dan kalau sekali-kali datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali, hanya untuk menanyakan kesehatan dan agaknya suaminya datang hanya demi kesopanan belaka!

Hati seorang wenita amatlah halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan mudah pula membenci! Setelah Kwat Lin melahirkan seorang anak laki-laki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinnya, merasa kesepian, rasa rindu yang makin menghimpit terhadap belaian kasih sayang suaminya membuat Liu Bwee makin tersiksa, menambah kebenciannya terhadap Kwat Lin yang makin dipuja suaminya itu Liu Bwee bukan serang wanita yang gila akan kedudukan. Dia tidak mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak khawatir akan menurunnya derajatnya apabila madunya itu diangkat menjadi permalsuri karena mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita yang haus akan kasih sayang, maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya disia-siakan oleh suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat Lin.

Melihat penderitaan batin yang dialami oleh Liu Bwee ini, diam-diam bersoraklah para keluarga raja. Bagi mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari seorong ibu yang masih berdarah "agung" seperti mereka, namun masih lebih baik dari pada kalau dilahirkan oleh seorang ibu seperti Liu Bwee, hanya anak seorang nelayan Pulau Es rendah! Pula kebencian mereka yang terdorong oleh iri hati terhadap Liu Bwe membuat mereka condong kepada Kwat Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu, disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai penyambutan terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan menjadi pangeran mahkota!

***

Tujuh tahun telah lewat semenjak Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja, agaknya keadaan Pulau Es dan kerajaan kecilnya selama tujuh tahun itu tidak terjad perubahan sesuatu. Para penghuninya masih hidup dengan tenang dan tenteram penuh kedamaian seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam mengendalikan pemerintah kecilnya sehingga para penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar dan banyak!

Dengan pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan tetapi setiap kali menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus itu digerakkan oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan mengandung tenaga mujijat sehingga biarpun dia mengenal jurusnya sendiri, dia tidak sempat lagi mengelak atau menangkis! Setelah sepuluh kali dia terkena sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang lihai ini dia menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Saya menerima penawaran Paduka!"

Han Ti Ong memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan wajah raja itu berseri melihat betapa wajah Kwat Lin menjadi merah sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi di balik kemerahan wajah karena malu itu. Dengan mesra Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahen itu dan berkata lirih, "Aku tahu, Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik terhadap pria dan muak terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan tetapi, aku bukanlah pria yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan menghapus kejijikan dan kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kauambil ini tepat sekali dan tidak akan mendatangkan sesal di kemudian hari. Mari, mari kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga engkau berbahagia." Han Ti Ong mencium dan mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke "Taman" itu.

Tentu saja tidak ada kehebohan terjadi ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusannya mengambil The Kwat Lin sebagai isteri ke dua, sungguhpun hal ini mendatangkan bermacam-macam tenggapan dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan, pesta yang sederhana saja tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka cita dan mengharapkan bahwa dari pernikahan ini, raja akan dikurniai seorang putera. juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan keluarga raja. Ada kekecewaan akan tetapi ada pula harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil "orang luar" sebagai selir, akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui isteri ke dua ini mereka dapat "memukul" Liu Bwee yang mereka benci.

Ternyata kemudian oleh Kwat Lin bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh Raja Pulau Es itu ketika meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar-benar jatuh cinta kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan dirinya menjadi seiir Raja Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya, Han Ti Ong mencurahkan kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga lambat laun dia pun jatuh cinta kepada suaminya ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan terutama dengan mengorban dan menyerahkan diri sebagai selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih yang amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi selir, dia melahirkan seorang anak laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama sekali, kalau dulu dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali menghadapi banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang yang mulia dan terhormat, bahkan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya! Timbullah keinginan hanya untuk mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia merasa berhak karena bukankah dia yang mempunyai keturunan laki-laki, dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan mencari dan membunuh Pat-Jiu Kai-ong. Kebenciannya tarhadap kakek iblis jembel itu kini menjadi tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa selama tiga hari tiga malam kakek itu mempermainkannya, merenggut kehormatan dengan memperkosa secara amat menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diamdiam berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu, agaknya selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi isterinya dan sekaligus pewaris ilmu-ilmu nya!

