Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 13 Bagian 6

Sabtu, 11 Maret 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, karya Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku membereskan dua orang ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!"

Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon dan sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan miring terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku!

"Hi-hi-hik, memang hebat sinkangmu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik.

Ayah dan anak she Goa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka same sekali tidak merasa gentar.

Mereka bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Bu-tong-pai.

Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut dan bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup menjadi pengecut hina!

"Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak Kakek Coa dan pedang di tangan kanannya sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi dan kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat.

Kwat Lin menggerakkan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya perlu untuk menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini, menghadapi dua orang luar, dia tidak mau mempergunakannya, dan juga untuk memamerkan kepandaiannya, dia sengaja hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong!

"Ceppp!" Tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah dan sekali Kwat Lin menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke dcpan dua orang gagah she Coa itu sambil berkata, "Mulailah!"

"Sing, sing... wut-wut-wut-wuttt...!!" Bertubi-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara.

Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakannya lebih cepat lagi sehingga dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan indah.

Setelah merasa yakin bahwa betapapun indah dan lihainya ilmu pedang mereka namun dia masih memiliki tingkat jauh lebih tinggi dalam hal sinkang, Kwat Lin tersenyum dan bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelak ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan itu. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0409 seconds (0.1#10.140)