Sin Liong belajar ilmu silat tekun bersama sumoinya, Swat yang lincah jenaka. Dan mulai tampaklah yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau para tokoh kang-ouw memiliki bocah ini dan menjadikan Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena memang dia pantas disebut Sin-tong. Han Ti Ong sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan luar biasa dan memiliki kecerdasan disebut Kwee-bak-put-bong (Sekali melihat Tidak Bisa Lupa Lagi), diam-diam menjadi kagum sekali karena dia akui bahwa dalam hal kecerdaaan kekuatan pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang amat mengagumkan hatinya adalah betapa di balik semua bakat yang luar biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak penuh kehalusan, kelembutan dan sayang dan iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di samping watak yang wajar seadanya. Benar-benar bocah ajaib!

Diam-diam Sin Liong mengerti bahwa diangkatnya Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan mendatangkan banyak ketidakbaikan, terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan perubahan pada diri bekas pendekar wanita Bu-tong-pai itu. Akan tetapi karena dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan yang sama sekali tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu saja dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan keadaan dengan hati tidak enak.

Yang dikhawatirkan oleh anak yang belum tahu apa-apa ini memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai isteri ke dua, Liu Bwee menderita tekanan bat in yang amat hebat. Mula-mula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam di dalam kamarnya karena hal ini dianggapnya lumrah setelah suaminya mempunyai isteri lain yang baru. Akan tetapi perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan suaminya kepadanya. Dan terutama sekali setelah The Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap di kamarnya, dan kalau sekali-kali datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali, hanya untuk menanyakan kesehatan dan agaknya suaminya datang hanya demi kesopanan belaka!

Hati seorang wenita amatlah halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan mudah pula membenci! Setelah Kwat Lin melahirkan seorang anak laki-laki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinnya, merasa kesepian, rasa rindu yang makin menghimpit terhadap belaian kasih sayang suaminya membuat Liu Bwee makin tersiksa, menambah kebenciannya terhadap Kwat Lin yang makin dipuja suaminya itu Liu Bwee bukan serang wanita yang gila akan kedudukan. Dia tidak mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak khawatir akan menurunnya derajatnya apabila madunya itu diangkat menjadi permalsuri karena mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita yang haus akan kasih sayang, maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya disia-siakan oleh suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat Lin.

Melihat penderitaan batin yang dialami oleh Liu Bwee ini, diam-diam bersoraklah para keluarga raja. Bagi mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari seorong ibu yang masih berdarah "agung" seperti mereka, namun masih lebih baik dari pada kalau dilahirkan oleh seorang ibu seperti Liu Bwee, hanya anak seorang nelayan Pulau Es rendah! Pula kebencian mereka yang terdorong oleh iri hati terhadap Liu Bwe membuat mereka condong kepada Kwat Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu, disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai penyambutan terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan menjadi pangeran mahkota!

***

Tujuh tahun telah lewat semenjak Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja, agaknya keadaan Pulau Es dan kerajaan kecilnya selama tujuh tahun itu tidak terjad perubahan sesuatu. Para penghuninya masih hidup dengan tenang dan tenteram penuh kedamaian seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam mengendalikan pemerintah kecilnya sehingga para penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar dan banyak!

"Aih, hal itu bukan urusan kita, Suheng. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa urusan antara Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali bukan urusan kita."

"Kau keliru, Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan tetapi urusan orang-orang terhukum adalah urusan umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak senang sekali dengan adanya peraturan itu. Aku akan berusaha untuk mengingatkan Suhu...."

"Tapi Ayah seorang Raja, Suheng!"

"Raja pun manusia juga."

"Tapi Raja hanya menjalankan hukum yang berlaku, Suheng."

"Hukum pun hanya buatan manusia. Benda mati!"

Tiba-tiba terdengar suara tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan dan wajah Sin Liong menjadi muram. "Nah, ada lagi sidang pengadillan yang akan menjatuhkan hukuman, Entah siapa lagi sekarang yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Suheng!"

Sin Liong digandeng tangannya oleh Swat Hong yang menariknya ke arah bangunan di sampig istana, bangunan yang dijadikan ruang sidang pengadilan di mana dijatuhkan hukuman terhadap mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ, banyak sudah penghuni Pulau Es yang menonton di luar ruangan, dan tentu saja dua orang muda-mudi itu mudah untuk memasuki ruangan sidang dan duduk di atas kursi yang berderet di pinggiran.

Ruangan itu luas sekali, lantainya halus dan bersih. Isi ruangan hanyalah sebuah meja panjang dan di belakang meja ini terdapat lima buah kursi dan di kanan kiri, di pinggir juga terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian tengah tetap kosong. Pada saat Sin Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi kebesaran, tampak duduk Han Ti Ong sendiri bersama permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena biasanya raja hanya datang tanpa permaisurinya dan duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya permaisuri Raja Han Ti Ong sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan di Pulau Es.

Para pesakitan yang sudah berlutut di depan meja, di atas lantai, hanya tiga orang. Seorang laki-laki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan gerak-geriknya kasar, seorang laki-laki muda yang tampan dan seorang wanita yang usianya empat puluhan, namun masih cantik dan wanita ini berlutut di samping laki-laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti laki-laki tinggi besar dan Si Wanita yang kelihatan tenang-tenang saja.

Dengan suara lantang jaksa penuntut membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi besar yang sudah berlutut ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu Bouw Tang Kui.

"Bouw Tang Kui telah berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan kepandaian menghina yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap karena melakukan pencurian, mengambil batu hijau mustika penyedot racun ular milik orang lain. Karena kejahatannya membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan kekacauan dan permusuhan, maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas dirinya, selain untuk memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai contoh kepada semua penghuni pulau."

Hening sejenak, kemudian terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar, "Bouw Tang Kui, kau sudah mendengar tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri."

Bouw Tang Kui yang berlutut itu memberi normal kepada raja, kemudian dengan suaranya yang kasar dan nyaring berkata, "Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu karena hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima banyak budi dari Sri baginda, kalau sekarang dianggap berdosa, hamba siap menerima segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba."

Hakim berpikir sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata, "Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Bouw Tang Kui."

Suasana menjadi hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada penggal kepala. Banyak di antara mereka yang mendengarkan, menahan napas dengan muka pucat, ada yang menaruh hati kasihan kepada Bouw Tang Kui. Akan tetapi pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada raja, lalu berkata, suaranya penuh pahit getir, "Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa berat, yang terasa berat adalah bahwa hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es yang hamba cintai!"

"Jadi engkau menerima keputusan hukuman?" Hakim bertanya,

"Hamba mene...."

"Nanti dulu!!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan Han Ti Ong sendiri mengangkat muka memandang tajam ketika melihat Sin Liong telah berdiri dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu. "Harap Suhu dan para Cu-wi sekalian maafkan saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini dianggap berdosa dan memang dia telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu lalu dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi? Saya hendak bertanya, siapakah di antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah melakukan kesalahan?"

"Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka kita pun tentu pernah melakukan kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan yang dilakukannya itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah atau berdosa, dan patut dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui adalah sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang berbatin lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan penyelewengan sama saja dengan seorang yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan tubuhnya melainkan hatinya. Akan tetapi, setiap orang sakit dapat sembuh! Maka, menghukumnya dengan hukuman keji itu sama dengan membunuhnya!"

Hening sekali keadaan di situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan pembelaannya.

"Akan tetapi di sini sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus tunduk kepada hukum!" kata Han Ti Ong ketika melihat betapa hakim ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong disuka semua orang di situ, dan selain ini, agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena pemuda itu adalah murid raja. Karena inilah maka Han Ti Ong sendiri yang mengeluarkan suara membantah.

"Harap Suhu memaafkan teecu kalau teecu terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari manakah timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum, mana mungkin ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukumlah yang menciptakan dosa dan pelanggaran, hukum adalah keji karena hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu sendiri! Kalau dia dianggap bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal itu membuat dia menjadi makin jahat dan mendendam? Andaikata seorang penderita sakit penyakitnya menjadi makin parah! Apakah hukuman pembuangan ke Pulau Neraka itu akan menginsafkannya? Suhu, sudah berkali-kali teecu menyatakan bahwa hukuman seperti ini tidak patut dilakukan di Pulau Es. Lebih baik menuntun mereka yang tersesat agar kembali ke jalan benar daripada menghukum mereka dengan kekerasan yang akan membuat mereka menjadi lebih jahat lagi."

"Kwa Sin Liong, kau tidak berhak untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami! Hakim, lanjutkan persidangan dan pembelaan yang dilakukan atas diri Bouw Tang Kui tidak dapat diterima!" bentak Han Ti Ong yang merasa tersinggung juga mendengar betapa peraturan yang dijunjung tinggi selama ratusan tahun oleh nenek moyangnya itu kini disangkal dan dicela oleh seorang bocah yang menjadi muridnyal

Sin Liong menghela napas dan terpaksa dia duduk kembali.

"Ssttt, kau terlampau berani..." Swat Hong berbisik.

"Hemm... tiada gunanya...." Sin Liong balas berbisik.

Suara jaksa yang lantang sudah memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, laki-laki tampan dan wanita cantik itu. Mereka maju dan berlutut di depan pengadilan.

"Sia Gin Hwa dan Lu Kiat telah ditangkap karena melakukan perjinaan. Karena Sia Cin Hwa telah menjadi isteri syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan perbuatan hina yang amat berdosa, melanggar larangan keras yang celah disahkan hukum. Karena itu, tidak ada pengampunen baginya dan mohon pengadilan menjatuhkan hukuman terberat kepadanya. Adapun Lu Kiat, biarpun masih muda dan belum beristeri, namun dia telah berjina dengan isteri orang, maka dia pun harus dijatuhi hukuman yang layak. Kemudian terserah kepada hakim."

Wanita itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali ketika mendengar suara mengejek dari mereka yang menonton di luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih tenang-tenang saja. Adapun Lu Kiat, pemuda itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia juga menundukkan mukanya, kelihatan gelisah sekali.

"Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket seratus kali kepada Lu Kiat!"

"Hamba tidak menerima!" Tiba-tiba Sia Gin Hwa bertenak. "Yang melakukan perjinaan adalah hamba berdua, maka kalau dibuang pun harus hamba berdua!"

"Tidak, hamba menerima hukuman rangket seratus kali!" teriak pula Lu Kiat.

"Laki-laki apa kau ini? Ketika merayuku, kau berjanji akan bersama-sama menderita andaikata dibuang ke Pulau Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut mulut antara mereka.

"Diam!!" Teriakan menggetarkan dari Han Ti Ong membuat mereka berdiri menjatuhkan diri mohon pengampunan.

"Karena kalian melakukan perbuatan yang memalukan sekali, menodakan nama baik Pulau Es, maka sepatutnya kalian berdua sama-sama dibuang ke Pulau Neraka!" kata Raja itu dengan suara tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang tangan kekasihnya dan menangis sambil menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu Kiat menjadi makin pucat.

Kembali Sin Liong bangkit berdiri. "Maaf, Suhu. Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang ada, akan tetapi apakah perbuatan mereka itu sudah demikian jahatnya maka sampai mereka dihukum buang? Teecu kira di balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya. Mereka menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau seorang isteri sampai melakukan penyelewengan, tentu pihak suami juga ada kesalahannya. Tidak perlukah dlselidiki mengapa wanita ini yang telah bersuami sampai berjina dengan pria lain? Mengapa dia sampai tidak dapat menahan dorongan nafsu berahi? Tentu ada sebab-sebabnya."

''Sin Liong, engkau seorang bocah belum dewasa, tuhu apa tentang nafsu berahi?" bentak gurunya, agak tertegun juga karena dia mendapatkan kebenaran tersembunyi di balik bantahan muridnya itu. ''

Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini, bahkan permaisuri sendiri menahan senyumnya.

"Teecu... teecu. mengerti dari kitab-kitab...."

"Pembelaan seorang anak yang belum dewasa terhadap perjinaan yang dilakukan orang dewasa tidak dapat diterima. Laksanakan hukumannya dan buang mereka bertiga sekarang juga ke Pulau Neraka!" kata Han Ti Ong.

Persidangan dibubarkan dan tiga orang pesakitan itu lalu digiring keluar untuk dilaksanakan hukuman atas diri mereka, yaitu dibuang ke Pulau Neraka, hukuman yang paling mengerikan dan paling ditakuti oleh semua penghuni Pulau Es karena mereka semua tahu bahwa dibuang ke Pulau Neraka berarti hidup tersiksa dan sengsarat lebih hebat dari kematian!

Peristiwa seperti inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan tetapi peraturan hukuman di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya, Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cinta, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima betas tahuh itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es. Biarpun permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat sehingga kalah sempurna gerakannya, apalagi dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya The Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
(lop)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0412 seconds (0.1#10.140)